Tuberkulosis, Kenapa Belum Hilang?
JANUARI 1900, lebih dari 100 tahun lalu, dunia begitu optimis mampu memberantas tuberkulosis (TB). Maklum, Robert Koch tanggal 24 Maret 1882 baru saja menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis penyebab TB. Sanatorium banyak dibangun dan vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerrin) ditemukan.
Tahun 1952 mulai diperkenalkan kombinasi "triple drug" yang terdiri isoniazid, streptomisin, dan PAS yang diberikan selama 24 bulan dengan angka kesembuhan lebih dari 90 persen. Beberapa dekade setelah itu ditemukan obat rifampisin dan pirazinamid sehingga lama pengobatan tinggal enam bulan.
Namun, optimisme surut awal abad ke-21. Satu orang terinfeksi TB setiap detik. Setiap hari 20.000 orang jatuh sakit dan 5.000 orang meninggal akibat TB.
Tuberkulosis membunuh hampir satu juta jiwa wanita setahunnya, lebih tinggi dari kematian wanita akibat proses kehamilan dan persalinan, dan membunuh 100.000 anak per tahun. Sampai saat ini tidak ada satu negara pun di dunia yang bebas tuberkulosis. Bahkan tanpa perubahan cara penanggulangan, kasus TB tahun 2020 diperkirakan menjadi 11 juta jiwa.
Data WHO menunjukkan Indonesia adalah penyumbang kasus terbesar ke tiga di dunia. Setiap tahun jumlah penderita baru TB menular 262.000 orang dan jumlah total penderita 583.000 orang. Diperkirakan 140.000 orang Indonesia meninggal per tahun akibat tuberkulosis.
Tertular dan sakit
Salah satu masalah utama belum tereradikasinya TB adalah kenyataan terdapatnya kelompok masyarakat yang tertular basil TB. Sepertiga penduduk dunia (2 miliar) telah tertular TB. Di Indonesia, dengan angka risiko tertular (risk of infection) 2 persen saja, sebagian besar masyarakat pada usia produktif tertular TB, dan di tiap tubuh ada basil TB "tidur".
Mereka yang tertular ini - ditandai dengan tes mantoux yang positif - tidaklah sakit. Mereka tetap sehat, hanya di dalam tubuhnya sudah ada kuman TB. Kalau orang-orang ini turun daya tahan tubuhnya, maka kuman TB yang "tidur" akan bangkit dan menimbulkan penyakit.
Contohnya adalah perang di Indocina yang menyebabkan banjir pengungsi - Disebut boat people - dan meningkatkan angka kejadian TB. Laporan penduduk yang kurang gizi di Indonesia perlu mendapat perhatian penting dan bukan tidak mungkin memicu terjadinya TB.
Saat ini infeksi HIV (Human Imunodeficiency virus). /AIDS merupakan faktor penting pula yang mengaktifkan kuman TB dorman. Seseorang dengan HIV positif dan terinfeksi TB, 30 kali lebih mudah menderita TB dibandingkan dengan mereka yang HIV negatif. Semua ini menyebabkan selalu saja ada "kantong" penduduk yang sewaktu-waktu bisa jatuh sakit kendati tidak ada infeksi baru.
Selain itu, TB sulit dibasmi karena obat yang diberikan harus beberapa macam dan pengobatannya makan waktu lama, minimal enam bulan. Hal ini menyebabkan penderita putus berobat. Tidak jarang setelah memakan obat 2-3 bulan keluhan hilang sehingga pasien berhenti berobat.
Selain butuh penyuluhan, diperlukan kesadaran para petugas kesehatan untuk menjelaskan secara rinci pada pasien tentang perlunya berobat secara teratur dan tuntas. Ketidakpatuhan berobat bukan semata-mata kesalahan pasien, namun juga kesalahan petugas kesehatan yang gagal meyakinkan pasien untuk tuntas berobat.
