Mengancam Vs Memotivasi Remaja
Ada banyak hal mengkhawatirkan yang dapat dilakukan remaja, dari membolos sekolah, kecanduan internet, tawuran, masuk dalam kelompok yang melanggar hukum, mengonsumsi narkoba, terlibat pornografi, hingga terlibat dalam pergaulan seksual yang membahayakan.
Bila mengamati kecenderungan sekarang, cukup banyak orangtua dan guru yang menanggulanginya dengan hukuman yang keras. Mungkin karena ketakutan berlebihan dan rasa tak berdaya dari orangtua, remaja dijejali nasihat, diancam dengan berbagai sanksi menakutkan, dan yang melakukan kesalahan mendapat hukuman sekaligus dikenal stigma negatif. Kadang tak ada diskusi atau upaya lebih jauh untuk memahami sehingga yang berada dalam posisi rentan pun bukannya diselamatkan dan dilindungi, tetapi dilihat sangat negatif sebagai pelaku kejahatan.
Bagaimana remaja belajar untuk sungguh-sungguh paham mengapa mereka dilarang misalnya, untuk berhubungan seksual sebelum waktunya, saat internet dengan sangat gencar menampilkan perilaku seksual yang vulgar?
Pada remaja, perkembangan fisik yang cepat dapat memunculkan gairah seksual yang sulit dikendalikan. Sementara itu, orangtua dan guru mungkin juga tidak menjaga perilakunya sendiri, tidak memberi contoh nyata yang baik, dan gagal menumbuhkan rasa aman pada remaja. Remaja yang bingung, tak percaya diri, dan kosong batin kemudian mencari pengangan dan dengan mudah terjerat dalam hubungan yang tidak sehat di antara sesama remaja itu sendiri, atau dengan orang dewasa yang sesungguhnya mengobyekkan dan mengeksploitasinya.
Daripada menjejali dengan nasihat serta mengancam dengan hukuman keras, orangtua dan guru dapat mempertimbangkan mengambil sikap berbeda. Ada teknik motivasional interviewing (MI) (lihat, misalnya Bundy, 2004), yang apabila konsisten diterapkan tampaknya akan efektif membantu remaja mengidentifikasi persoalan yang dihadapi dan mengubah perilakunya menjadi lebih positif.
Memotivasi perubahan positif
MI merupakan teknik percakapan atau konseling yang sederhana, transparan, dan suportif untuk membantu orang yang kita dampingi memahami proses-proses berpikir terkait suatu persoalan tertentu. Mengikuti model tahapan perubahan, kita mengidentifikasi bagaimana pikiran dan perasaan berinteraksi untuk menghasilkan suatu pola perilaku, 'mempertanyakan' pola pemikiran yang terbangun, dan menumbuhkan pemikiran mengenai alternatif-alternatif perilaku.
Daripada menjejali dengan nasihat serta mengancam dengan hukuman keras, orangtua dan guru dapat mempertimbangkan mengambil sikap berbeda. Ada teknik motivasional interviewing (MI) (lihat, misalnya Bundy, 2004), yang apabila konsisten diterapkan tampaknya akan efektif membantu remaja mengidentifikasi persoalan yang dihadapi dan mengubah perilakunya menjadi lebih positif.
Memotivasi perubahan positif
MI merupakan teknik percakapan atau konseling yang sederhana, transparan, dan suportif untuk membantu orang yang kita dampingi memahami proses-proses berpikir terkait suatu persoalan tertentu. Mengikuti model tahapan perubahan, kita mengidentifikasi bagaimana pikiran dan perasaan berinteraksi untuk menghasilkan suatu pola perilaku, 'mempertanyakan' pola pemikiran yang terbangun, dan menumbuhkan pemikiran mengenai alternatif-alternatif perilaku.
Dalam MI, kita bukan menjejali dengan nasihat dan ancaman, melainkan mengikuti lima prinsip kerja dalam menghadirkan kondisi untuk berubah. Prinsip kerja tersebut adalah menunjukkan empati, menghindari adu argumen (penyalahan dan perdebatan keras), mendukung kekuatan subyek untuk mengambil tanggung jawab, mengelola resistensi, dan mengembangkan diskrepansi untuk memunculkan perubahan positif.
