Jangan Remehkan Kesemutan dan Lemahnya Anggota Gerak

Ini kasus seorang gadis, Sasha (16 tahun), yang mengeluh nyeri pinggang dan berjalannya terganggu. Ia tertunda 2 tahun untuk mendapatkan terapi medis yang tepat lantaran tidak menduga kalau kelainan pembuluh darah di sumsum tulang belakangnya adalah penyebabnya.

Cuma kebetulan kalau pada awal bulan Mei 2004 lalu di lobi sebuah hotel di Singapura saya berjumpa sepasang suami-istri, yang kemudian saya tahu mereka orangtua gadis Sasha, asal Kuala Tanjung. Mereka sedang menanti putrinya itu pulang dari sebuah RS yang baru saja menempuh operasi sumsum tulang belakang sebab ada kelainan pembuluh darah di sana.

Dari pencakapan singkat dengan orangtua yang sudah merasa lega anaknya terbebas dari ancaman kelumpuhan itu, perhatian saya sungguh terpikat. Ada yang bisa saya bagikan untuk pembaca mendengar demikian berlikunya riwayat perjalanan orangtua yang awam dalam hal medis mengupayakan kesembuhan anak gadisnya dari penyakit langka, namun bisa buruk akibatnya jika tidak ditangani secara tepat.

Awalnya Nyeri Pinggang
Suatu malam Sasha mendadak nyeri pinggang yang menjalar ke sekujur tungkai dan kaki. Itu terjadi di awal tahun 2002, dua tahun sebelum ia dioperasi. Dibaluri minyak kayu putih, memang agak mereda.

Keesokan harinya, di sekolah kebetulan ada pelajaran olahraga membungkukkan badan. Ternyata gerakan tersebut justru membangkitkan rasa nyeri pinggang dan tungkai yang lebih hebat dari sebelumnya. 

Neneknya membawanya ke seorang sinshe, dan katanya Sasha mengidap asam urat tinggi, lalu diberi obat untuk seminggu selain mengikuti daftar sejumlah pantangan makan. Setelah obat habis keluhan memang mereda, dan kemudian hilang untuk beberapa lama.

Persis sepuluh bulan kemudian, keluhan nyeri pinggang muncul lagi, bahkan mulai menampakkan gejala tambahan berupa jalan terpincang-pincang. Karena orangtuanya mengira itu lantaran kurang berolahraga, Sasha disuruh lebih giat berolahraga. Namun, dengan lebih banyak berolahraga bukannya menyembuh, malah bertambah nyeri. 

Sampai di situ sebetulnya sudah bisa disimpulkan dua hal. Pertama bahwa Sasha bukan pengidap asam urat tinggi seperti kata sinshe, dan ada yang tidak beres dengan sistem saraf pengerakan (motorik) tungkai melihat keluhannya menetap, dan malah bertambah (progresif).

Karena disertai nyeri pinggang, kemungkinan gangguan sarafnya berada di sekitar pinggang. Setiap gangguan saraf, apakah itu jepitan, tekanan, atau kerusakan saraf, umumnya bertambah hebat keluhannya dengan pergerakan atau perubahan posisi tubuh. Ketika Sasha merasakan keluhannya bertambah hebat dengan gerakan membungkukkan badan, sebetulnya itu merupakan suatu tanda bahwa ada apa-apa di ruas tulang belakangnya yang mengganggu serabut saraf di situ. 

Bedanya dengan sakit pinggang bukan dari saraf, misal sakit pinggang dari ginjal, pada sakit pinggang sebab penyakit ginjal, dengan atau tanpa melakukan pergerakan badan, keluhan nyerinya tetap ada dan tidak bertambah atau berkurang. Namun, nyeri pinggang sebab saraf (tulang belakang), pergerakan badan akan berpengaruh terhadap bangkit, bertambah berat, atau meredanya keluhan di pinggang. Sasha mengalami hal yang ini. Nyerinya bangkit kalau membungkuk. 

