Pahami risiko akibat operasi kanker otak
Di antara berbagai penyakit atau gangguan kesehatan, tumor atau kanker barangkali dianggap sebagai penyakit tanpa harapan kesembuhan. Tumor otak disebut-sebut lebih mengerikan, karena letaknya di pusat pengatur kehidupan manusia.
Menderita tumor otak? Mendengarkan kata kanker atau tumor otak, pasien dan keluarganya langsung down. Apa sebab? "Karena mitos selama ini menyebutkan kalau sudah terkena tumor otak, habislah riwayatnya," ungkap Teguh A.S. Ranakusuma, dokter spesialis saraf dari Bagian Neurologi FKUI/RSCM.
Menurut Ketua Kelompok diskusi Neuro-onkologi FKUI/RSCM itu, penderita penyakit yang satu ini memang sulit disembuhkan secara total seperti semula, selalu ada risiko.
Risko pascaoperasi macan-macam, di antaranya kelumpuhan, buta, epilepsi (ayan) perilaku dan mood berubah seperti pemarah atau suka sedih, dengan masa hidup hanya beberapa tahun lagi, atau meninggal dunia.
Untuk melakukan operasi pengangkatan tumor otak, tidak semudah melakukan bedah tumor pada organ tubuh lainnya. Sebab, kata Teguh, tumor otak kebetulan letaknya di pusat (sentral) pengatur kehidupan normal manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Karena itu, kata Teguh sebelum melakukan tindakan operasi, keluarga dan pasien yang sudah dewasa diajak berdiskusi dengan tim dokter.
"Semua dikemukakan transparan bagaimana risiko terburuknya. Mau diambil atau tidak, tergantung pada pasien," ujar Teguh di sela-sela Simposium Neruo-onkologi yang baru pertama diselenggarakan di Indonesia.
Simposium yang berlangsung dua hari pada akhir pekan lalu, diikuti oleh 300 orang dokter dari berbagai disiplin ilmu seperti ahli bedah saraf, pakar radiologi, ahli onkologi, dan lainnya.
"Dana hasil dari simposium ini untuk membantu pasien tumor otak dari keluarga tak mampu menjalani operasi," kata Teguh yang menjadi ketua panitia simposium.
Dia menuturkan masalah onkologi (tumor) khususnya neuro-onkologi di Indonesia dalam beberapa tahun mendatang akan semakin booming. Saat ini masalah yang timbul baru sebagai fenomena gunung es, hanya di permukaan saja ditemui.
Diharapkan dengan simposium ini, katanya, masalah neuro-onkologi dapat terungkap secara dini bila faktor-faktor yang mempengaruhi proses onkogenesis, khususnya neuro-onkogenesis diketahui.
"Setelah simposium ini diharapkan terjadi peningkatan kewaspadaan para peserta yang akan menjadi ujung tombak program lanjut dari masyarakat, sehingga didapatkan integritas pola berpikir semua lapisan masyarakat yang terkait sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia," tambahnya.
Mengerikan dan mahal
Di antara berbagai penyakit atau gangguan kesehatan, kata Abdul Salam M. Sofro dari Fak. Kedokteran Universitas Yarsi, tumor atau kanker barangkali dianggap sebagai penyakit tanpa adanya harapan kesembuhan. Tumor otak disebut-sebut lebih mengerikan, karena letaknya di pusat pengatur kehidupan manusia.
Dia mengatakan berbagai jenis tumor telah diketahui, tapi tumor otak primer sebagai kelompok penyakit yang heterogen, merupakan neoplasma yang paling lazim ditemui pada masa kanak-kanak. Di antara berbagai neoplasma otak, glioma menyumbang lebih dari 50 persen tumor yang muncul dari dalam sistem saraf pusat.
Glioma adalah tumor jinak maupun ganas yang berasal dari sel-sel glia yaitu astrosit, oligodendrit, dan ependimosit.
Selain itu, tambah Teguh, biaya perawatan dan operasi penderita tumor otak lumayan besar mencapai Rp 200 juta - Rp 300 juta, tergantung dari lamanya pasien dirawat dan komplikasi penyakitnya.
Karena mahal biayanya, kata dia, banyak penderita tumor otak ini tidak terdeteksi terutama dari kalangan masyarakat ekonomi lemah (keluarga miskin). Dari 1977-2000, lanjutnya, kasus tumor otak fatal yang terdeteksi di RSCM sekitar 100 orang. "Kami tidak tahu di rumah sakit lain, karena belum ada data yang jelas."
Berhasil diatasi
Dari 100 pasien yang ditangani tersebut, katanya, yang berhasil diatasi sekitar 30 orang. Dia menyebutkan berhasil atau tidaknya kerja tim dokter merujuk pada dua hal. Pertama, pasien mau ikut saran dokter lengkap dengan berbagai risiko yang akan muncul setelah operasi, termasuk besar biayanya. Kedua, pasien menolak dengan penuh pengertian (biasanya karena tidak ada uang).
Untuk pasien yang ingin diperasi, ujarnya, biayanya ada tiga opsi, yaitu lewat sponsor, pribadi, dan JPS (Jaring Pengaman Sosial) dari pemerintah.
Walau tumor yang ingin dioperasi dianggap sangat mengerikan dan tidak memberikan hidup panjang bagi penderitanya, tim dokter dan kesehatan terus mencari solusi pengobatan dan terapi, agar bisa membantu pasien untuk hidup layak, sehat, dan lebih lama lagi. Selama ini lama hidup pasien pascaoperasi, kata Teguh berkisar 2-3 tahun, dan paling lama ada yang mencapai enam tahun.
Seperti salah seorang pasiennya yang telah berobat ke Jepang, tapi karena mahal biayanya, lalu datang ke RSCM. Setelah menjalani operasi enam tahun lalu dia masih beraktivitas, bahkan bisa melanjutkan kuliah pascasarjana.
"Tapi ada juga yang buta dan lumpuh. Itu karena ada saraf mata atau saraf lainnya yang tersenggol saat operasi," ujarnya.
Dia mengatakan penderita tumor otak bisa semakin bodoh karena berbagai fungsi sarafnya terganggu, atau sebaliknya makin pintar. "Jadi bila ada orang yang biasa-biasa saja, tiba-tiba menjadi pintar perlu dicurigai dan diperiksa sistem sarafnya ke rumah sakit."
Karena risiko pascaoperasi fatal, katanya, maka sekarang ini kebijakan ini dilakukan olem tim dokter adalah dengan mengajak pasien dan keluarganya membicarakan semua risiko.
"Bila keluarga menyanggupi, tapi pasien takut, maka keputusan tim dokter adalah mengikuti kata pasien. Karena dia yang berhak menentukan hidupnya. Itu berlaku bagi pasien dewasa dan dalam keadaan sadar," tutur Teguh. (yr)