Empati dan keinginan untuk memahami merupakan hal mendasar, yang ditunjukkan dengan sikap, lagi-lagi, bukan menasihati atau mengancam, melainkan dengan mengajukan pertanyaan apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan. Kita mencoba mencari tahu apa yang selama ini menyulitkan remaja meninggalkan perilakunya yang ia sendiri tahu itu negatif.
Untuk berempati, kita perlu mendengar aktif dan melakukan refleksi ("Oh, jadi kamu sudah terlanjur berhubungan seksual dan takut dinilai buruk oleh semua orang sehingga tidak berani meninggalkan dia, ya?" atau "Jadi dengan main game seharian, kamu jadi lupa dengan pertengkaran orangtuamu.").
Kita tidak perlu menyalahkan atau mendebat, melainkan menunggu saat di mana ia, dalam percakapannya, menunjukkan kebutuhan untuk berubah. Misalnya, saat ia berkata, "Sebenarnya saya sudah ingin berhenti", "Berkali-kali saya tidak mengangkat telepon dari dia", atau "Saya malah sudah pindah kos untuk menghindari dia."
Frase itu kita gunakan untuk membantunya paham bahwa ia ingin berubah, dan memang memiliki alasan untuk berubah. Kita tekankan, misalnya, "Jadi kamu ingin menghindari, dia, ya. Mengapa?" Lalu kita mengulang yang telah disampaikannya. "Jadi kamu ingin memutuskan hubungan dari dia karena..."
Menetapkan tujuan
Yang menyulitkan perubahan adalah resistensi. Kita juga perlu paham resistensi dari subyek, misalnya, "Iya, tetapi saya bingung. Karena saya sudah terlanjur berhubungan seks dan dia mengancam akan menyebarkan apa yang sudah kami lakukan. Jadi saya tidak berani meninggalkan," atau "Orangtua saya, kan, memang tidak peduli, jadi buat apa saya belajar serius kalau mereka sibuk sendiri dan cuma bisa menyalah-nyalahkan saja?"
Resistensi perlu diatasi remaja dengan menetapkan tujuan yang jelas, dan dengan memahami bahwa situasi mereka (saat ini) mengandung berbagai konsekuensi. Upayakan pemahaman mengenai konsekuensi dan penetapan tujuan keluar dari remaja itu sendiri, bukan dipaksakan oleh kita.
Pemahaman akan konsekuensi terkait erat dengan tujuannya untuk berubah, dan kesadaran akan itu dapat dikuatkan lagi, misalnya, melalui pertanyaan, "Apa saja kemungkinan negatifnya kalau kamu terus bersama dia?" (Bila ia sulit menyebutkan dengan rinci, tanyakan, "Kira-kira bagaimana dengan sekolahmu?", "Apa yang akan terjadi kalau kamu sampai hamil?", "Sebenarnya apa mimpi dan cita-citamu tentang masa depan?").
Ketika tujuan atau bayangan masa depan tervisualisasi jelas, kita dapat membantu remaja memetakan diskrepansi atau kesenjangan antara yang dituju dan situasi riilnya saat ini. Mungkin ia melihat bahwa jarak yang begitu besar yang menyebabkannya terjebak dalam situasi sekarang. Ia terlanjur merasa tidak berdaya dan tidak mengerti bagaimana mencapai tujuan yang terlalu jauh itu dari realitas hidupnya sekarang. Tugas kita untuk membantunya memecah-mecah bayangan masa depan menjadi tujuan-tujuan yang lebih berjangka pendek dan realistis. Tahap pertama terpenting: berniat dan mengambil langka untuk berubah.
Pada akhirnya, siapa pun juga, termasuk kita sendiri, akan berespons negatif bila menerima terlalu banyak nasihat dan penyalahan. Kepedulian lebih baik ditunjukkan dengan cara berbeda, yang lebih menumbuhkan rasa berdaya
KRISTI POERWANDARI