Rumah Sakit Mewah Kian Semarak. Semarak Jugakah Kualitasnya?

Kini giliran rumah sakit jadi komoditi bisnis. Dengan bangunan mewah bak hotel berbintang, mampukah mempertahankan fungsi sosialnya? Dan seberapa banyak bisa menangkal orang kaya berobat ke luar negeri?

Membangun rumah sakit kini tidak lagi harus melulu dilakukan pemerintah atau yayasan sosial, para pemilik modal tampaknya tak ragu-ragu menanamkan uang dan menilainya sebagai komoditi bisnis yang menggiurkan. Maka jadilah bentuk fisik rumah sakit swasta masa kini, tak kalah mentereng dengan gedung-gedung jangkung perkantoran yang tampak di sekitar kawasan strategis Jakarta, keadaan ini tak mungkin dijumpai pada satu dasawarsa yang lalu.

Bahkan, jangan heran jika Anda disambut bak tamu hotel ketika singgah di sebuah rumah sakit swasta yang baru saja beroperasi. Begitu mobil Anda tiba  di depan pintu masuk rumah sakit mewah tersebut, seorang petugas berseragam yang penampilannya mirip seorang bell boy hotel, segera akan membukakan pintu mobil, sambil memberi salam dan mempersilakan Anda masuk. Ketika kaki melangkah ke dalam, semilir hawa sejuk dari pendingin segera mengusap kulit. Aroma yang terpancar bukan bau lisol lagi, tapi semerbak bunga-bungaan.

Dengan berdandan sedemikian rupa, rumah sakit swasta masa kini memang jauh dari kesan rumah sakit yang formal, dingin, dan terkadang sedikit mengerikan. Penataan serba modern dan nyaman ini, tampaknya disadari betul oleh para pemilik modal, bukankah pangsa pasar mereka kalangan berduit di kota-kota besar? Tapi betulkah rumah sakit bisa jadi komoditi bisnis? Di tempat yang nyawa manusia jadi pertaruhan, keprofesionalan diuji, serta moralitas dan nilai sosial dijunjung tinggi, bisakah diukur dengan putaran investasi?

Bukan cuma di Indonesia
"Kebutuhan pelayanan kesehatan di Indonesia sangat besar. Di sini satu tempat tidur rumah sakit rata-rata per tahun dipergunakan oleh 1.500 orang. Di negara maju umumnya rata-rata per tahun hanya digunakan oleh 500 orang," kata dr. Soejoga MPH, Dirjen Pelayanan Medik Departeman Kesehatan, dalam wawancara dengan Femina beberapa waktu yang lalu.

Untuk mengejar pengadaan pelayanan kesehatan ini tentu saja tak mungkin cuma mengandalkan pemerintah atau yayasan-yayasan sosial, maka dengan keluarnya peraturan Menteri Kesehatan No. 920/96 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta, pemerintah memang membuka pintu lebar-lebar bagi pihak swasta baik yang berstatus yayasan dan perseroan terbatas untuk membangun rumah sakit. 

Peraturan ini ternyata mendapat sambutan baik dari kalangan swasta. Dr. Samsi Jacobalis, selaku Ketua Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), mengatakan, "Dengan strategi ini maka sebagian kebutuhan nasional terisi. Ini juga bisa menyediakan lapangan kerja. Yang penting ada kompetisi yang baik akan bertahan dan yang jelek pasti mati." 

Untuk menjadi rumah sakit yang bagus dan bisa bertahan tentu perlu investasi besar. Dan ini bukan masalah, karena sekarang rumah sakit menjadi komoditi bisnis yang menggiurkan. Maklum berkat pembangunan ekonomi nasional yang pesat, dalam masyarakat kita telah lahir kelas masyarakat ekonomi kuat. Di antara mereka ada yang sudah bisa berobat ke negara-negara lain, seperti Singapura (pelanggan dari Indonesia konon tertinggi), Australia, Selandia Baru, Cina, bahkan Eropa dan Amerika. Kelas masyarakat ini jelas tidak berminat lagi datang ke rumah sakit umum seperti RS Cipto Mangunkusumo, bila tidak terpaksa. Rumah sakit menurut mata mereka harus serba nyaman, mewah, dan berpenataan modern. 

Hasilnya, menjamurlah rumah sakit baru di Jakarta dan di kota-kota besar. Dengan aneka arsitektur yang megah, serta penataan dekorasi yang berkelas. Bila ditengok penanaman modalnya, bukan lagi yayasan sosial atau keagamaan, tetapi dari investor besar seperti bank-bank sampai industri farmasi. Boom rumah sakit swasta ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Ini memang fenomena aktual yang terjadi di Asia. Majalah Asiaweek dalam edisi 15 Maret 1996 menurunkan berita bahwa dalam beberapa tahun terakhir terjadi booming bisnis rumah sakit swasta di Asia. Para konglomerat berlomba-lomba memasuki bisnis ini. Diperkirakan setiap tahun biaya yang dikeluarkan para pengguna jasa pelayanan kesehatan ini meningkat 20%.

Zumrotin KS, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), berkata bahwa dalam 20 tahun ini ada perubahan orientasi pelayanan kesehatan. "Dulu rumah sakit swasta banyak dikelola oleh misi agama sehingga pijakannya sosial. Tetapi saat ini, motivasinya lebih ke profit, karena yang terjun adalah pengusaha. Coba saja lihat, pertumbuhan rumah sakit swasta yang didukung oleh grup perusahaan besar, lebih banyak ketimbang yang didukung misi agama atau organisasi sosial."

Pangsa pasar bisnis layanan kesehatan swasta pada kenyataan memang cukup besar. Dr. Samsi Jacobalis berani memperkirakan bahwa ada sekitar 20 juta orang golongan menengah atas dari seluruh Indonesia yang bisa menjadi pasar potensial layanan kesehatan swasta. Menakjubkan !

Tony Tan, Komisaris Parkway Group Healthcare, pemilik RS Mount Elizabeth, Gleaneagles dan East Shore di Singapura, seperti yang dikutip dari Asiaweek, mengatakan bahwa 30% pasien rumah sakit itu datang dari Malaysia, Indonesia, Cina, dan Filipina.

Jadi tidak heran jika Lippoland Development tidak ragu-ragu menggaet Gleaneagles International untuk mendirikan RS Siloam Gleanagles di Karawaci. Ini merupakan rumah sakit PMA pertama di Indonesia. Masuknya PMA memang diperkenankan oleh peraturan pemerintah. Ini juga merupakan konsekuensi globalisasi ekonomi.

"Hasil studi Gleaneagles mengatakan, bahwa bisnis ini cukup menjanjikan," ungkap Johannes Oentoro, Presiden Direktur RS Siloam Gleneagles. Investasi yang ditanamkan adalah sebesar 47,9 juta dolar US atau sekitar 110 miliar rupiah. Lippoland menanggung 70% investasi, sedangkan sisanya dipikul Gleaneagles. Dalam waktu 10 tahun, mereka berharap bisa balik modal.

RS Graha Medika adalah salah satu rumah sakit swasta baru yang dibangun oleh modal dalam negeri yaitu PT Baligraha Medikatama. "Pendiri rumah sakit ini adalah 12 dokter ahli yang bekerja sama dengan Bank Bali Group," kata dr. Toerseno, Direktur RS Graha Medika.

Tujuannya, selain untuk menggaet pasien yang sering berobat ke luar negeri juga untuk mengisi kekosongan rumah sakit di Jakarta Barat, khususnya di sekitar daerah Kebun Jeruk yang dikelilingi kompleks-kompleks perumahan mewah. "Ternyata pasien dari daerah lain yang relatif jauh, berbondong-bondong datang ke sini. Prospeknya lebih bagus dari perkiraan semula," lanjut dr. Toerseno sambil tersenyum.  

Dalam jangka waktu 3 tahun sejak didirikan tahun 1991, rumah sakit ini telah menambah jumlah kamarnya. Tentang berapa nilai total investasi yang ditanamkan, dr Toerseno menolak untuk menjawab. "Itu wewenang komisaris."

Nasib fungsi sosial
Apakah bangunan megah rumah sakit swasta identik dengan mutu pelayanan? Tunggu dulu, harapan belum tentu sesuai kenyataan. Berbagai keluhan dari pasien tentang pelayanan rumah sakit swasta yang baru dan mewah itu, sering disampaikan baik secara diam-diam maupun secara terbuka di surat-surat kabar. Keluhan itu amat bervariasi mulai dari kesalahan memberi obat, ditolak karena tidak membawa uang muka, pelayanan dokter yang tidak memuaskan, paramedis yang bermutu rendah, sampai biaya yang amat mahal.

Sementara itu, tampaknya kebiasaan berobat ke luar negeri tidak mampu dialihkan. Sebagian besar penumpang pesawat terbang ke Guang Zhou, Cina, adalah orang sakit yang mengharapkan kesembuhan di sana. Rumah sakit beken di Singapura belum kehilangan pelanggan Indonesianya.

YLKI pun sering menerima keluhan tentang pelayanan rumah sakit swasta, terutama yang baru dan mewah.

"Paling banyak adalah tentang perlakuan medis yang berlebihan, biasanya berhubungan dengan penggunaan teknologi canggih. Buntut penggunaan itu tentu biaya tinggi dikenakan pada pasien. Rupanya mereka ingin buru-buru balik modal," ungkap Zumrotin.

Tak heran, jika Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Azrul Anwar dengan gamblang mengatakan, bahwa pelayanan rumah sakit di Jakarta, di luar yang dikelola yayasan karitatif, tidak bermutu. "Yang seharusnya dirawat inap cukup seminggu diperpanjang menjadi dua atau tiga minggu. Saya punya data, 60% kelahiran di rumah-rumah sakti swasta di Jakarta dilakukan dengan bedah caesar," katanya lantang.

Maklum saja, investasi yang ditanamkan untuk mendirikan sebuah rumah sakit amat besar. "Ini adalah bisnis yang membutuhkan investasi dan biaya pengoperasian yang tinggi," ungkap Tonny Tan. Dia juga mengingatkan, agar menjalankan bisnis ini secara betul, karena ini menyangkut hidup dan mati seseorang.

Padahal sekarang ini bukan rahasia lagi, banyak rumah sakit swasta baru yang menerapkan sistem target sesuai dengan perhitungan kembalinya investasi. Dalam iklim kerja yang demikian, para staf, dokter dan tenaga paramedis dipacu bekerja keras untuk mengejar target tersebut. Dengan adanya peralatan medis yang serba canggih dan 'njelimet', salah satu upaya mengejar target itu dilaksanakan.

Sementara  itu konsumen berada dalam posisi yang lemah. "Konsumen adalah orang-orang awam dan lemah. Apa pun yang dikatakan dokter, pasti akan mereka turuti. Di sinilah ada kemungkinan pelanggaran etika. Bisnis rumah sakit bisa menciptakan supplier industrial. yaitu kebutuhan konsumen 'sengaja' diciptakan oleh pihak penyedia jasa. Mestinya pasien tidak perlu dilakukan rontgen, tapi dilaksanakan," kata dr. Samsi.

Praktek-praktek demi mengejar target kembalinya investasi ini tentu saja sangat memprihatinkan, lebih-lebih ini terjadi pada bidang yang seharusnya mengemban misi sosial dan kemanusiaan.

"Jika yang diperjualbelikan adalah produk non kesehatan tidak masalah. Sebab konsumennya elastis. Seseorang bisa saja menolak membeli mobil seharga 100 juta rupiah. Tanpa membeli mobil pun dia tak akan mati. Sedangkan konsumen pelayanan kesehatan adalah konsumen yang tidak elastis. Jika seseorang sudah divonis bahwa tanpa operasi besok dia akan mati, pasti orang itu akan mencoba berbagai macam cara untuk mendapatkan uang. Menjual sawah atau rumah pun, dia rela. Konsumen pelayanan kesehatan adalah pasar yang tidak elastis. Rumah sakit yang tidak mengindahkan etikalah yang menggunakan kesempatan ini," papar dr. Samsi panjang lebar.

Betulkah rumah sakit swasta yang dimiliki para pengusaha begitu business oriented sehingga tidak mengindahkan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan? "Ah itu anggapan salah. Fungsi sosial harus dilaksanakan oleh setiap rumah sakit mana pun. Ini merupakan moral dan etik dari setiap rumah sakit. Kami menjaga agar Graha Medika tidak ambruk sambil tetap menjalankan fungsi sosial,' kilah dr. Toerseno.

Sementara Johannes Oentoro mengatakan, "Secara finansial harus menguntungkan, tetapi misi kemanusiaan jangan lupa. Adanya unusr bisnis hanya karena kami ingin unsur sosial yang ada dikembangkan secara maksimum dan profesional." 

Ada memang usaha pemerintah untuk 'memaksa' rumah sakit swasta agar menjalankan fungsi sosial dan kemanusiaannya misalnya tidak boleh menolak pasien gawat darurat dan keharusan bagi rumah sakit swasta yang dimiliki para pemilik modal untuk menyediakan 10% tempat tidur untuk pasien tidak mampu. Anehnya rumah sakit swasta yang dimiliki yayasan atau perkumpulan sosial yang jelas-jelas mengutamakan pelayanan masyarakat dan bukannya mencari untung, malah harus menyediakan 25% tempat tidur untuk pasien tidak mampu. Seperti yang sudah sering didengar, peraturan ini tampaknya mubazir. Pada kenyataan pasien yang tergolong tidak mampu tidak bakal berani menjejakkan kaki ke rumah sakit mewah tersebut.

Perlu pengawasan
Masih banyaknya keluhan terhadap pelayanan kesehatan swasta, membuktikan bahwa para pemilik modal di Indonesia rupanya belum menyadari betul bagaimana mengembangkan etika bisnis yang sejalan dengan misi sosial dan kemanusiaan yang melekat erat pada sebuah rumah sakit. Ini pekerjaan tidak mudah. Tapi. Singapura yang sudah selangkah lebih maju dalam bisnis ini terbukti mampu melakukannya.

"Anda harus bisa menarik pasien dengan menyediakan pelayanan yang bermutu. Karena itulah, sebagian besar pengeluaran kami gunakan untuk mempersiapkan sumber daya manusia," kata Tonny Tan.

Masalah sumber daya manusia amat penting diperhitungkan. Sebab hal itu menyangkut soal keterampilan, perilaku dan mental, para pelaku bisnis layanan kesehatan ini. Dalam hal ini Indonesia kelihatannya kurang siap. Kalau profesionalitas dinomorduakan, sedangkan motivasi mencari untung ditonjolkan, keadaan bisa runyam. Siapa lagi yang menjadi korban, kalau bukan konsumen yang berada dalam posisi lemah. 

Indra Karma Jusi, Deputy General Manager Service Quality Center (SQC) perwakilan Jakarta mencoba menganalisis keadaan di  atas. Di Singapura, SQC adalah konsultan dari RS Singapore General Hospital dan Mount Elizabeth dalam soal memberikan pelayanan.

Indra menganalisisnya dari prinsip TERAR yang terdiri dari tangible, emphaty.,responsivness, assurance dan reliable. "Kebanyakan rumah sakit swasta di sini hanya memenuhi unsur tangible. Secara fisik bangunan rumah sakit terlihat bersih dan nyaman. Tapi apakah mereka memahami perasaan pasien (empati), tanggap dengan keluhan pasien (responsiveness), bisa menenangkan pasien bahwa your're in good hands (assurance) dan bisa berlaku konsekuen (reliable), masih menjadi tanda tanya. Keempat unsur terakhirlah yang sulit dipenuhi karena menyangkut keterampilan dan perubahan mental. Kalau ada niat baik, sesungguhnya ini bisa dilaksanakan. Perubahan mental "kan tidak membutuhkan biaya."

Tak dapat dipungkiri pada saat ini kita baru sampai pada masa transisi menuju pelayanan kesehatan yang ideal. "Bangunan megah dan teknologi canggih bukanlah ukuran. Lalu bagaimana nasib konsumen harus diakui, mekanisme untuk mengontrol rumah sakit masih lemah. PERSI pun tak dapat  berbuat apa-apa, karena PERSI hanya mempunyai kekuatan moral.

"Jika merasa dirugikan laporkan ke Kanwil Depkes, pasti rumah sakit yang bersangkutan akan ditindak," kata dr. Soejoga MPH. Saat ini Depkes sedang melakukan akreditasi sepuluh rumah sakit di Indonesia, dr. Soejoga berharap bahwa dengan akreditasi para pasien bisa memilih mana rumah sakit yang baik dan tidak.

Perlunya mekanisme kontrol, ditegaskan dr. Azrul anwar. "Sudah bukan saatnya lagi, kita hanya mengimbau. Kontrol pertama yang perlu dilakukan adalah medical audit. Rumah sakit harus melaporkan jenis tindakan yang dilakukan, jumlah sectio, dan jumlah hari rawat."  

Zumrotin bahkan mengusulkan agar medical audit dilakukan oleh lembaga independen yang anggotanya merupakan gabungan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan. Menurut dr. Samsi, Departemen Kesehatan sebetulnya telah merencanakan untuk membentuk Majelis Pembinaan dan Pengawasan Etika Pelayanan Medis. Sayang sampai saat ini juklaknya belum turun. 

Selain melakukan medical audit, dr. Azrul juga menganggap perlu untuk mengontrol soal biaya. "Satu-satunya jalan dengan asuransi. Sistem pembiayaan fee for service atau pembayaran tunai seperti yang dikenal selama ini, memungkinkan rumah sakit mengenakan biaya yang tinggi kepada pasien yang dalam keadaan tidak tahu. Dengan asuransi, rumah sakit tidak bisa macam-macam. Bisa-bisa tidak dibayar oleh pihak asuransi."

Dalam situasi yang serba tidak pasti akibat lemahnya mekanisme kontrol, apa yang bisa kita lakukan? Langkah yang paling efektif adalah menjaga kesehatan dengan baik. Seperti  komentar orang sekarang, "sakit itu mahal". Kalaupun terpaksa sakit, dianjurkan untuk bersikap kritis, dan memperoleh second opinion, baik dari kalangan dokter atau orang lain yang pernah berpengalaman dalam hal itu. Yang paling sip sih...mencari koneksi dokter seperti yang dianjurkan Zumrotin.

"Pola itu sudah umum. Saya pribadi akan memilih ruma sakit di mana saya punya kenalan dokter. Kadang kita diabaikan di suatu rumah sakit hanya karena kita tidak punya kenalan. Begitu kita punya kenalan dokter, perhatian yang diberikan sangat lain." katanya. Cara ini tampak konyol, tapi mau apalagi?

Ferry Pumawan  

           


Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar