Prihatin Biaya Pengobatan Mahal

Mahalnya biaya pengobatan penyakit paru-paru membuatnya terpanggil untuk menolong.

PENYAKIT paru-paru masuk kategori penyakit pembunuh paling atas di dunia. Penyakit itu pun menjadi momok. Yang membuat miris, sebagian besar masyarakat Indonesia menderita penyakit tersebut. 

Kebanyakan dari mereka terlambat mengetahuinya hingga masuk masa akut. Pada saat itu mereka pun bingung berhadapan dengan mahalnya biaya pengobatan.

Dari rasa prihatin itu,  Muhammad Rivai, 44, peneliti di Jurusan Teknik Elektro Industri, Fakultas Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, melakukan inovasi. alat temuannya berupa pendeteksi dini penyakit paru-paru secara noninvasive menggunakan hidung elekronik.

"Prihatin melihat perkembangan dan kondisi masyarakat Indonesia dalam menyikapi penyakit paru-paru. Namun, itu karena sebab-sebab tertentu sehingga masyarakat baru mengetahui sakit paru-paru yang dideritanya ketika sudah parah," kata Rivai kepada Media Indonesia di ITS, Jumat (8/3).

Penyebab masyarakat terlambat, kata pengajar ITS sejak 1994 itu, karena biaya pengobatan mahal. Selain itu, ada ketakutan dari masyarakat bila berobat lebih awal.

Biaya pengobatan mendeteksi sakit paru-paru tersedia di rumah sakit besar. Pasalnya, 100% alatnya produksi luar negeri. Harganya pun bisa lebih dari 500 juta. Adapun faktor ketakutan disebabkan adanya pengambilan sampel darah dan sel dari paru-paru. "Biayanya sudah sangat mahal, mereka pun masih dihadapkan pada jarum suntik, Padahal masyarakat enggan berobat lebih awal meski sudah mengetahui bahwa batuk-batuk keras yang dideritanya bisa jadi gejala awal atas sakit yang dideritanya," terang ayah dua orang putri ini.


Pendeteksi dini

Saat mengetahui keenganan itu, Rivai menemukan alat pendeteksi dini. Temuannya berupa peralatan sistem diagnosis udara pernapasan untuk deteksi dini penyakit paru secara non-invasive menggunakan hidung elektronik.

"Dijamin biayanya akan sangat murah, juga membuat masyarakat tidak ketakutan lagi untuk mengetahui lebih awal sakit paru yang dideritanya. Karena untuk deteksi dini ini tidak diperlukan pengambilan contoh darah maupun contoh sel paru," ujar doktor jebolan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu.

Proyek itu dimulai pada 2010. Ia dibantu sejumlah mahasiswa. "Biar ilmu yang saya miliki ini berguna dan bermanfaat bagi masyarakat," tandas Rivai.

Pada 2011, suami Sri Danuri itu berhasil membuat prototipe pertamanya yang ditempatkan pada kotak plastik berukuran 30x30 cm. Lalu ada peyempurnaan karena komponen yang ada di dalamnya terlalu besar.

Prototipe kedua akhirnya muncul pada pertengahan 2012. Rivai masih menilainya kurang sederhana. Awal tahun ini, prototipe ketiga pun muncul.

"Cara kerjanya sangat sederhana. Alat ini belum pernah diformasikan dan digunakan oleh para dokter di Indonesia. Saat ini alat kedokteran untuk mendiagnosis sakit paru ini menggunakan peralatan impor dengan sistem kromatografi gas, sedangkan alat ini dengan sistem sensor kuarsa yang kami bikin sendiri," terang Rivai.

Deteksi non-invasive menggunakan hidung elektronik, jelas Rivai, dilakukan dengan sistem sensor kuarsa. Sensor kuarsa adalah komponen dari bahan kimia tertentu. Jumlahnya ada empat komponen, tapi dengan unsur kimia yang berbeda dan ditempatkan di bagian ujung alat deteksi. 
"Paling sulit dan butuh waktu panjang serta sangat menjemukan untuk membuat sensor ini karena bahannya dari zat kimia tertentu. Formula zat kimianya itu harus sangat selektif dan efektif untuk mendeteksi gas yang terkandung dalam uap pernapasan," urai Rivai.

Sistem kerjanya sangat sederhana. Pasien yang hendak dideteksi, lanjut Rivai, cukup meniupkan udara ke kantong plastik yang terhubung dengan alat deteksi. Udara tersebut akan diterima oleh empat komponen sensor yang berada di dalam kotak. 

"Untuk membacanya disambungkan atau dirangkai ke komputer yang sudah dilengkapi jaringan saraf turunan. Akan terdeteksi susunan gas dari uap dalam kantong secara lengkap dalam bentuk grafik. Jika diketahui gas monoksida dan asetonnya menunjukkan konsentrasi yang berlebih, berarti orang tersebut menderita sakit paru," ujarnya.   

Data yang ditampilkan akan menjelaskan apakah orang itu menderita penyakit paru atau tidak. Termasuk jenis penyakit paru yang diderita serta tingkatannya, seperti asma, tuberkulosis, hingga kanker. (M-5)

abdus@mediaindonesia.com

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar