Indonesia Kekurangan Dokter Bedah Onkologi
JAKARTA (Media): Jumlah penderita kanker di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tetapi, jumlah dokter bedah onkologi masih jauh dari kebutuhan. Saat ini Indonesia baru memiliki 62 ahli bedah onkologi.
"Penyakit kanker sangat berkaitan dengan kualitas hidup pasien. Sebab itu, standar pelayanan medis di bidang onkologi harus bisa menjawab tuntutan masyarakat saat ini," kata Menkes Siti Fadilah Supari ketika membuka Temu Ilmiah Internasional Dokter Bedah Onkologi Indonesia ke-1 (Ist International Scientific Meeting of Indonesian Society of Surgical Oncologyst/ISSO), Sabtu (26/3) di Jakarta.
Menurut Menkes, jumlah penderita kanker di Indonesia mencapai 6% dari populasi. Angka tersebut katanya, hampir sama di negara-negara berkembang lainnya. Namun, kecenderungannya terus meningkat seiring globalisasi, gaya hidup dan kualitas pelayanan kesehatan.
"Mengapa pada standar pelayanan terhadap pasien, dokter dan rumah sakit harus bisa berkompetisi di jenjang internasional. Dengan pendekatan profesional, maka kejadian malpraktik akan berkurang. Indonesia juga harus memiliki standar pelayanan dan pengobatan kanker yang bisa meningkatkan kualitas hidup penderita."
Untuk itu, Menkes berharap, pertemuan para ahli onkologi yang diikuti 21 negara itu bisa menjawab tantangan dalam memerangi penyakit kanker.
Tidak merata
Pada kesempatan sama, Ketua Umum Perabo (Persatuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia) Dr Dradjat R Suardi menjelaskan idealnya Indonesia memiliki 114 dokter bedah onkologi. "Namun, yang tersedia saat ini baru 62 dokter ditambah 10 dokter yang sedang menjalani pendidikan. Jadi masih kurang 42 dokter bedah onkologi untuk penduduk 200 juta lebih," kata Dradjat.
Selain itu, lanjutnya, penyebaran dokter onkologi di Indonesia juga tidak merata. Daerah Maluku, Maluku Utara, Irian Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) belum memiliki dokter bedah onkologi.
Idealnya, kata Drajat, setiap rumah sakit daerah memiliki dua dokter bedah onkologi. Sedangkan rumah sakit pendidikan memiliki tiga dokter dan pusat pendidikan onkologi harus memiliki lima dokter bedah onkologi. Dan pusat pendidikan bedah onkologi saat ini hanya berpusat di Jakarta, Makassar dan Bandung.
"Kami juga mengundang dokter bedah dari daerah. Mereka wajib belajar dan mengetahui bagaimana menangani kasus kanker di daerahnya. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat," kata dokter dan pengajar di FK Unpad /RSUD Hasan Sadikin Bandung ini.
Sementara itu, Prof Marcos Moraes, President World Federation of Surgical Oncology Society (WFSOS) mengatakan saat ini para ahli onkologi dunia telah memiliki standar pelayanan kesehatan untuk penyakit kanker.
"Ini menyangkut multidisiplin. Tidak berdiri sendiri. Seluruh aspek baik dari onkologi, genetika, imunologi, kemoterapi, radioterapi, bedah hingga psikologi dan sosial menyatu dalam menangani pasien kanker," ujar Moraes, yang juga ketua Ary Frauzino Foundation for Cancer Research, Brazil.
Hal senada diungkapkan Prof Dr Walley J Tample dari University of Calgary/Tom Baker Center Calgary, Kanada.
"Ada tiga tahap dalam pengobatan kanker. Di masa lalu dengan cara mengangkat semua organ yang terkena kanker. Tetapi, dengan teknologi baru dokter cukup mengambil daerah yang terkena kanker. Untuk ke depan kualitas hidup pasien pascaoperasi harus lebih diperhatikan."
Sebab, lanjutnya, pasien kanker mengalami penurunan imun akibat obat-obatan antikanker. Berat badan merosot karena berkurangnya nafsu makan dan kurang gizi. Sebab itu dokter harus memantau kondisi pasien pascaoperasi agar kualitas hidup mereka terus membaik. (Nda/V-1)