Penderita Alzheimer Tetap Manusia Bernilai
ALICE Howland berlari dari rumahnya di Poplar Streeet. Dia lalui rute sama yang biasa dilaluinya, lewat Massachusetts Avenue, Harvard Square dan Memorial Drive, menyusuri Charles River dan Harvard Bridge, lalu kembali lagi. Sudah bertahun-tahun berlari menjadi kebuuthan vitalnya sehari-hari layaknya makan atau tidur. Bahkan ia bisa joging tengah malam atau di tengah badai salju.
Sabtu malam itu, dia berhenti berlari begitu tiba di John Fitzgerald Kennedy Park, taman rumput indah yang berbatasan dengan Memorial Drive. Di areal itu dia memang lebih suka berjalan santai. Namun tiba-tiba dia mematung, ia tak tahu sedang berada di mana. Ia tahu sedang berada di Harvard Square, tetapi ia tidak tahu jalan pulang.
Sontak, jantungnya berdegup kencang dan bulir keringat bermunculan. Alice bisa membaca dan mengenali tempat-tempat di sekelilingnya, tapi percuma karena semuanya tak memiliki konteks, dia tak bisa menentukan ke arah mana dia harus berjalan untuk pulang. Dia tersesat hanya 1 kilometer dari rumah yang sudah puluhan tahun ditempatinya.
Dia memejamkan mata, mendengarkan detak jantungnya, lantas berbisik, "Kumohon berhentilah." Setelah itu, semua kembali seperti semula, dia dapat memahami lokasinya dan tahu arah pulang.
Sebelumnya, dia juga sempat mengalami keganjilan lain saat tengah menyampaikan ceramah di kampus. Perempuan yang telah 25 tahun menjadi profesor di Harvard itu mengajar psikologi kognitif dan banyak meneliti soal linguistik, maka mestinya dia lancar saja ketika menyampaikan materi soal proses kejiwaan yang mendasari perolehan, pengorganisasian, dan penggunaan bahasa. Dialah perintis berbagai studi mekanisme bahasa.
Frustasi dan bingung
Namun, hari itu menjelang 50 menit sejak presentasinya dimulai, pikirannya tiba-tiba buntu. Alice tahu apa yang ingin diucapkannya, tetapi kata itu seakan menjauhinya dan menghilang, tak mau lepas dari ujung lidahnya. Frustasi dan bingung di saat yang sama. Alice memutuskan mengganti kata terlupakan tersebut dengan 'hal itu'.
Sebagai perempuan berusia 50 tahun, kepikunan yang dialaminya sempat membuatnya curiga bersumber dari gejala menopause. Namun, pertemuan dengan dokter pribadi dan dokter saraf malah membawa berita buruk yang tidak pernah dia antisipasi sebelumnya, dia didiagnosis terkena serangan dini alzheimer. Dia tahu itu artinya dia akan kehilangan banyak ingatan, mengalami disorientasi, kehilangan kemandirian, dan pada akhirnya kehilangan semua yang telah diraihnya selama ini. Wajar dia merasa ngeri, mulanya menyimpan rahasia itu sendiri, enggan sekalipun untuk membaginya kepada anak dan suami.
Itulah kisah yang diangkat Lisa Genova lewat buku Still Alice. Buku itu pertama kali terbit 2007 lalu dalam bahasa Inggris dan versi terjemahannya dalam bahasa Indonesia diterbitkan Penerbit Erlangga, bertepatan dengan peringatan Bulan Alzheimer, Rabu 16 September 2015 lalu, di Granmedia Matraman, Jakarta. Di versi bahasa Indonesia, bukunya dilengkap dengan informasi tambahan soal gejala umum alzheimer, cara pencegahan, tentang organisasi nirlaba Alzheimer Indonesia, dan sumber informasi yang bisa dikontak.
Meski fiksi, novel tersebut mampu menggambarkan kompleksitas alzheimer. Novel itu pun diadaptasi menjadi film yang sukses penghargaan Oscar, Golden Globes, dan Bafta Awards.
Tidak hanya mengubah kehidupan penderitanya, alzheimer yang hingga kini belum ada obatnya itu mengubah hubungan dengan keluarga, teman, dan lingkungan kerja. Dramatis, tokoh utama dalam buku itu dipilih seorang perempuan mandiri yang sedang dalam puncak kariernya. Dia harus terlempar dari pencapaian satu per satu, hingga tidak bisa mengingat ketiga anaknya sendiri.
Membuka lembaran buku setebal 310 halaman itu, banyak bagian yang amat mengaduk emosi. Didorong rasa frustasi dan akal sehatnya ketika masih mampu menentukan pilihan hidup sendiri, Alice sempat menulis surat wasiat untuk dirinya sendiri yang berisi panduan untuk mengakhiri hidup lewat overdosis obat. Dalam pemikirannya ketika menulis wasiat itu, lebih baik mati ketimbang hidup tanpa daya.
Di bagian lainnya, dikisahkan Alice yang berinisiatif membantu kelompok sesama pasien yang didiagnosis alzheimer dini untuk mendukung satu sama lain dan menguatkan. Berkat jasanya, dia diundang berbicara di Konferensi Peduli Demensia yang biasa dihadiri para profesional yang menangani penderita demensia untuk berbagi informasi.
Mari nikmati hidup dari waktu ke waktu, jangan maklum pikun, dan jangan lupakan bahwa penderita alzheimer tetap manusia yang bernilai dan berharga keberadaannya. (Her/M-2)