Memberdayakan Pasien Melawan Ketidakberdayaan

Dokter Tan Shot Yen memberdayakan  pasien menghadapi dunia penuh penyakit, tawaran obat mujarab dan makanan harian yang selama ini justru 'dianggap wajar'.

SEORANG bapak berjalan susah payah, digandeng anak lelakinya yang sudah remaja, masuk ke sebuah kompleks perkantoran di kawasan BSD City, Serpong, Tangerang, Jumat (9/4).

Ada dua papan nama di sana. Satu papan nama bertuliskan 'dr Tan Shot Yen'. Papan nama lainnya bertuliskan 'Henry Remanlay Kinesiologist, Acupuncturist'. Pasangan suami istri itu memang bekerja sama membangun Dr Tan Wellbeing Clinics & Remanlay Special Needs Health.

Lelaki itu tidak sendirian. Siang itu ruang tunggu sudah penuh. Tidak tercium bau obat yang khas, yang biasa Anda baui di ruang tunggu dokter. Pun tidak ada poster iklan farmasi menempel di dinding. Hanya ada dua papan putih bertuliskan 'Jendela Pintar'. Tertempel di sana artikel-artikel mengenai sayur hidroponik dan konsultasi kesehatan yang diasuh dr Tan pada sebuah tabloid. Juga sejumlah artikel penelitian kesehatan terbaru dari berbagai sumber yang layak dibaca awam.

Setiap hari praktik, dr Tan mendahulukan penanganan pasien lama sebelum ia menemui pasien baru yang dijadwalkan tepat pukul 11.00 WIB. Dari dalam ruang praktik, dr Tan memanggil dengan suara nyaring," Mana nih pasien lama, masih ada enggak?"

Lelaki yang sulit berjalan itu pun menjawab lalu berusaha beranjak dari kursi. Namun anak remajanya seolah menghilang padahal ia tidak bisa berjalan sendiri. "Bapak ke sini dengan siapa? Mana anaknya? Kok enggak tanggung jawab begini sih ayahnya ditinggal begitu saja," ujar dr Tan setelah menghampiri.

Dokter tanpa jas putih itu menunda menangani pasien tersebut karena akan merugikan  jadwal pasien baru. Si bapak lantas bertahan, sama seperti pasien lama lainnya yang ingin mendengar seminar mini untuk pasien baru. "Dokter sih emang gitu Mbak, ceplas-ceplos. Tapi sebetulnya dia baik kok," kata lelaki itu saat akan pulang. Rata-rata pasien dr Tan punya kesan serupa.

Sesi perkenalan

Sekitar 20 pasien baru yang hadir siang itu duduk mendengarkan dr Tan 'ngoceh' panjang lebar. Sebelum memulai sesi, dia berkata tegas, "Saya tidak punya pil dan tongkat ajaib. Kesembuhan Anda juga sangat tergantung pada seberapa besar Anda ingin sembuh. Kewajiban saya pertama kali ialah menjelaskan asal usul Anda menjadi sakit. Lalu, saya tunjukkan pilihan-pilihannya agar Anda bisa sembuh. Dan saya tetap bersama Anda karena tidak ingin membuat pasien terlanjur main dokter-dokteran bagi dirinya."

Lantas dr Tan menanyakan kondisi pasien baru satu per satu. Nada suara dr Tan naik dan turun. Kadang-kadang melengking, lalu melembut. Kadang-kadang berkata pedas, lantas tertawa. Kedua tangannya ikut beraksi, sungguh teatrikal. Maka perlahan wajah tenang para pasien baru mengendur, berganti dengan anggukan kepala dan tawa lepas.

"Bapak kenapa?" tanya dr Tan kepada salah satu lelaki yang memangku anak berusia sekitar empat tahun.

"Nganter anak, amandel," jawab lelaki itu. 

"Pertanyaannya, kenapa amandel anak Anda sering terinfeksi?"

Seisi ruangan terdiam. Dengan energi penuh, dr Tan menjelaskan," Amandel atau kelenjar tonsil ialah tempat dibuatnya tentara tubuh untuk melawan bakteri, virus, dan infeksi apa pun yang menyerang saluran napas. Itu benteng pertahanan awal anak Anda karena kelenjar getah beningnya belum berfungsi sempurna seperti halnya orang dewasa. Nah sekarang, kalau amandel anakmu diambil, apa dong benteng pertahanannya kalau dia batuk pilek?"

Setelah berapi-api, dr Tan melembut. Dia bertanya bagaimana asupan makanan anak tersebut. Karena baginya, segala sesuatu pasti ada penyebab. Dia bertumpu pada dasar pemikiran bahwa Tuhan menciptakan sesuatu pasti ada gunanya, termasuk amandel sampai usus buntu yang kerap dibuang kala meradang.

Kata dr Tan, amandel yang meradang ialah pertanda merosotnya daya tahan kekebalan tubuh anak sehingga memungkinkan terjadinya infeksi. Hal itu paling sering disebabkan oleh asupan makanan yang keliru. Jadi, yang diperbaiki ialah asupan makanan agar daya tahan tubuh membaik, bukan membuang amandel. "Kecuali bila besarnya amandel sudah membahayakan dan menutup jalur pernapasan," imbuhnya.  

Amandel yang dibuang saat anak-anak tanpa menangani penyebab masalah hanya akan membuat tubuh semakin tidak mampu melawan penyakit. Akibatnya, anak harus mengonsumsi obat antibiotik terlalu sering dengan dampak berantai yang semakin panjang.

"Kuman baik (probiotik) tubuhnya ikut mati. Malah timbul kasus baru termasuk usus yang rentan infeksi karena probiotik sudah ikut terkikis mati. Lalu ada iming-iming produk jualan probiotik, bukan ? Lihat betapa kacaunya informasi kesehatan untuk masyarakat kita," ujarnya menyuarakan kemarahan atas komodifikasi ilmu kedokteran yang kebablasan.

Memanusiakan pasien

Seusai sesi perkenalan, satu per satu pasien masuk ke ruang praktik, Tidak satu pun pasien mundur setelah diceramahi panjang lebar. "No, dulu saya memang tidak seperti ini. Tapi lantas saya pikir harus ada perubahan agar pasien juga merasakan hasil lebih baik. Kalau Anda terkaget-kaget, mungkin karena selama ini Anda tertidur nyenyak dengan kondisi tubuh Anda sendiri," katanya.

Menurut dr Tan, manusia sudah lama 'dibuat' terlena sehingga menggantungkan kesehatan pribadinya pada dokter, obat, bahkan asuransi.   

"Mereka kehilangan hak otonomi atas tubuh dan mewakilkannya kepada institusi, entah itu namanya Depkes, dokter, farmasi, apa pun itu. Buat mereka jadi enggak penting lagi menjawab mengapa saya sakit karena kan ada obatnya, ada asuransi," cecarnya.    

Kesembuhan, lanjut dr Tan, berarti lepas dari obat sama sekali karena si pasien bisa mengendalikan tubuhnya, memahami apa yang dibutuhkan seluruh tubuh, bukan semata menuruti tuntutan lidah. "Jadi untuk sembuh, orang harus paham dulu mengenai penyebab penyakitnya sehingga bisa mengupayakan solusi," tambahnya.

Dia lantas mengacu kepada ragam penyakit yang merupakan konsekuensi dari gaya hidup yang keliru. "Lah penyakitnya karena gaya hidup kok yang muncul malah oleh-oleh resep setumpuk obat?" ujarnya sembari mengacungkan selembar resep kosong.

Dia mengaku tidak antiobat, tidak melawan teknologi kedokteran. Menurutnya, banyak kemajuan teknologi kedokteran  yang menyelamatkan pasien di saat gawat. Tapi yang jadi masalah, upaya meninabobokan awal masalah penyakit pasien sehingga hanya mengandalkan obat atau tindakan medis sebagai satu-satunya jalan keluar.

"Pemerintah cenderung mudah memberi obat dan murah hati dengan fasilitas berobat, tapi kurang memperhatikan sektor pendidikan kesehatan yang bebas kepentingan. Akhirnya malah membuat bujet kesehatan membengkak cenderung  bangkrut. Porsi pelayanan kesehatan preventif dan promotif sebaiknya lebih besar dari pada kuratif (pengobatan)," ujar dr Tan.

Medikalisasi

Berkecimpung di dunia kedokteran sejak 1990 pernah membuat dr Tan jengah karena manusia terus dijadikan objek medikalisasi kehidupan yang kebablasan. "Dari kecil saya sudah ingin menjadi dokter. Dengan menjadi dokter, saya mempelajari manusia. Namun yang terjadi, dalam kebanyakan praktik medis, tubuh manusia secara gampang dianggap sebagai mesin dengan suku cadang yang bisa diganti atau masuk kamar servis apabila ngadat atau rusak," ujarnya.

Sementara ia, seperti juga ayahnya, dr Tan Tjiauw Liat, meyakini tubuh manusia dirancang oleh Penciptanya dengan kemampuan menyembuhkan diri sendiri selama gaya hidup mengarah ke kesembuhan, bukan kematian sel.    

Seiring waktu, dr Tan merasa pokok permasalahan kesehatan yang nyaris membuatnya seolah gila itu tidak lagi mempan didekati dengan pendekatan dan cara pikir seorang dokter.

Kegelisahan itu ia bawa ke ruang kuliah filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, tahun 2009, ia lulus dengan predikat sangat memuaskan. Tesisnya kini sudah dibukukan sebagai kajian etik berjudul Dari Mekanisasi sampai Medikalisasi. Dia meninjau secara kritis bagaimana pereduksian tubuh manusia terjadi dalam praktik medis sejak awal mula pendidikan kedokteran berdiri. "Di filsafat, kegelisahan  itu terjawab," katanya sembari menghempaskan punggung ke sandaran kursi.

Berkat belajar filsafat, dr Tan mengaku bisa lebih bijak menghadapi pasien, dengan segala karakter bawaan dan kengototan mereka, sebagai satu kesatuan tubuh, pikiran, dan jiwa. "Pada akhirnya praktik dokter benar-benar suatu art, desain unik orang per orang, bukan pabrik garmen yang beroperasi asal sudah sesuai standar dan lolos uji kelayakan," ujarnya. (M-2)

ica@mediaindonesia.com       

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar