Target 125 per 100.000 Kelahiran Sulit Tercapai. Perdarahan masih Penyebab Tertinggi AKI
SIAPA yang tidak kenal Raden Ajeng Kartini? Lewat surat-suratnya, tokoh yang lahir 21 April 1873 itu berkeinginan mengangkat martabat kaum perempuan Jawa supaya memiliki hak yang sama dengan pria. Namun, di balik pemikirannya yang cemerlang, wanita asal Jepara itu ternyata harus meninggal karena komplikasi saat melahirkan anak pertamanya.
Di zaman modern sekarang pun, nasib perempuan Indonesia lainnya saat melahirkan ternyata masih memprihatinkan. Ketika akan melahirkan, terutama kaum ibu di pedesaan bisa diartikan memasuki ujian berat. Pasalnya tidak sedikit kaum ibu yang harus kehilangan nyawanya saat melahirkan. Badan PBB untuk kependudukan (UNFPA) melaporkan bahwa dalam setiap jamnya terdapat dua perempuan Indonesia yang meninggal karena melahirkan.
"Memang betul angka kematian ibu (AKI) masih tinggi di Indonesia," jelas dr Lukman Hendro Laksmono MBA, Kepala Sub Direktorat kesehatan Ibu dan Anak Direktorat Kesehatan Keluarga Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes saat ditemui Media di kantornya.
Data terakhir survei SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia) 2002-2003 menyatakan, AKI tercatat 307 orang per 100.000 kelahiran ibu. Bila dibandingkan negara-negara lain atau bahkan di Asia Tenggara, AKI di Indonesia menempati posisi yang mengkhawatirkan. Bahkan terlalu timpang dibandingkan AKI Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Pertanyaannya sekarang apa yang menyebabkan AKI di Indonesia tinggi? Lukman menjelaskan ada dua faktor penyebab, yaitu medis dan akses ke pelayanan kesehatan. Penyebab AKI berdasarkan urutannya terdiri dari pendarahan yang mencapai 28%, ekslamsia atau keracunan kehamilan (24%), infeksi, komplikasi kelahiran (8%), dan partus atau persalinan yang macet atau lama (5%).
Penyebab kedua, masalah akses ke pelayanan kesehatan. Menurut Lukman, akses yang dimaksud adalah menyangkut tiga keterlambatan. Pertama, terlambat untuk mengenali dan memutuskan untuk merujuk memberi pelayanan kesehatan. Kedua, terlambat karena kendala transportasi. Ketiga, keterlambatan mendapatkan penanganan yang baik di fasilitas kesehatan.
Untuk menurunkan AKI, pemerintah gencar melakukan beberapa program. Namun pada 1999, upaya menurunkan AKI terasa berjalan di tempat. Bahkan tidak mencapai target. Itulah sebabnya di masa pemerintahan Presiden Gus Dur dikembangkan strategi Making Pregnancy Safer (MPS).
MPS yang dicanangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lanjut Lukman, bukan hanya menyoroti soal nasib ibu melahirkan. Bayi yang dilahirkan selamat juga bagian dari MPS. Untuk mendukung tercapainya MPS, pemerintah melaksanakan strategi utama adalah memberi pertolongan persalinan yang diberikan tenaga kesehatan.
Upaya ini ditujukan mencegah terjadinya pendarahan yang telah menjadi biang keladi kematian ibu. Termasuk pula mengatasi kasus partus macet atau lama. Lukman menilai dengan menangani persalinan yang baik berarti pendarahan dapat diatasi dengan cepat.
Upaya kunci kedua, mengupayakan komplikasi ibu yang mengandung dan melahirkan dapat ditangani dengan baik. Tentunya hal ini tidak lepas dari kesiapan rumah sakit dan puskesmas. Terutama untuk puskesmas dengan tempat perawatan atau tempat tidur sangat diharapkan mampu melayani kasus komplikasi. "Selama ini yang bisa menangani kegawatdaruratan itu baru rumah sakit dan puskesmas perawatan," kata Lukman.
Ketiga adalah mengupayakan agar semua wanita usia subur mendapat pelayanan pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, Lukman mengingatkan bahwa jangan salah menginterpretasikan maksudnya dan jangan dianggap menganjurkan abortus.
"Ini sebenaranya program KB (Keluarga Berencana) juga tetapi kita fokuskan kepada upaya untuk mengurangi jumlah ibu yang tidak ingin hamil tetapi hamil. Karena seringnya terjadi kehamilan tidak diinginkan mengarah ke pengguguran kandungan," katanya.
Target 2010
Lebih lanjut, Lukman mengatakan, Indonesia menargetkan pada 2010 bisa menurunkan AKI menjadi 125 per 100.000 kelahiran. Namun, melihat perjalanan AKI yang pada 1994 sebanyak 390, lalu 1997 menjadi 334, dan 2002 menjadi 307, agaknya sulit mencapai target tersebut.
Kendati berbagai upaya dilakukan, Lukman mengaku tidak terlalu optimistis. Apalagi adanya otonomi daerah bukannya mendorong masalah AKI menjadi prioritas. Bahkan banyak pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota menempatkan masalah AKI di nomor sepatu dalam program pembangunan daerahnya.
"Pepatah 'surga di telapak kaki ibu' tampaknya baru berupa slogan dan belum diterapkan dalam kehidupan." Karena itu, menurut Lukman, untuk menurunkan AKI pemerintah pusat tampaknya masih harus turun tangan. Bagaimana mungkin menurunkan AKI kalau program pembangunan untuk mengatasi nasib buruk kaum ibu tidak mendapat alokasi dana yang cukup. Menurut perhitungan Lukman, agar bisa mengatasi AKI di seluruh Indonesia, idealnya diprediksi membutuhkan dana sekitar Rp 7 triliun.
Yang perlu diingat, kata Lukman, menurunkan AKI sama dengan di masa mendatang. Pasalnya tanpa bisa mengatasi AKI, masa depan anak Indonesia juga suram. Ibu selain memberi perawatan yang telaten juga membentuk karakter seorang anak. Artinya, jika AKI masih tinggi berarti persiapan sumber daya manusia masih sebatas wacana.
Bahkan sebuah studi di Bangladesh mengungkapkan apabila seorang ibu meninggal biasanya anaknya yang berusia 2-3 tahun tidak lama lagi meninggal. "Persoalannya bukan tidak tersedianya nutrisi, tetapi perawatan yang diberikan selain ibu kandungnya biasanya buruk."
Waspadai beberapa penyakit
Sementara itu, menurut dr Taufik Jamaan SpOG, ketua bidang Keluarga Berencana dan kependudukan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), ada beberapa penyakit yang perlu diwaspadai kaum ibu hamil agar nantinya janin dan ibu selamat dalam proses kelahiran.
"Pertama adalah penyakit preeklamsia atau peninggian tekanan darah ketika sedang hamil. Ini bisa disebabkan adanya riwayat hipertensi pada ibu atau kebocoran protein pada ginjal."
Terjadinya preeklamsia ini terkadang tidak diketahui oleh si ibu atau ibu tidak memiliki riwayat hipertensi sebelumnya. "Tensinya bisa mencapai 160 dan bila gangguan itu tidak segera diatasi akan mengancam nyawa ibu."
Sindrom preeklamsia ini disebabkan adanya kelainan pembuluh darah ketika si ibu hamil. Kelainan ini bisa disebabkan pembuluh darah menyempit, kerusakan endotel pembuluh darah dan sebab-sebab lainnya. "Kalau ibu mengalami preeklamsia, maka janin akan sulit berkembang atau pertumbuhannya terlambat. Atau ibu akan mengalami kejang-kejang dalam kehamilan dan bisa mengancam jiwa serta janinnya."
Terjadinya preeklamsia atau eklamsia ini disebabkan diet kurang protein, memiliki penyakit hipertensi sebelumnya atau riwayat preeklamsia pada keluarga. Bisa juga disebabkan hamil dengan kehamilan ganda atau kembar, diabetes melitus (DM), mola hidatidasi, hidrausminori, dan janin besar.
Gejala awalnya, lanjutnya, kenaikan berat badan yang berlebihan, sakit kepala, kaki bengkak (oedema), gangguan penglihatan dan nyeri epigastrum.
Bila sudah demikian, kata Taufik lagi, ibu bisa mengalami komplikasi berupa gagal ginjal, perdarahan otak, pelepasan retina mata ataupun oedema paru (paru membengkak). Janin pun bisa lahir prematur atau mengalami kecacatan atau meninggal dunia.
"Dianjurkan agar ibu hamil dengan preeklamsia ini melakukan diet rendah garam dan tinggi protein, banyak istirahat serta berkonsultasi ke dokter."
Penyakit lainnya yang mengganggu pertumbuhan janin, lanjut Taufik, adalah infeksi TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus). Penelitian lain menyebutkan sekitar 3%-5% bayi yang terinfeksi TORCH ini lahir cacat.
"Ibu yang terkena virus TORCH ini bisa menyebabkan bayi lahir cacat atau keguguran. Untuk itu ibu perlu menjaga kebersihan di lingkungannya. Karena virus ini tidak tampak dan bersumber pada binatang piaraan di sekitarnya," kata Taufik yang kesehariannya berpraktik di Klinik Fertilitas Morula RS Bunda Jakarta.
Bahkan kasus rubela ini bisa menyebabkan bayi yang lahir memiliki daya penglihatan kurang. Contohnya, kasus bayi berumur 4 bulan yang terkena rubela ketika berada di dalam kandungan, terpaksa harus menggunakan kacamata plus 30.
Kasus lain yang cukup banyak terjadi di Indonesia adalah anemia (kurang darah) dan kurang gizi. "Cukup tinggi kasus anemia di Indonesia pada ibu hamil. Ini juga menjadi salah satu faktor kematian ibu di Indonesia."
Menurut Taufik, ibu hamil yang menderita anemia akan mengalami banyak gangguan kesehatan selama kehamilan. "Sebagai contoh karena kekurangan darah, janin tidak berkembang dengan baik. Pada ibu sendiri akan mengalami risiko dalam persalinan. Ibu akan mengalami perdarahan dalam proses melahirkan. Ibu tidak memiliki tenaga yang kuat saat melahirkan, karena lesu dan lemah."
Bila anemia cukup berat, yakni Hb seorang ibu hamil di bawah 11 atau sampai 8, maka harus segera diwaspadai. "Ibu tersebut harus segera ditransfusi untuk mendapat tambahan darah. Penderita anemia akan mudah terkena infeksi penyakit lainnya karena daya tahan tubuh rendah. Salah satu infeksi yang sekarang masih tinggi adalah tuberkulosis (Tb). Penyakit yang diderita ibu pun menjadi ganda dan cukup berat bagi pertumbuhan janin."
(Drd/Nda/V-1)
Upaya kunci kedua, mengupayakan komplikasi ibu yang mengandung dan melahirkan dapat ditangani dengan baik. Tentunya hal ini tidak lepas dari kesiapan rumah sakit dan puskesmas. Terutama untuk puskesmas dengan tempat perawatan atau tempat tidur sangat diharapkan mampu melayani kasus komplikasi. "Selama ini yang bisa menangani kegawatdaruratan itu baru rumah sakit dan puskesmas perawatan," kata Lukman.
Ketiga adalah mengupayakan agar semua wanita usia subur mendapat pelayanan pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, Lukman mengingatkan bahwa jangan salah menginterpretasikan maksudnya dan jangan dianggap menganjurkan abortus.
"Ini sebenaranya program KB (Keluarga Berencana) juga tetapi kita fokuskan kepada upaya untuk mengurangi jumlah ibu yang tidak ingin hamil tetapi hamil. Karena seringnya terjadi kehamilan tidak diinginkan mengarah ke pengguguran kandungan," katanya.
Target 2010
Lebih lanjut, Lukman mengatakan, Indonesia menargetkan pada 2010 bisa menurunkan AKI menjadi 125 per 100.000 kelahiran. Namun, melihat perjalanan AKI yang pada 1994 sebanyak 390, lalu 1997 menjadi 334, dan 2002 menjadi 307, agaknya sulit mencapai target tersebut.
Kendati berbagai upaya dilakukan, Lukman mengaku tidak terlalu optimistis. Apalagi adanya otonomi daerah bukannya mendorong masalah AKI menjadi prioritas. Bahkan banyak pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota menempatkan masalah AKI di nomor sepatu dalam program pembangunan daerahnya.
"Pepatah 'surga di telapak kaki ibu' tampaknya baru berupa slogan dan belum diterapkan dalam kehidupan." Karena itu, menurut Lukman, untuk menurunkan AKI pemerintah pusat tampaknya masih harus turun tangan. Bagaimana mungkin menurunkan AKI kalau program pembangunan untuk mengatasi nasib buruk kaum ibu tidak mendapat alokasi dana yang cukup. Menurut perhitungan Lukman, agar bisa mengatasi AKI di seluruh Indonesia, idealnya diprediksi membutuhkan dana sekitar Rp 7 triliun.
Yang perlu diingat, kata Lukman, menurunkan AKI sama dengan di masa mendatang. Pasalnya tanpa bisa mengatasi AKI, masa depan anak Indonesia juga suram. Ibu selain memberi perawatan yang telaten juga membentuk karakter seorang anak. Artinya, jika AKI masih tinggi berarti persiapan sumber daya manusia masih sebatas wacana.
Bahkan sebuah studi di Bangladesh mengungkapkan apabila seorang ibu meninggal biasanya anaknya yang berusia 2-3 tahun tidak lama lagi meninggal. "Persoalannya bukan tidak tersedianya nutrisi, tetapi perawatan yang diberikan selain ibu kandungnya biasanya buruk."
Waspadai beberapa penyakit
Sementara itu, menurut dr Taufik Jamaan SpOG, ketua bidang Keluarga Berencana dan kependudukan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), ada beberapa penyakit yang perlu diwaspadai kaum ibu hamil agar nantinya janin dan ibu selamat dalam proses kelahiran.
"Pertama adalah penyakit preeklamsia atau peninggian tekanan darah ketika sedang hamil. Ini bisa disebabkan adanya riwayat hipertensi pada ibu atau kebocoran protein pada ginjal."
Terjadinya preeklamsia ini terkadang tidak diketahui oleh si ibu atau ibu tidak memiliki riwayat hipertensi sebelumnya. "Tensinya bisa mencapai 160 dan bila gangguan itu tidak segera diatasi akan mengancam nyawa ibu."
Sindrom preeklamsia ini disebabkan adanya kelainan pembuluh darah ketika si ibu hamil. Kelainan ini bisa disebabkan pembuluh darah menyempit, kerusakan endotel pembuluh darah dan sebab-sebab lainnya. "Kalau ibu mengalami preeklamsia, maka janin akan sulit berkembang atau pertumbuhannya terlambat. Atau ibu akan mengalami kejang-kejang dalam kehamilan dan bisa mengancam jiwa serta janinnya."
Terjadinya preeklamsia atau eklamsia ini disebabkan diet kurang protein, memiliki penyakit hipertensi sebelumnya atau riwayat preeklamsia pada keluarga. Bisa juga disebabkan hamil dengan kehamilan ganda atau kembar, diabetes melitus (DM), mola hidatidasi, hidrausminori, dan janin besar.
Gejala awalnya, lanjutnya, kenaikan berat badan yang berlebihan, sakit kepala, kaki bengkak (oedema), gangguan penglihatan dan nyeri epigastrum.
Bila sudah demikian, kata Taufik lagi, ibu bisa mengalami komplikasi berupa gagal ginjal, perdarahan otak, pelepasan retina mata ataupun oedema paru (paru membengkak). Janin pun bisa lahir prematur atau mengalami kecacatan atau meninggal dunia.
"Dianjurkan agar ibu hamil dengan preeklamsia ini melakukan diet rendah garam dan tinggi protein, banyak istirahat serta berkonsultasi ke dokter."
Penyakit lainnya yang mengganggu pertumbuhan janin, lanjut Taufik, adalah infeksi TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus). Penelitian lain menyebutkan sekitar 3%-5% bayi yang terinfeksi TORCH ini lahir cacat.
"Ibu yang terkena virus TORCH ini bisa menyebabkan bayi lahir cacat atau keguguran. Untuk itu ibu perlu menjaga kebersihan di lingkungannya. Karena virus ini tidak tampak dan bersumber pada binatang piaraan di sekitarnya," kata Taufik yang kesehariannya berpraktik di Klinik Fertilitas Morula RS Bunda Jakarta.
Bahkan kasus rubela ini bisa menyebabkan bayi yang lahir memiliki daya penglihatan kurang. Contohnya, kasus bayi berumur 4 bulan yang terkena rubela ketika berada di dalam kandungan, terpaksa harus menggunakan kacamata plus 30.
Kasus lain yang cukup banyak terjadi di Indonesia adalah anemia (kurang darah) dan kurang gizi. "Cukup tinggi kasus anemia di Indonesia pada ibu hamil. Ini juga menjadi salah satu faktor kematian ibu di Indonesia."
Menurut Taufik, ibu hamil yang menderita anemia akan mengalami banyak gangguan kesehatan selama kehamilan. "Sebagai contoh karena kekurangan darah, janin tidak berkembang dengan baik. Pada ibu sendiri akan mengalami risiko dalam persalinan. Ibu akan mengalami perdarahan dalam proses melahirkan. Ibu tidak memiliki tenaga yang kuat saat melahirkan, karena lesu dan lemah."
Bila anemia cukup berat, yakni Hb seorang ibu hamil di bawah 11 atau sampai 8, maka harus segera diwaspadai. "Ibu tersebut harus segera ditransfusi untuk mendapat tambahan darah. Penderita anemia akan mudah terkena infeksi penyakit lainnya karena daya tahan tubuh rendah. Salah satu infeksi yang sekarang masih tinggi adalah tuberkulosis (Tb). Penyakit yang diderita ibu pun menjadi ganda dan cukup berat bagi pertumbuhan janin."
(Drd/Nda/V-1)