Setelah Setahun
Sayang orangtua Sasha masih beranggapan ini salah urat atau gangguan otot, sehingga kemudian membawanya ke ahli urut. Setelah 3 minggu diurut tanpa hasil, baru dibawa ke dokter ahli saraf. 

Sasha diberi obat dan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan MRI pencitraan pada sumsum tulang belakangnya. Hasilnya menunjukkan adanya kelainan pembuluh darah sumsum tulang belakang AVM Spinal (Arteriovenous Malformation Spinal).

Entah bagaimana informasi yang diperoleh dari dokter yang meminta MRI tersebut, Sasha hanya menempuh fisioterapi. Ternyata fisioterapi selama tiga bulan ini pun belum memberikan hasil. Orangtua Sasha merasa cemas beranggapan pihak medis pun ternyata sudah tidak memberi harapan kesembuhan. 

Namun, kenyataan ini tidak menyurutkan upaya mereka untuk terus mencari pengobatan demi kesembuhan Sasha. Termasuk berbagai teknik penyembuhan dan obat medis sudah ditempuh.

Merasa pihak medis tidak juga membuahkan hasil, Sasha dibawa ke pengobatan alternatif, tapi tetap tidak juga memberi perubahan. Beberapa bulan setelah itu Sasha dirawat di sebuah RS karena demam.

Sampai di situ ada dua hal yang dapat dipetik oleh pembaca. Pertama, bahwa diagnosis medis AVM Sasha seharusnya perlu ditindaklanjuti untuk dua pertimbangan, yakni minta pendapat kedua dari dokter ahli lain mengenai kebenaran diagnosisnya, dan keyakinan akan pilihan terapinya. Kedua, kembali berpindah ke pilihan penyembuhan nonmedis seperti yang ditempuh orangtua Sasha justru awal dari ketersesatan dalam berobat itu. 

Kesimpulan yang dibangun sendiri oleh pihak pasien bahwa pihak medis telah gagal menyembuhkan, belumlah pertimbangan yang final sebab duduk masalahnya belum jelas benar. Komunikasi dokter dengan pasien agaknya belum lancar, dan pasien meminta pendapat kedua pun belum ditempuh.    

Kalau saja pihak pasien tidak lekas-lekas berpindah haluan untuk kembali memilih ke penyembuhan nonmedis, mungkin tidak sepanjang itu riwayat perjalanan pencarian penyembuhan untuk Sasha. Kendati begitu perlu disyukuri bahwa Sasha masih belum sampai cacat, mengingat proses perjalanan penyakit AVM Spinal bila dibiarkan bisa berujung dengan kelumpuhan akibat pembuluh darah di sumsum tulang belakang Sasha sampai pecah sehingga terjadi perdarahan pada saraf sumsum tulang belakang.

Komplikasi Obat Nonmedis
Sebulan sehabis menempuh pengobatan alternatif, Sasha demam dan perlu dirawat di rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan di rumah sakit ternyata hati Sasha terganggu. Selain membengkak, fungsi hatinya pun memburuk. Dua minggu Sasha dirawat belum juga jelas apa diagnosis penyakit yang merusak organ hatinya.

Baru kemudian setelah dokter rumah sakit melihat ada yang janggal pada wajah dan kulit Sasha, dokter menyimpulkan kalau lever Sasha rusak gara-gara pengobatan alternatifnya sebulan berselang. Wajahnya membulat mirip bulan (moon face) akibat ada jenis obat golongan corticosteroid yang diberikan oleh penyembuh alternatif. Selain itu, obat yang sama juga membuat kulit menjadi kasar, berjerawat, berminyak, berwarna lebih gelap, dan hati jadi merana memikul beban efek samping golongan obat tersebut.

Entah karena bingung, entah karena hal lain, Sasha dibawa kembali ke seorang sinshe di Penang, Malaysia. Setelah diperiksa, Sasha diberi obat untuk 3 bulan dan tidak sembuh. Sayangnya (atau untung), setelah obat habis, sinshenya meninggal dunia.

