Gangguan Kesehatan Jiwa. Kenali Gejalanya, Atasi Sejak Dini

Kasus gangguan kesehatan jiwa, khususnya depresi, terus meningkat. Banyak orang yang tidak menyadari kalau diri atau keluarganya terjangkit depresi. Sejatinya, penderita gangguan jiwa itu bisa disembuhkan dengan cepat, asal diketahui sejak dini. 

Kesehatan jiwa, merupakan kondisi di mana seseorang menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya, mampu menghadapi stres kehidupan yang wajar, mampu bekerja secara produktif dan memenuhi kebutuhan hidup, dapat berperan serta dalam lingkungan hidupnya, dapat menerima baik apa yang ada pada dirinya dan merasa nyaman dengan orang lain.

Lingkup masalah kesehatan  jiwa bersifat sangat kompleks. Tidak semata-mata berhubungan dengan aspek klinis (sakit jiwa). Namun juga di antaranya meliputi masalah: fisik, psikososial serta masalah perkembangan manusia yang harmonis dan peningkatan kualitas hidup.

Baik di daerah maupun kota besar, kondisi ekonomi dan sosial merupakan salah satu pemicu terjadinya gangguan jiwa. Tingginya beban ekonomi, makin lebarnya kesenjangan sosial, serta ketidakpastian situasi sosial politik banyak meninggalkan kisah-kisah menyedihkan dengan meningkatnya jumlah penderita gangguan jiwa, terutama gangguan emosional seperti depresi dan kecemasan. 

Beratnya beban jiwa yang ditanggung ini seringkali memunculkan perilaku dan pemikiran irasional. Wujudnya bisa macam-macam, mulai dari perilaku penuh kekerasan seperti tawuran, sampai perilaku murung, kehilangan minat terhadap hal-hal yang tadinya disukai, susah konsentrasi dan selalu merasa cemas. Kalau sudah parah dan terlambat ditangani, gangguan kejiwaan seperti ini dapat mengarah ke tindakan bunuh diri.

Adapun penyebabnya, gangguan kesehatan jiwa kian memprihatinkan dan bisa terjadi pada siapapun, dari anak-anak sampai orang lanjut usia (lansia). Bahkan dalam skala global, gangguan kejiwaan, khususnya depresi, sudah mengarah menjadi krisis global. Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2012) memperkirakan sekitar 350 juta orang di seluruh dunia terjangkit depresi. Sekitar 1 juta orang melakukan tindak bunuh diri setiap tahunnya akibat depresi yang tidak tertangani.

Di Indonesia, keadaannya juga tak kalah memprihatinkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 mengungkap, penderita gangguan mental emosional pada penduduk berusia lebih dari 15 tahun mencapai 11,6 persen atau 19 juta orang, sementara yang mengalami gangguan jiwa berat 0,46 persen (sekitar 1 juta jiwa). 

Menurut Riskesdas, jumlah kasus gangguan mental emosional juga meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Berdasarkan umur, masyarakat pada kelompok umur 75 tahun ke atas paling banyak mengalami gangguan emosional, khususnya depresi (33,7%).

Kelompok yang juga rentan mengalami gangguan mental emosional adalah perempuan, khususnya ketika menjelang menstruasi, pasca-melahirkan dan menjelang menopause. depresi dapat membatasi kemampuan perempuan untuk merawat anaknya setelah melahirkan. Kalau ini dibiarkan, tentu akan mengganggu tumbuh kembang anak. 

Jumlah kasus gangguan jiwa sangat mungkin bertambah, mengingat sulitnya mendeteksi penderita gangguan jiwa. Bahkan sebagian besar orang tak sadar kalau dirinya mengalami gangguan depresi terselubung, lantaran gejalanya mirip dengan penyakit fisik yang biasa diderita orang, seperti migrain, maag, sulit tidur dan masuk angin. Hanya saja gejala ini muncul berulang-ulang dan sukar disembuhkan dengan obat-obatan. 

Deteksi dini

Gangguan kejiwaan seringkali terlambat ditangani dan makin parah karena ketidaktahuan masyarakat bahwa gangguan jiwa sejatinya bisa disembuhkan. Setidaknya dapat membantu penderita untuk tetap dapat produktif atau melakukan aktivitasnya sehari-hari. 

Masalah gangguan kesehatan jiwa, bila makin dini diketahui makin baik. Karena proses kesembuhannya lebih cepat dibanding yang sudah menahun.

Dan, gangguan ini juga dapat dideteksi oleh diri-sendiri. Misalnya, jika mengalami sedih berlebihan yang membuat sulit untuk konsentrasi dan menurunkan kualitas hidup minimal selama dua minggu, sebaiknya segera dikonsultasikan agar tak keterusan menjadi gangguan kesehatan jiwa.

Secara umum, gangguan jiwa berat memiliki tanda dan gejala seperti bicara sendiri, marah tanpa sebab, mengurung diri, tidak peduli perawatan diri, bicara kacau dan tidak mengenali orang. 

Bila menemukan tanda-tanda seperti ini pada kenalan atau anggota keluarga, hendaknya segera mendatangi fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas atau Rumah Sakit.

Memang belum semua Puskesmas menyediakan pelayanan kesehatan jiwa. Sejauh ini, hanya 16 persen dari hampir 10.000 puskesmas di Indonesia yang telah memiliki program kesehatan jiwa. Padahal, peranan pelayanan kesehatan primer seperti Puskesmas sangat penting, khususnya untuk melakukan intervensi dini terhadap gangguan jiwa.

Untuk itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mulai melatih tenaga kesehatan seperti perawat dan dokter di Puskesmas sejak tahun 2011. Tahun lalu, berkisar 200-300 tenaga kesehatan dari tujuh provinsi dilatih untuk mengenali gejala dan intervensi dini terhadap gangguan jiwa. Program pelatihan itu akan terus dilanjutkan pada tahun ini. 

Upaya lainnya adalah membuka layanan hotline service Kesehatan Jiwa Nomor 500-454. Tujuan utama hotline service agar lebih mendekatkan masyarakat dengan akses kesehatan jiwa dan memudahkan untuk mendapatkan informasi dan layanan konseling dari konselor di setiap RSJ. Melalui hotline service ini, masyarakat mendapatkan  layanan konseling terhadap berbagai masalah kejiwaan yang dialami oleh masyarakat, termasuk kasus-kasus percobaan bunuh diri.

Menghilangkan stigma

Penanganan gangguan jiwa memang belum populer di masyarakat. Masyarakat pun cenderung masih enggan bersikap terbuka terhadap kondisi kejiwaan diri maupun keluarganya. Ada pandangan masyarakat yang merasa malu karena stigma gangguan jiwa. Konsultasi dengan psikiater takut dicap gila.

Jangankan diobati, kalau perlu penderitanya malah dipasung dan disembunyikan karena dianggap "aib" bagi keluarga. Cara tradisional ini masih dipandang sebagai "obat" mujarab penyembuhan penderita gangguan jiwa. Padahal, seringkali cara ini memperparah kondisi jiwa maupun kesehatan fisik penderita.

Untuk itu, Kemenkes juga berupaya untuk melakukan destigmatisasi bagi mereka yang mengalami gangguan jiwa sehingga mereka tidak kehilangan haknya memperoleh pelayanan kesehatan jiwa.

Beberapa hal untuk mengurangi stigma melalui pendidikan kepada masyarakat tentang kesehatan jiwa, menghilangkan istilah "Gila" atau gangguan jiwa dengan sebut "ODMK" (Orang Dengan Masalah Kejiwaan) dan melakukan reintegrasi ODMK dengan masyarakat melalui program kesehtaan jiwa masyarakat.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia   

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar