CALO-CALO DI RUMAH SAKIT
Agen perantara pasien dan dokter di Singapura ada yang membantu dan ada pula yang mencatut pasien dari Indonesia.
DUNIA percaloan ternyata tidak hanya subur di ladang bisnis, melainkan juga sudah menjalar ke wilayah dunia medis. Salah seorang yang merasa kena catut jasa calo adalah Nunik (bukan nama sebenarnya), wanita asal Jakarta, yang diduga mengidap kanker payudara. Atas anjuran teman-temannya. Nunik melakukan pemeriksaan ke Rumah Sakit Gleneagles, Singapura. Dengan berbagai iming-iming, seperti pelayanan, kecanggihan peralatan, serta keandalan tenaga medisnya. Nunik pun terpikat dan kemudian terbang ke negara jiran tersebut. Tiba di Rumah Sakit Gleneagles, Nunik, yang tidak fasih berbahasa Inggris dan Mandarin, yang merupakan bahasa utama di Singapura, tentu saja menemui kesulitan. Pasien-pasien seperti inilah yang menjadi makanan empuk jasa percaloan.
Di pojok Rumah Sakit Gleneagles, yang dikabarkan sekitar 30% pasiennya berasal dari Indonesia, terdapat sebuah kantor jasa perantara, berukuran 5 meter x 5 meter, yang memasang papan nama Andatu. Adalah lewat jasa perantara ini, seperti dituturkan Nunik, para pasien yang tidak bisa berbahasa Inggris atau Mandarin bisa terbantu. Dokter yang semula sulit ditemui, kata Nunik, hari itu juga langsung bisa melakukan pemeriksaan. Soal komunikasi juga mulus. Hanya saja, kata wanita ibu rumah tangga ini, ketika melakukan pembayaran, dia tidak diperkenankan membayar sendiri ke loket. "Saya curiga, jangan-jangan biaya yang saya bayarkan dicatut," katanya. Nunik mengaku membayar S$ 3.000 untuk sekali periksa. Padahal tarif umum, ia menambahkan, hanya S$ 1.600.
Keberadaan jasa perantara medis ini kabarnya sudah menjadi rahasia umum di Singapura. Tentu saja ada petugas jasa perantara yang resmi, dan ada pula yang sembunyi-sembunyi. Tentang jumlah biro jasa perantara ini belum ada data pasti. Yang jelas, jasa ini memang menjanjikan pendapatan menggiurkan. Andatu, misalnya, setiap bulan melayani sekitar 200 pasien dari Indonesia, dengan mengutip biaya rata-rata S$ 100 per orang. Artinya setiap bulan mereka mendapat sekitar S$ 20.000 (sekitar 33 juta).
Pihak Rumah Sakit Gleneagles mengakui bahwa jasa para agen perantara itu dibutuhkan untuk membantu pasien dari Indonesia. Pihak rumah sakit, kata Lim Poh Lin, Manager Pemasaran Gleneagles, tidak mungkin mampu memandu satu per satu pasien. Mengenai pembayaran atau kesepakatan antara agen dan pasien, pihaknya mengaku tak tahu-menahu. "Barangkali mereka sudah bersepakat, berapa komisi yang akan diberikan agen," kata Lim kepada Saidah Abuhanifah, pembantu GATRA di Singapura.
Adanya pasien yang kemudian mengeluh akibat ulah para calo dibenarkan Kepala Bidang Penerangan KBRI di Singapura. Nuni D. Sofyan. "Mengingat banyaknya pengaduan, kami tak sempat mencatatnya kasus per kasus. Jika ada unsur penipuan, kami menyuruh mereka langsung mengadukan ke polisi," katanya.
Di negara yang mampu menyedot devisa lewat jasa medis ini tampaknya keberadaan jasa calo sulit dikendalikan. Padahal, dalam dunia kedokteran, seperti dituturkan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dokter Azrul Anwar, percaloan jelas diharamkan. "Tidak dibenarkan ada jasa perantara antara pasien dan dokter. Yang benar, pasien datang atas kemauan sendiri atau atas rujukan dokter," katanya dengan nada kesal.
Kalau para pasien ini membutuhkan tenaga penerjemah, maka mereka seluruhnya disalurkan lewat lembaga profesional resmi. Kalau lewat agen, atau semacam calo, menurut Azrul, bukan aspek medis yang diperhatikan, melainkan lebih menjurus pada kepentingan bisnis.
Barangkali peran jasa perantara ini tidak selamanya sumbang. Lantaran sudah mengenal puluhan dokter ahli di Singapura, menurut Hedy, bos jasa pelayanan Andatu, pihaknya mudah menembus dokter setiap saat. Sabtu siang dua pekan lalu, misalnya tiba-tiba telepon Hedy berdering. Ada seorang pasien dari Indonesia yang minta diperiksakan dokter hari itu juga. Padahal, praktek dokter sudah tutup. Lewat telepon genggamnya, Hedy langsung mengontak dokter kenalannya, sehingga hari itu juga pasien tersebut bisa dilayani. Hedy membantah bahwa pihaknya mempermainkan penetapan tarif pemeriksaan. Setiap pembayaran harus berdasarkan Singapore Medical Association (semacam IDI di Indonesia). Tentang tarif dokter, katanya, sudah standar, dan tidak bisa dipermainkan.
Calo-calo tanpa papan nama, diakui Hedy, memang ada. Biasanya jasa mereka dimanfaatkan dokter yang belum terkenal dan masih gersang pasien. "Selama ini saya kenal ada empat calo, dan masih banyak lagi lainnya," katanya, tanpa mau menyebutkan nama dan alamat para calo itu. "Tugas mereka, selalu mendatangi dan merayu pasien yang berbahasa Indonesia," ia melanjutkan.
Selama ini pasien yang datang dari Indonesia bertujuan untuk operasi jantung atau kanker, serta berbagai penyakit komplikasi atau sekadar general check up. Kegiatan general check up ke Singapura makin marak setelah, April tahun lalu, perusahaan penerbangan Garuda membuka paket medis. Dengan membayar S$ 500 sampai S$ 1.000 per orang, penumpang yang terbang bersama Garuda ke Singapura bisa langsung memeriksakan kesehatan mereka ke Rumah Sakit Mount Elizabeth atau Rafles Surgery Center. Rata-rata Garuda mampu menerbangkan 200 orang per bulan.
Selain ke Singapura ada juga lembaga yang membantu pengiriman pasien ke Australia. Lembaga itu, antara lain, International Health Care (IHC). Sejak akhir 1989, IHC yang berkantor pusat di Perth, telah membuka cabang di Hotel Borobudur, Jakarta. Lembaga ini mengaku, rata-rata setiap minggu mampu mengirim enam orang pasien penderita penyakit jantung penyakit mata, atau penyakit kanker ke Australia.
Pengiriman pasien dalam rangka mendatangkan pelayanan dokter yang lebih ahli memang dibenarkan. Hanya saja, untuk membuktikan perbedaan antara percaloan dan mencari dokter yang ahli tampaknya memang sulit.
Gatot Triyanto dan Irwan F Siregar
Selama ini pasien yang datang dari Indonesia bertujuan untuk operasi jantung atau kanker, serta berbagai penyakit komplikasi atau sekadar general check up. Kegiatan general check up ke Singapura makin marak setelah, April tahun lalu, perusahaan penerbangan Garuda membuka paket medis. Dengan membayar S$ 500 sampai S$ 1.000 per orang, penumpang yang terbang bersama Garuda ke Singapura bisa langsung memeriksakan kesehatan mereka ke Rumah Sakit Mount Elizabeth atau Rafles Surgery Center. Rata-rata Garuda mampu menerbangkan 200 orang per bulan.
Selain ke Singapura ada juga lembaga yang membantu pengiriman pasien ke Australia. Lembaga itu, antara lain, International Health Care (IHC). Sejak akhir 1989, IHC yang berkantor pusat di Perth, telah membuka cabang di Hotel Borobudur, Jakarta. Lembaga ini mengaku, rata-rata setiap minggu mampu mengirim enam orang pasien penderita penyakit jantung penyakit mata, atau penyakit kanker ke Australia.
Pengiriman pasien dalam rangka mendatangkan pelayanan dokter yang lebih ahli memang dibenarkan. Hanya saja, untuk membuktikan perbedaan antara percaloan dan mencari dokter yang ahli tampaknya memang sulit.
Gatot Triyanto dan Irwan F Siregar