Sebulan setelah minum obat sinshe, rambut Sasha malah rontok. Dan karena belum juga sembuh, Sasha kembali dibawa ke pengobatan alternatif ahli totok darah, yang katanya bertujuan untuk mengeluarkan bekuan darah di pembuluh kaki kanan. Namun, yang ini pun tidak membawa hasil.

Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa kebingungan pihak pasien tak perlu terjadi kalau menyadari bahwa tidak setiap penyembuhan nonmedis itu pasti aman. Rambut rontok bisa jadi sebagai efek buruk dari obat sinshe, selain kemungkinan levernya juga mengalami kerusakan akibat obat herbal yang belum teruji toksitasnya (efek racunnya).

Kalau saja bisa muncul rasa jera pada pasien mengalami gejala-gejala yang sudah merugikan itu, langsung stop berobat nonmedis karena alamat berobat untuk penyakitnya memang bukanlah pihak nonmedis, tentu riwayat berobat tidak terulur sebegitu panjang.

Kembali ke Dokter
Empat bulan setelah totok jalan darah gagal dan kondisi Sasha masih belum membaik, ia dibawa ke seorang dokter ahli saraf RS di Penang, Malaysia. Di sana Sasha diminta untuk kembali diperiksa MRI dan EMG (rekam otot).

Diagnosis dari hasil pemeriksaan di RS Penang tersebut, Sasha tetap AVM. Dokternya  mengatakan kalau kondisi ini dibiarkan, perlahan-lahan akan berakibat kelumpuhan tungkai. Selanjutnya ia diminta berkonsultasi ke dokter ahli bedah saraf.

Oleh karena jenis operasi untuk kasus Sasha tergolong rumit. Sasha dirujuk untuk berkonsultasi ke dokter ahli di Singapura. Di sana ia diminta untuk pemeriksaan Spinal Angiography dan Embolization.

Menjalani Operasi
Oleh karena diagnosis AVM sumsum tulang belakang tidak diragukan lagi setelah dua ahli saraf mendiagnosisnya begitu, maka ini meyakinkan pihak pasien untuk menerima pilihan pemyembuhannya dengan jalan operasi atau tindakan pembedahan.

Walau dokter ahli bedah sarafnya di Singapura mengatakan bahwa angka kegagalan operasinya bisa mencapai 20 persen, pihak keluarga Sasha yakin kalau ini jalan dari Tuhan. Tanpa pikir panjang Sasha pun menempuhnya tak kurang dari lima setengah jam lamanya.

Pada anomali pembuluh darah sumsum tulang belakang Sasha mengalami penyayatan dan menjepitnya (incission and clipping). Ini jenis operasi yang rumit, riskan, dan berbiaya tinggi.

Lima hari kemudian Sasha boleh pulang dengan hasil memuaskan. Ia sudah boleh berjalan normal, dan perlu dilanjutkan dengan fisioterapi. Menurut dokter yang membedah, hasilnya cukup baik.

Memetik Manfaat
Bahwa dalam berobat jangan sampai kita salah memilih alamat. Memang belum semua penyakit dapat diatasi oleh pihak medis. Ada juga jenis penyakit yang menjadi bagian dari penyembuhan nonmedis. Namun, itu tidak berarti bahwa semua penyakit yang gagal diobati secara medis pasti selalu bisa disembuhkan oleh penyembuhan nonmedis.

Makna gagal sembuh oleh pihak medis bisa berarti dua. Gagal dalam pengertian betul memang pihak medis belum menemukan obat atau cara penyembuhannya, misal herpes, AIDS, beberapa jenis kanker, sirosis hati, dan masih sederet panjang lagi, atau gagal yang disimpulkan sendiri oleh pihak pasien sebab tergesa-gesa berpindah alamat berobat sebelum tuntas berobat.

