Dirawat Tak Aman, Dirujuk Belum Jaminan
Kalimat pelesetan dari pepatah "bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan ayah mati", cukup pas untuk menggambarkan sarana kesehatan di Mbay, ibu kota Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Di kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Ngada tahun 2007 itu belum tersedia rumah sakit yang memadai.
Di kabupaten yang dimekarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2007 itu baru ada satu puskesmas plus yang sedang dikembangkan untuk menjadi rumah sakit.
Melihat kondisi sarana kesehatan di Puskesmas Plus Danga, Aeramo, Kecamatan Aesesa, Mbay, pada 2 Juli lalu, tidak meleset ungkapan "dirawat tak aman, dirujuk pun belum jaminan". Puskesmas Danga saat ini praktis diandalkan untuk merawat mereka yang sakit, di antara sekitar 110.147 warga Nagekeo. Sejauh ini sedang dibangun beberapa sarana pendukung, seperti ruang operasi, rehabilitasi dan poli bedah, ruang inap, poli ibu dan anak, dan poli gigi.
Namun, dengan 7 dokter umum dan 1 dokter gigi, dapat dipastikan banyak pasien harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap dan lebih memadai, apalagi jika pasien yang datang memerlukan penanganan dokter spesialis.
"Kami sedang berbenah untuk meningkatkan status dari puskesmas plus menjadi rumah sakit," ujar Bupati Nagekeo Elias Djo saat ditemui di Mbay.
Menurut Kepala Tata Usaha Puskesmas Plus Danga Atnasia Suryaningrum (34), kunjungan pasien ke puskesmas terus meningkat, begitu pula mereka yang harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih memadai. Pada 2015, dari 15.561 pasien, 981 pasien dirujuk ke rumah sakit.
Tahun ini hingga bulan Mei terdapat 14.489 pasien, sedangkan yang dirujuk ke rumah sakit 1.129 pasien.
"Sejauh ini kami baru bisa menangani penyakit yang dijamin BPJS, seperti demam berdarah, hepatitis, paru-paru, usus buntu, dan cedera kepala berat karena kecelakaan lalu lintas yang sering terjadi di sini. Namun, jika memerlukan transfusi darah dan penanganan dokter spesialis, kami merujuk pasien ke rumah sakit terdekat," ujar Elizabeth Napitupulu (32), dokter alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta, yang sudah dua tahun bertugas di Mbay.
Pembicaraan di Puskesmas Danga pagi hari itu terhenti karena kedatangan Donatus Meze (31) yang terus merintih kesakitan karena vertigo. Mobil bak terbuka membawa Donatus dari Boanio, sekitar 10 kilometer dari Puskesmas Danga. Paramedis Katerina, Aristania, Angelina, dan Anselmia bergegas menyiapkan ruangan dan tempat pasien. Infus segera dipasang di tengah rintihan Donatus.
Menurut Suryaningrum, ruang dan tempat tidur pasien yang minim memaksa sekitar 100 pasien harus rawat jalan per hari.
"Perlengkapan yang minim membuat pasien dengan penyakit tertentu tidak aman dirawat sehingga harus segera dirujuk ke rumah sakit terdekat. Biaya untuk pasien rujukan ini sekitar Rp 2 miliar per tahun," ujar Julius Lawotan, Sekretaris Daerah Nagekeo.
Ambulans tak memadai
Pasien rujukan dari Puskesmas Danga juga belum dijamin aman. Hal ini berkaitan dengan dua ambulans yang sangat jauh dari memadai untuk membawa pasien. Rumah sakit rujukan terletak di Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada, yang berjarak 94-96 kilometer. Rumah sakit rujukan lainnya di Ende, Kabupaten Ende, yang berjarak 92 kilometer. Jika perlu penanganan ekstra, pasien harus dibawa ke Maumere, Kabupaten Sikka, sejauh 212 kilometer.
"Wakil Ketua DPR Nagekeo Stanis Paso meninggal dalam ambulans saat perjalanan ke rumah sakit rujukan pada tahun 2010. Begitu juga Wakil Bupati Paulus Kaju meninggal saat dibawa dengan ambulans ke rumah sakit rujukan pada 2013. Jarak rumah sakit rujukan yang jauh dan peralatan medis dalam ambulans yang tidak memadai membuat nasib pasien sulit terjamin," ujar Julius Lawotan.
Menurut Elisabeth Napitupulu, tahun ini seorang pasien gagal ginjal meninggal di ambulans. "Kalau pasien yang melahirkan di jalan sudah berulang kali. Pasien ibu yang mau melahirkan berusia di atas 35 tahun, kami selalu kirim ke rumah sakit rujukan karena rawan perdarahan. Kami belum punya sarana transfusi darah di sini," ujar Elisabeth.
Saat ini ada dua ambulans yang membawa pasien ke rumah sakit rujukan, tetapi kondisinya jauh dari layak. Ambulans Isuzu Panther keluaran tahun 2012 merupakan pinjaman dari puskesmas di Aeramo yang juga hibah dari Kabupaten Ngada atas persetujuan Pemprov NTT. Ambulans lainnya, Ford Ranger keluaran tahun 2009, pinjaman dari puskesmas keliling Maunori, Nagekeo.
Perlengkapan ambulans berupa tabung oksigen kecil yang hanya cukup untuk pemakaian satu jam. Tak ada persediaan air bersih. Paramedis dan keluarga duduk berdesakan di samping tempat tidur pasien yang tak dilengkapi sabuk pengikat. "Perjalanan ke Ende atau Bajawa sekitar dua jam. Saya harus memacu ambulans agar segera sampai dengan risiko pasien, tetapi perawat dan keluarganya bisa terpental," ujar Melisedes Legho (28), sopir honorer ambulans, selama lima tahun terakhir.
Masalah lain, tidak selalu dua ambulans ini siap, sementara pasien rujukan hampir ada setiap hari. "Kami tidak melakukan perawatan rutin. Pokoknya kalau bisa jalan, ya, jalan saja," ujar Suryaningrum.
Alhasil, jika ambulans tidak siap, keluarga pasien dan puskesmas patungan menyewa mobil sekitar Rp 600.000 untuk membawa pasien ke Ende. Malam hari, biaya sewa naik menjadi Rp 1 juta.
Pernah sekali waktu mobil dinas Asisten Satu dibongkar kursinya untuk membawa pasien karena sudah tak ada lagi ambulans yang tersedia. Karena itu, kami sangat berterima kasih jika ada bantuan ambulans yang layak dari pembaca Kompas untuk Nagekeo," ujar Sekda Julius Lawotan.
Status Puskesmas Plus membuat Nagekeo belum bisa mendapat dana alokasi khusus (DAK) yang biasa diberikan kepada sebuah rumah sakit.
"Kami akan terus meningkatkan status Puskesmas Plus Danga ini menjadi sebuah rumah sakit sehingga ada dana untuk pengadaan ambulans. Namun, saat ini kami berharap sekali bantuan dari pihak lain, termasuk dari pembaca Kompas," ujar Bupati Elias Djo.
Pieter P Gero