Hidup Hanya Perlu Secukupnya

Orang Jawa memiliki falsafah tentang pentingnya hidup sakmadyo. Bahwa segala sesuatu dalam hidup itu hanya perlu secukupnya saja. Karena apa pun itu jika berlebihan menjadi tidak baik. Seberapa cukup yang secukupnya itu?

Anda pasti sudah pernah mendengar kisah tentang Sidharta Gautama, raja yang memilih meninggalkan kehidupan serba mewah di kerajaan dan menjadi orang biasa yang hidup sederhana. Dialah sosok yang kemudian dikenal sebagai Sang Buddha. 

Di kalangan masyarakat Jawa juga dikenal sosok Ki Ageng Suryomataram, seorang pangeran yang lebih suka menjual rumah dan harta bendanya lalu membagikannya kepada para pembantunya. Ia selanjutnya memilih hidup sederhana sebagai petani di desa.

Kedua tokoh di atas memang merupakan sosok panutan, guru spiritual dengan kapasitas masing-masing, yang mengajarkan tentang ilmu hidup. Mereka telah paham bahwa kemegahan dan kemewahan di dunia ini tidak akan memiliki pengaruh sedikit pun bagi manusia untuk menemukan kembali jalannya "pulang" ke rumah abadi di surga dan bertemu Tuhan. 

Tidak ada satupun rumus dan hukum yang menjelaskan bahwa semakin kaya dan tinggi pangkat seseorang akan semakin dekatlah dia dengan Tuhan, dan lempang pula jalannya menuju surga. Yang ada justru sebaliknya, berupa ajaran yang mengingatkan bahwa menjadi kaya itu memiliki kesulitannya sendiri untuk mencapai surga. Yesus antara lain mengingatkan soal itu.

Memang berbeda 180 derajat dengan kenyataan hidup sehari-hari dunia ini bahwa semakin banyak harta yang kita punya dan semakin tinggi posisi yang kita miliki, akan semakin mudah untuk meraih pusat kekuasaan, atau yang sering disebut sebagai surga dunia. Mungkin karena para malaikat dan Tuhan tidak bisa disuap?

Karena itulah Buddha Gautama maupun Suyromataram meninggalkan harta benda dan kemegahan yang mereka miliki, dan lebih menaruh perhatian pada bagaimana menemukan kebahagiaan sejati itu. Betapa pun harta benda, jabatan, dan kekuasaan bukan merupakan sumber kebahagiaan sejati.  

Mungkin itu pula yang menjadi alasan Pater Agatho, pastur asal Swiss yang kini hidup sebagai petani di kawasan Cisarua, Jawa Barat. Ia memilih meninggalkan kehidupan mewah sebagai pewaris kerajaan bisnis keluarganya, pemilik merek YSL dan Victorinox. Siapa tahu? Dan juga banyak orang-orang lain yang istimewa. 

Pilihan Ekstrem
"Yaa...Tapi, saya ini orang biasa, bukan biarawan atau guru spiritual juga, sehingga saya tetap ingin hidup normal seperti orang-orang lain. Saya ingin hidup enak. Pada kenyataannya toh orang menghargai kita karena apa yang kita punyai dan pakai," ujar Tomy, seorang profesional di bidang pemasaran.

"Betapa sulitnya meninggalkan itu semua...Itulah kehidupan...," ujar Anthony Hopkins yang berperan sebagai William Pharish, pengusaha kaya raya dan terpandang dalam film Meet Joe Black, saat dijemput malaikat maut yang diperankan oleh Brad Pitt.

Memang tidak ada salahnya menjadi kaya, seperti halnya tidak ada jeleknya memiliki kedudukan tinggi. Namun, kedua tokoh kita di atas memang memilih jalannya sendiri, yang bagi kebanyakan kita adalah ekstrem.   

Pilihan ekstrem itu, dari kehidupan lapisan paling atas ke lapisan paling bawah, boleh jadi sesuai bagi mereka karena keduanya lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang bergelimang kemegahan dan kemewahan. Pada akhirnya kedua tokoh kita itu menemukan pencerahan bahwa dengan posisi itu mereka memiliki kesulitannya sendiri untuk mencapai surga abadi.