Hal lain yang juga amat penting adalah kurangnya perhatian pada tuberkulosis dari berbagai pihak terkait. Akibatnya, program penanggulangan TB di berbagai tempat menjadi amat lemah dan riset di bidang tuberkulosis kurang perhatian.
Teknologi masa datang
Sebenarnya telah terbukti bahwa program DOTS (directly observed treatment short course) dapat menanggulangi TB suatu negara. Targetnya adalah setidaknya 70 persen pasien di negara itu berhasil ditemukan 85 persennya harus disembuhkan, dikenal dengan target 70/85.
Beberapa negara sudah mencapai angka ini, dan Indonesia sedang bergerak ke situ. Menurut data Departemen Kesehatan, dari hampir sekitar 50 persen pasien TB di Indonesia sudah 85 persennya berhasil disembuhkan. Upaya ini harus digalakkan agar target 70/85 segera tercapai.
Hal lain yang menggembirakan adalah teknik diagnosis baru tuberkulosis telah dikembangkan, selain alternatif dengan menggunakan oxygen quenching dan reagens redox. Beberapa penelitian menunjukkan peran penting molecular typing untuk mendiagnosis TB. Kini dikembangkan pula penghitungan jumlah IFN-g yang diproduksi limfosit T.
Teknik baru lain adalah deteksi molekular resistensi rifampisin yang akan mendeteksi mutasi gen rpoB - penyebab resistensi pada rifampisin - dan teknik nucleidacid amplification (NAA) yang lebih sensitif dari pemeriksaan mikroskopik biasa tetapi kurang sensitif dibanding kultur.
Ada juga upaya mencari obat TB baru, antara lain dalam kegiatan yang tergabung pada Global Alliance for TB Drug Development yang menargetkan obat TB baru tahun 2010. Salah satu hal penting dalam perkembangan obat baru TB yang kini telah tersedia adalah obat dalam bentuk fixed dose combination (FDCs), tablet yang menggabungkan 2, 3 atau 4 obat dalam 1 kapsul sehingga mudah diminum.
Tahun 1952 mulai diperkenalkan kombinasi "triple drug" yang terdiri isoniazid, streptomisin, dan PAS yang diberikan selama 24 bulan dengan angka kesembuhan lebih dari 90 persen. Beberapa dekade setelah itu ditemukan obat rifampisin dan pirazinamid sehingga lama pengobatan tinggal enam bulan.
Namun, optimisme surut awal abad ke-21. Satu orang terinfeksi TB setiap detik. Setiap hari 20.000 orang jatuh sakit dan 5.000 orang meninggal akibat TB.
Tuberkulosis membunuh hampir satu juta jiwa wanita setahunnya, lebih tinggi dari kematian wanita akibat proses kehamilan dan persalinan, dan membunuh 100.000 anak per tahun. Sampai saat ini tidak ada satu negara pun di dunia yang bebas tuberkulosis. Bahkan tanpa perubahan cara penanggulangan, kasus TB tahun 2020 diperkirakan menjadi 11 juta jiwa.
Data WHO menunjukkan Indonesia adalah penyumbang kasus terbesar ke tiga di dunia. Setiap tahun jumlah penderita baru TB menular 262.000 orang dan jumlah total penderita 583.000 orang. Diperkirakan 140.000 orang Indonesia meninggal per tahun akibat tuberkulosis.
Tertular dan sakit
Salah satu masalah utama belum tereradikasinya TB adalah kenyataan terdapatnya kelompok masyarakat yang tertular basil TB. Sepertiga penduduk dunia (2 miliar) telah tertular TB. Di Indonesia, dengan angka risiko tertular (risk of infection) 2 persen saja, sebagian besar masyarakat pada usia produktif tertular TB, dan di tiap tubuh ada basil TB "tidur".
Mereka yang tertular ini - ditandai dengan tes mantoux yang positif - tidaklah sakit. Mereka tetap sehat, hanya di dalam tubuhnya sudah ada kuman TB. Kalau orang-orang ini turun daya tahan tubuhnya, maka kuman TB yang "tidur" akan bangkit dan menimbulkan penyakit.
Contohnya adalah perang di Indocina yang menyebabkan banjir pengungsi - Disebut boat people - dan meningkatkan angka kejadian TB. Laporan penduduk yang kurang gizi di Indonesia perlu mendapat perhatian penting dan bukan tidak mungkin memicu terjadinya TB.
Saat ini infeksi HIV (Human Imunodeficiency virus). /AIDS merupakan faktor penting pula yang mengaktifkan kuman TB dorman. Seseorang dengan HIV positif dan terinfeksi TB, 30 kali lebih mudah menderita TB dibandingkan dengan mereka yang HIV negatif. Semua ini menyebabkan selalu saja ada "kantong" penduduk yang sewaktu-waktu bisa jatuh sakit kendati tidak ada infeksi baru.
Selain itu, TB sulit dibasmi karena obat yang diberikan harus beberapa macam dan pengobatannya makan waktu lama, minimal enam bulan. Hal ini menyebabkan penderita putus berobat. Tidak jarang setelah memakan obat 2-3 bulan keluhan hilang sehingga pasien berhenti berobat.
Selain butuh penyuluhan, diperlukan kesadaran para petugas kesehatan untuk menjelaskan secara rinci pada pasien tentang perlunya berobat secara teratur dan tuntas. Ketidakpatuhan berobat bukan semata-mata kesalahan pasien, namun juga kesalahan petugas kesehatan yang gagal meyakinkan pasien untuk tuntas berobat.
Hal lain yang juga amat penting adalah kurangnya perhatian pada tuberkulosis dari berbagai pihak terkait. Akibatnya, program penanggulangan TB di berbagai tempat menjadi amat lemah dan riset di bidang tuberkulosis kurang perhatian.
Teknologi masa datang
Sebenarnya telah terbukti bahwa program DOTS (directly observed treatment short course) dapat menanggulangi TB suatu negara. Targetnya adalah setidaknya 70 persen pasien di negara itu berhasil ditemukan 85 persennya harus disembuhkan, dikenal dengan target 70/85.
Beberapa negara sudah mencapai angka ini, dan Indonesia sedang bergerak ke situ. Menurut data Departemen Kesehatan, dari hampir sekitar 50 persen pasien TB di Indonesia sudah 85 persennya berhasil disembuhkan. Upaya ini harus digalakkan agar target 70/85 segera tercapai.
Hal lain yang menggembirakan adalah teknik diagnosis baru tuberkulosis telah dikembangkan, selain alternatif dengan menggunakan oxygen quenching dan reagens redox. Beberapa penelitian menunjukkan peran penting molecular typing untuk mendiagnosis TB. Kini dikembangkan pula penghitungan jumlah IFN-g yang diproduksi limfosit T.
Teknik baru lain adalah deteksi molekular resistensi rifampisin yang akan mendeteksi mutasi gen rpoB - penyebab resistensi pada rifampisin - dan teknik nucleidacid amplification (NAA) yang lebih sensitif dari pemeriksaan mikroskopik biasa tetapi kurang sensitif dibanding kultur.
Ada juga upaya mencari obat TB baru, antara lain dalam kegiatan yang tergabung pada Global Alliance for TB Drug Development yang menargetkan obat TB baru tahun 2010. Salah satu hal penting dalam perkembangan obat baru TB yang kini telah tersedia adalah obat dalam bentuk fixed dose combination (FDCs), tablet yang menggabungkan 2, 3 atau 4 obat dalam 1 kapsul sehingga mudah diminum.
DR Tjandra Yoga Aditama
Bagian Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FKUI/RS Persahabatan, Ketua III
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI)
Bagian Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FKUI/RS Persahabatan, Ketua III
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI)