Uji Klinik Alat Terapi Kanker
Kita semua tahu bahwa apabila seseorang didiagnosis terkena kanker, maka ia menjadi cemas seolah-olah kematian sudah di depan mata. Apalagi bila dokter mengatakan harapan hidupnya tinggal beberapa bulan lagi.
Pengobatan kanker sampai saat ini memang belum dapat menjamin kesembuhan total, tetapi dapat memperpanjang usia harapan hidup atau mengurangi penderitaan psikis.
Jadi keputusan seseorang berobat ke Klinik Edwar Technology dan menerima semua persyaratan SOP (standard operating procedure) adalah haknya. Karena itu, tulisan dr Inez Nimpuno bahawa Kementerian Kesehatan meminta Wali Kota Tangerang menertibkan Klinik Dr Warsito berdasarkan laporan warga yang merasa dirugikan, (Kompas, 16/1/2016), perlu disertai penjelasan lebih lanjut tentang hal-hal apa yang dirugikan. Dengan demikian, masyarakat tahu dan punya banyak pertimbangan sebelum memutuskan.
Dr Inez Nimpuno mengatakan bahwa kanker membutuhkan terapi super jitu, tepat, serta cepat, dan belum tentu sembuh. Betul memang demikian walaupun belum tentu sembuh total, tetapi terapi akan selalu bermanfaat, paling tidak dapat memperpanjang usia harapan hidup atau memperbaiki mood pasien dan relasi dengan keluarganya.
Perlu hasil uji
Saya setuju bahwa semua terapi yang diberikan kepada pasien harus berdasarkan bukti hasil uji (evidence based medicine) atau uji klinik untuk mengetahui keamanan dan kemanjuran bahan uji. Karena Klinik Dr Warsito tidak memenuhi prinsip terapi dan praktik kedokteran, maka berdasarkan keputusan Menkes tanggal 2 Desember 2015, klinik tersebut dilarang menerima klien baru bagi pelayanan ECCT (electro capacitive cancer therapy) hingga hasil riset diumumkan.
Kesimpulannya, Dr Warsito harus melakukan uji klinik alat kesehatannya mengikuti standar baku WHO di mana menurut Staf Ahli Menkes Bidang Medikolegal Tri Tarayati bahwa Badan POM telah menerbitkan pedoman cara uji klinik yang baik untuk obat dan alat kesehatan.
Prof Dr Agus Purwodianto mengatakan bahwa belum ada protokol uji alat kesehatan. Prof Agus juga pernah menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes). Saya selama menjadi peneliti di Badan Litbangkes juga belum pernah mengetahui ada uji klinik alat kesehatan. Yang ada adalah uji klinik obat.
Saya pernah terlibat dua kali uji klinik obat antara lain menentukan jumlah sampel pasien yang memenuhi kriteria inklusif dan ekskusif yang dapat digunakan untuk mengetahui keamanan dan manfaat bahan uji dan untuk memenuhi adanya pasien yang drop out.
Uji klinik
Sebagaimana diketahui, pelaksanaan uji klinik obat ada empat tahap. Pertama, mengetahui keamanan bahan uji; kedua, mengetahui manfaat bahan uji; ketiga, melibatkan pasien uji lebih banyak, dan keempat adalah postmarketing bahan uji.
Uji klinik alat kesehatan Dr. Warsito mestinya tidak jauh berbeda dari uji klinik obat. Yang akan menjadi masalah adalah perlakuan percobaan uji klinik harus seperti yang sekarang diberlakukan pada pasien Dr Warsito, yaitu selama 6-9 bulan dan menjaga kepatuhan pasien jangan sampai drop out. Belum lagi bagaimana menentukan pembanding dan plasebo untuk alat kesehatan tersebut.
Perlu juga diperhatikan uji klinik selama 6-9 bulan tentu akan berpengaruh terhadap jalannya proses penyakit kanker. Uji klinik obat memerlukan biaya besar, apalagi uji klinik alat kesehatan ini. Lalu siapa yang akan membiayai? Apakah Dr Warsito sendiri atau melibatkan Kementerian Riset dan Teknologi?
Pelaksanan uji klinik alat kesehatan akan banyak mengalami kesulitan secara ilmiah karena protokol atau pedoman uji klinik belum ada. Indonesia juga belum pengalaman melakukan uji klinik alat kesehatan. Jadi, keputusan Menkes menghentikan penerimaan pasien sebelum ada hasil uji klinik akan berlangsung lama dan merugikan pasien yang ingin terapi ECCT.
Adalah hak pasien mencari pengobatan yang terbaik menurut pertimbangannya. Apalagi yang dilakukan Dr Warsito bukan abal-abal, tetapi suatu hasil penelitian bidang fisika seseorang peneliti Indonesia yang ikut mengharumkan nama bangsa.
Jadi keputusan seseorang berobat ke Klinik Edwar Technology dan menerima semua persyaratan SOP (standard operating procedure) adalah haknya. Karena itu, tulisan dr Inez Nimpuno bahawa Kementerian Kesehatan meminta Wali Kota Tangerang menertibkan Klinik Dr Warsito berdasarkan laporan warga yang merasa dirugikan, (Kompas, 16/1/2016), perlu disertai penjelasan lebih lanjut tentang hal-hal apa yang dirugikan. Dengan demikian, masyarakat tahu dan punya banyak pertimbangan sebelum memutuskan.