Kebanyakan kita memang justru sedang berusaha untuk naik ke lapisan kehidupan yang lebih tinggi di dunia ini. Karena itu, cerita yang menyeruak ke permukaan pun selalu tentang "seandainya aku jadi orang kaya", dan bukan sebaliknya.

Ada orang yang sungguh terheran-heran saat menyaksikan bahwa seorang yang sangat kaya dan berkuasa ternyata makanan kesukaannya sayur lodeh dan tempe. "Kok sama saja dengan kita-kita? Saya kira kalau orang kaya itu makanannya lain!" ujar warga yang heran itu, "Kalau gitu buat apa jadi kaya, ya? Duitnya buat apaan?"  

Dari ungkapan heran itu kita sebetulnya dapat menangkap makna yang dalam, bahwa sesungguhnya kebutuhan orang untuk hidup itu tidak banyak. Lalu, untuk apa kita mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan?

Sakmadyo
Kalau kita orang kaya sehingga mampu membeli segala jenis makanan, tapi seberapa banyak kebutuhan makan kita dalam sehari? Kita mampu membeli pakaian merek apa pun dengan harga berapa pun sebanyak-banyaknya, tapi seberapa sering kebutuhan kita berganti pakaian dalam sehari?

Kita penggemar berlian? Akan berapa kali sehari kita berganti perhiasan? Mobil? Rumah mewah? Pria atau wanita cantik? Akan seberapa banyak kita membutuhkan semua itu setiap harinya?

Pada akhirnya kita memang dihadapkan pada kenyataan bahwa sebetulnya kebutuhan hidup itu sangat terbatas. Maka dalam falsafah Jawa terdapat ajaran yang mengingat bahwa segala sesuatu itu hanya perlu secukupnya saja (sakmadyo).

Dalam keseharian kita tahu bahwa makan terlalu banyak itu tidak baik, tapi kurang makan juga jelek bagi kesehatan. Orang terlalu gemuk itu buruk, tapi terlalu kurus juga jelek. Tekanan darah terlalu tinggi pasti jelek sekali, tapi terlalu rendah juga buruk, gula darah terlalu rendah pun tidak baik, tapi terlalu tinggi juga pasti sangat jelek.

Olahraga itu perlu, kalau kurang  berdampak tidak baik, tapi berlebihan pun akan membuat tubuh jadi sakit. Tidur itu penting. Kurang tidur akan berdampak kurang baik bagi kesehatan jiwa dan raga, tapi terlalu banyak juga berakibat negatif bagi kita.

Meditasi, berdoa, sembahyang itu bagus dan penting bagi keseimbangan jiwa dan batin kita. Namun, jika setiap hari waktu hanya kita habiskan di ruang meditasi atau ruang sembahyang? Mungkin itu bukan lagi orang yang mau berpasrah pada Tuhan melainkan pemalas karena "pasrah"  itu aktif.

Orang yang tidak bisa mengekspresikan perasaan  itu tidak baik, namun sebaliknya terlalu mengumbar emosi juga sangat buruk. Orang yang tidak bisa tertawa itu buruk, namun terlalu mengumbar tawa juga jelek sekali. 

Semua itu memperlihatkan bahwa segala sesuatu itu menjadi tidak baik jika berlebihan. Kita hanya memerlukan secukupnya saja untuk hidup. Jika demikian, mengapa kita mengejar mati-matian segala sesuatu yang pada akhirnya hanya kita butuhkan secukupnya saja untuk hidup? 

Mengapa sampai mengorbankan harga diri dan menjual martabat? Untuk apa sampai menelantarkan anak, istri, atau suami? Apa perlunya sampai makan hati dan mengorbankan perasaan? Hidup hanya perlu secukupnya saja.

Seberapa cukup ukuran cukup itu? Sudah saatnya kita mendengarkan alarm tubuh, jiwa, dan roh kita masing-masing agar mengetahui jawabannya. 

Widya Saraswati  

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar