Waspadai Si Penghancur Hati

Memasuki usia paruh baya, Cecep masih aktif bekerja. Ia juga berolahraga secara teratur demi menjaga kebugaran. Namun, akhir tahun 2007, ia mendadak demam tinggi. Belakangan ia diketahui menderita hepatitis C kronik atau menahun. Diam-diam, selama bertahun-tahun virus itu bersarang di dalam tubuhnya. Ancaman kanker hati pun membayangi. 

"Awalnya saya mengira panas biasa gara-gara kecapekan habis olahraga. Tetapi makin hari justru tambah parah meski sudah berselimut karpet, saya tetap panas tinggi," ujarnya. Setelah periksa ke dokter, ada cairan dalam paru-paru sehingga ia harus rawat inap di rumah sakit. 

Karena nilai SGOT/SGPT (kadar enzim hati) Cecep di atas normal, ia lalu disarankan untuk tes darah HCV-RNA. Hasilnya ia dinyatakan terinfeksi hepatitis C kronik. Penularan virus itu diduga melalui jarum suntik saat ia jadi pencandu narkoba pada tahun 1970-an ditambah kegemaran mengonsumsi alkohol.

"Begitu tahu harus berobat selama sekitar satu tahun, saya langsung lemas. Terbayang besarnya biaya yang harus ditanggung, mulai dari pemeriksaan darah sampai obat," ujarnya. Apalagi selama berobat ia tidak bisa mencari nafkah.

Karena jumlah virus sangat tinggi, dokter menyarankan untuk menjalani pengobatan dengan kalferon yang disuntikkan dua hari sekali. Selama menjalani terapi, ia mengalami efek samping berupa tidak ada nafsu makan, sering muntah, berat badan turun drastis. "Setiap kali disuntik, empat jam kemudian saya mual, lelah, pusing, dan panas," ujar wirausahawan ini. 

Kini, virus di dalam tubuhnya telah tidak terdeteksi lagi. Ia juga tidak lagi menjalani pengobatan dan cukup kontrol ke dokter secara rutin ke Klinik Hati di Jakarta. Cecep bertekad menjalani pola hidup sehat dan berhenti minum alkohol.    

Hepatitis sering muncul tanpa gejala. Kristin, misalnya mengaku virus hepatitis B dalam tubuhnya tidak sengaja terdeteksi saat pemeriksaan kesehatan. Karena nilai kadar enzim hati di atas normal, ibu satu anak ini menjalani tes darah dan dinyatakan positif terinfeksi hepatitis B.

Setelah menjalani pengobatan selama berbulan-bulan, kini tidak terdeteksi ada virus di dalam tubuhnya.

Deteksi secara dini
Menurut Ketua Kelompok Kerja Hepatitis Departemen Kesehatan Ali Sulaiman, radang hati disebabkan virus hepatitis telah jadi masalah kesehatan di banyak negara. diperkirakan, virus hepatitis B menginfeksi sekitar 2 miliar orang di dunia dan 350 juta orang di antaranya menderita hepatitis B kronik.   

Di Indonesia, jenis hepatitis yang banyak dijumpai adalah hepatitis A, B dan C. Berbeda dengan hepatitis A yang akut dan tidak berakibat fatal, hepatitis B dan C bisa jadi kronik dan menimbulkan komplikasi bila tidak diterapi. Prevalensi hepatitis B di Indonesia 5-10 persen - sekitar 13 juta orang.

Hepatitis C, menurut Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Unggul Budihusodo, diderita sekitar 170 juta jiwa di dunia. Di Indonesia, sekitar 7 juta jiwa. "Sebanyak 80-90 persen dari kasus hepatitis C menunjukkan gejala dan tanda minimal, kecuali komplikasi terjadi pada tahap lanjut," katanya. 

Pada penderita hepatitis C, sekitar 20 persen sembuh sendiri. Dari total jumlah penderita, 60-65 persen terinfeksi virus genotipe 1 yang sulit diterapi, 20-25 persen sirosis hati dalam 15-30 tahun, 1-4 persen meninggal karena kanker hati.

Hasil pendataan hepatiis C oleh Departemen Kesehatan dan PT Roche Indonesia, jumlah kasus dilaporkan dari lokasi percontohan 10.501 orang.

Virus hepatiatis B dan C ditularkan melalui darah dan cairan tubuh yang terinfeksi di antaranya transfusi darah, hubungan seks, tato, tindik, dan injeksi. Untuk mencegah penularan, hindari penggunaan bersama alat yang bisa terkontaminasi darah seperti pisau cukur, sikat gigi, jarum suntik, alat tato atau tindik, lakukan hubungan seks aman misalnya dengan kondom, dan imunisasi hepatitis B.

Untuk hepatitis C sampai kini belum ada vaksinnya. Imunisasi hepatitis B juga dianjurkan bagi penderita hepatitis A dan C agar tidak infeksi ganda.

Menurut Ali, usai saat mendapat infeksi pertama menentukan perkembangan ke arah hepatitis kronik. Sekitar 90 persen bayi tertular hepatitis B akan alami infeksi kronik. "Vaksinasi hepatitis B lebih murah daripada beban bagi penderita kronik dan keluarga," ujarnya.

"Skrining pada kelompok risiko tinggi dapat mendeteksi infeksi hepatitis B dan C. Hal ini harus diikuti perbaikan layanan hepatitis," kata Unggul. Untuk mengetahui efektivitas vaksin dan pengobatan, penelitian hepatitis berkala perlu dilakukan.

"Hepatitis bisa diobati untuk mencegah progresi ke arah sirosis dan kanker hati," kata Unggul. Pengobatan diperlukan apabila kadar enzim hati meningkat. 

Hasil biopsi menunjukkan radang hati dan jumlah viurs aktif meningkat. Jadi, jangan tunda tes hepatitis agar infeksi tidak berkembang menjadi kronik.    

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar