KANKER HATI. MENCARI OBAT UNTUK AFIF KALYUBI
Empat bulan sudah Afif Kalyubi (16) tidak bersekolah. Ia hanya terbaring lemah di tempat duduk sepanjang sekitar 1,5 meter, dalam rumah bibinya, Suharti (45). Sendi dan tulang pundak anak yatim piatu tersebut terlihat menonjol di tangannya yang menyusut. Beberapa kali tangannya mengelus perutnya yang membesar, tampak tak seimbang dengan tubuhnya. Keinginannya untuk bersekolah dan berkumpul bersama teman sebaya sirna oleh diagnosis kanker hati stadium lanjut yang dijatuhkan kepadanya.
Saat ditemui, Selasa (8/12), di rumah bibinya, di RT 003 RW 001 Dusun Kliwon, Desa Kamarang, Kecamatan Greged, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Afif terbaring dengan bertelanjang dada. Kipas angin satu-satunya dalam rumah itu berada di depannya. Saat listrik padam, kipas yang terbuat dari anyaman bambu sudah siap di sampingnya.
"Afif merasa panas di perutnya," kata Suharti. Sukar bagi Afif untuk berbicara, sesak Rongga dadanya seakan menyembul. Namun, ia berusaha tersenyum saat dikunjungi kerabat, perangkat desa juga wartawan.
Kondisi ini telah dialami Afif sejak 29 Juli tahun ini. "Saat itu, Afif mengeluh kalau ulu hatinya sakit. Saya kira penyakitnya kambuh," ujar Suharti. Kemenakannya sejak kecil menderita limpoma, sebuah benjolan lemak di bawah permukaan kulit, di bagian perut. Bahkan, pada 2007 dan 2011, Afif telah dioperasi. Beberapa bagian tubuh Afif sejak kecil juga dipenuhi bintik dan bercak hitam, seperti bintik hitam.
Ia pun membawa Afif ke Puskesmas Kamarang yang kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Waled, Cirebon. Namun, Suharti belum mendapat jawaban atas penyakit keponakannya itu dan disarankan melakukan rawat jalan. "Kata dokter, Afif menderita penyakit yang tak biasa," ujarnya.
Berangsur, perut Afif membesar bersamaan dengan mengurusnya bagian perut ke atas. Suharti pun kembali membawanya ke RS Gunung Jati, Kota Cirebon, pada bulan Oktober. "Afif didiagnosis kanker hati. Obatnya tidak ada. Katanya harus dapat donor hati," lirih Suharti.
Meski selama pengobatan Afif mengandalkan Jaminan Kesehatan Masyarakat tanpa dipungut biaya, diagnosis tersebut menjadi mimpi buruk bagi Afif dan keluarga. "Enggak tahu mau bagaimana lagi," ucapnya.
Yatim piatu
Sejak 2003, ketika kedua orangtua Afif meninggal dalam sebuah kecelakaan, Suharti mengasuh Afif beserta empat saudaranya. Saat itu Afif yang masih berusia 3,5 tahun juga terlibat dalam kecelakaan itu, tetapi ia selamat.
Selama itu pula, Suharti mencoba memaksimalkan upah dari suaminya, Sarja (48), yang bekerja sebagai buruh lepas dengan upah Rp 35.000 - Rp 70.000 per hari. Itu termasuk untuk biaya sekolah Afif.
Kepala Desa Kamarang Nuryadi mengatakan, pihaknya terus mendukung pengobatan Afif, seperti memberi santunan dan menemani Afif ke rumah sakit. Suharti dan keluarga hanya berharap ada jalan untuk kesembuhan Afif. (Abdullah Fikri Ashri)