Dr Inez Nimpuno mengatakan bahwa kanker membutuhkan terapi super jitu, tepat, serta cepat, dan belum tentu sembuh. Betul memang demikian walaupun belum tentu sembuh total, tetapi terapi akan selalu bermanfaat, paling tidak dapat memperpanjang usia harapan hidup atau memperbaiki mood pasien dan relasi dengan keluarganya.
Perlu hasil uji
Saya setuju bahwa semua terapi yang diberikan kepada pasien harus berdasarkan bukti hasil uji (evidence based medicine) atau uji klinik untuk mengetahui keamanan dan kemanjuran bahan uji. Karena Klinik Dr Warsito tidak memenuhi prinsip terapi dan praktik kedokteran, maka berdasarkan keputusan Menkes tanggal 2 Desember 2015, klinik tersebut dilarang menerima klien baru bagi pelayanan ECCT (electro capacitive cancer therapy) hingga hasil riset diumumkan.
Kesimpulannya, Dr Warsito harus melakukan uji klinik alat kesehatannya mengikuti standar baku WHO di mana menurut Staf Ahli Menkes Bidang Medikolegal Tri Tarayati bahwa Badan POM telah menerbitkan pedoman cara uji klinik yang baik untuk obat dan alat kesehatan.
Prof Dr Agus Purwodianto mengatakan bahwa belum ada protokol uji alat kesehatan. Prof Agus juga pernah menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes). Saya selama menjadi peneliti di Badan Litbangkes juga belum pernah mengetahui ada uji klinik alat kesehatan. Yang ada adalah uji klinik obat.
Saya pernah terlibat dua kali uji klinik obat antara lain menentukan jumlah sampel pasien yang memenuhi kriteria inklusif dan ekskusif yang dapat digunakan untuk mengetahui keamanan dan manfaat bahan uji dan untuk memenuhi adanya pasien yang drop out.
Uji klinik
Sebagaimana diketahui, pelaksanaan uji klinik obat ada empat tahap. Pertama, mengetahui keamanan bahan uji; kedua, mengetahui manfaat bahan uji; ketiga, melibatkan pasien uji lebih banyak, dan keempat adalah postmarketing bahan uji.
Uji klinik alat kesehatan Dr. Warsito mestinya tidak jauh berbeda dari uji klinik obat. Yang akan menjadi masalah adalah perlakuan percobaan uji klinik harus seperti yang sekarang diberlakukan pada pasien Dr Warsito, yaitu selama 6-9 bulan dan menjaga kepatuhan pasien jangan sampai drop out. Belum lagi bagaimana menentukan pembanding dan plasebo untuk alat kesehatan tersebut.
Perlu juga diperhatikan uji klinik selama 6-9 bulan tentu akan berpengaruh terhadap jalannya proses penyakit kanker. Uji klinik obat memerlukan biaya besar, apalagi uji klinik alat kesehatan ini. Lalu siapa yang akan membiayai? Apakah Dr Warsito sendiri atau melibatkan Kementerian Riset dan Teknologi?
Pelaksanan uji klinik alat kesehatan akan banyak mengalami kesulitan secara ilmiah karena protokol atau pedoman uji klinik belum ada. Indonesia juga belum pengalaman melakukan uji klinik alat kesehatan. Jadi, keputusan Menkes menghentikan penerimaan pasien sebelum ada hasil uji klinik akan berlangsung lama dan merugikan pasien yang ingin terapi ECCT.
Adalah hak pasien mencari pengobatan yang terbaik menurut pertimbangannya. Apalagi yang dilakukan Dr Warsito bukan abal-abal, tetapi suatu hasil penelitian bidang fisika seseorang peneliti Indonesia yang ikut mengharumkan nama bangsa.
Di lihat bidang ilmu kedokteran, memang ada kekurangannya. Namun, alangkah bijaksananya jika kita semua, termasuk pemerintah, membantu menyempurnakan hasil penelitian Dr Warsito dan bukan justru "mematikannya".
Jalan tengah
Barangkali jalan tengahnya adalah Dr Warsito tidak melakukan uji klinik, tetapi uji kasus (apa pun namanya). Artinya, klinik tetap menerima pasien baru dengan catatan pasien catatan yang bersangkutan harus mendapat evaluasi pemeriksaan pendahuluan sebelum dan pasca pengobatan menggunakan metode Dr Warsito, dari ahli onkologi, psikolog/psikiater, ataupun ahli gizi.
Dalam uji kasus ini juga harus ada kesanggupan dan kerja sama pasien. Pada hasil uji kasus ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, antara lain, aspek onkologis atau pemantauan perkembangan kankernya, kesehatan fisik dan psikologis pasien, dan apakah alat kesehatan cukup aman digunakan.
Selanjutnya hasil uji kasus ini harus diseminarkan untuk mendapatkan komentar dan masukan para ahli dan masyarakat. Setelah itu Menkes baru bisa menyimpulkan apakah Klinik Dr Warsito memenuhi kemanfaatan dan keamanan terapi kanker. Harapannya memang agar Menkes adil terhadap berbagai layanan terapi kanker dan alat kesehatan yang ditawarkan kepada masyarakat.
Kalau dikatakan Dr Warsito "mutung" barangkali dapat dimengerti karena saya mempunyai pengalaman mengembangkan tanaman obat sebagai obat malaria selama empat tahun, dan pada akhirnya sebagai seorang peneliti kecewa karena tidak ada respons dari pemerintah.
Semoga masyarakat mendapat layanan kesehatan terapi kanker sesuai kaidah kesehatan.
Bambang Wahjoedi
Peneliti Farmakologi Eksperimental Puslit Farmasi, Badan Litbangkes RI