Ruang kosong bagi pasien yang beranggapan gagal diobati medis ini yang kerap dimanfaatkan oleh penyembuh nonmedis yang tak bertanggung jawab untuk memperdaya atau mengelabui pasien.

Logika medisnya, kalau betul ada penyembuh nonmedis yang bisa menyembuhkan AIDS atau jenis kanker yang secara medis belum ditemukan obatnya, misalnya, tentu temuannya itu bakal mendapat hadiah Nobel. Nyatanya kan tidak.

Hal lain perlu diingat pula bahwa sembuh dan sembuh sendiri bisa berarti dua. Merasa sembuh, sebab sudah hilang keluhannya, belum berarti sembuh kalau itu bentuk otosugestif. Dan ada pula kesembuhan sebab faktor kebetulan, selain sebab mukjizat.

Kita tahu kesembuhan nonmedis sering tanpa fakta statistik sebagaimana menjadi syarat protokol medis. Bahwa sesuatu bahan berkhasiat, atau cara penyembuhan, baru dikategorikan betul obat atau teknik terapi apabila katakanlah dari 100 kasus dengan diagnosis yang sama akan menyembuhkan seluruh kasusnya. Jika obat atau cara itu tidak menyembuhkan seluruh kasus dengan diagnosis yang sama, belumlah bisa dikategorikan sebagai obat atau teknik penyembuhan.

Demikian lazimnya yang berlaku dalam fakta kesembuhan nonmedis. Tanpa uji statistik, apa pun obat atau bahan berkhasiat maupun suatu cara penyembuhan, sekalipun tidak menyembuhkan seluruh pasien dengan diagnosis yang sama, dianggap benar sebagai obat atau teknik terapi.

Perlu dicatat pula, bahwa cuma mereka yang berhasil sembuh saja yang bercerita atau memberi pengakuan keberhasilan obat atau teknis terapi penyembuhan nonmedis. Dan umumnya jumlah yang sembuh nonmedis secara statistik mungkin tidak sebanyak yang tidak sembuh, sehingga secara ilmiah, bahan berkhasiat atau teknik penyembuhan dengan hasil begini belum boleh dikategorikan sebagai obat atau teknis terapi.

Sebaliknya, mereka yang tidak  sembuh dari penyembuhan nonmedis, secara psikologi tentu akan memilih membisu saja, atau tidak akan menjadi propaganda penyembuhan. Itu makanya, tidak arif bila serta merta setiap ada pengakuan kesembuhan nonmedis boleh langsung dipercaya bahwa bahan berkhasiat atau cara penyembuhan tersebut betul masuk akal ilmiah.

Dalam hal kasus, Sasha di atas, pihak pasien belum sepenuhnya tuntas berobat medis sebab terputus atau diselingi pengobatan nonmedis. Kalau saja pihak keluarga Sasha memahami makna penyembuhan nonmedis dan medis seperti yang saya ungkapkan di atas, tentu kejadian berpindah-pindahnya alamat berobat medis dan nonmedis secara bergantian tidak perlu sampai terjadi.

Untuk apa pun kasus penyakitnya, yakinkanlah betul bahwa kasus yang kita hadapi itu betul kasus medis atau bukan. Bila itu suatu kasus medis, apakah tergolong yang masih bisa diobati medis atau bukan. Baru bila itu bukan kasus medis atau kasus medis yang memang belum ditemukan obatnya, pikiran mencari penyembuhan nonmedis boleh dipertimbangkan. Itupun dengan catatan belum tentu selalu akan membuahkan hasil.

Agar keputusan berobat menjadi matang, kita perlu memahami kondisi kasus penyakit yang dihadapi, sebagai pasien jangan takut bertanya, sebab hak pasien untuk bertanya. Dan apabila dari hasil konsultasi medis masih belum cukup meyakinkan, jangan sungkan untuk bersabar minta pendapat kedua.

Dr Handrawan Nadesul       

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar