BEDAH LAPAROSKOPI UNTUK SI KECIL
LAPAROSKOPI merupakan salah satu jenis pembedahan berteknik sayatan minimal yang dilakukan di area perut. Teknik itu tidak hanya bisa diterapkan pada orang dewasa, tetapi juga pada anak.
"Laparoskopi sering digunakan pada pembedahan anak dan bayi untuk kasus usus buntu, hernia, kasus testis tidak turun ke kantong skrotum, pengangkatan kandung empedu, dan penanganan penyakit hirschprung," ujar dokter spesialis bedah anak Alifi Maulidyan pada acara 11th Symposium on Minimally Invasive Surgery, Multidiciplinary Perspective with Live Demonstration, di RS Gading Pluit, Jakarta, Sabtu (19/9).
Teknik pengerjaannya seperti pada orang dewasa, tapi dengan peralatan khusus yang ukurannya lebih kecil. Pertama, perut pasien dikembungkan lebih dulu dengan gas karbon dioksida, kemudian kamera serta optik dan peralatan bedah dimasukkan ke perut pasien melalui sayatan sepanjang 3-5 milimeter. Dokter dapat melihat organ-oragn dalam perut dan mengerjakan operasi dengan bantuan gambar video di monitor.
Alifi menjelaskan ada beberapa keunggulan pembedahan anak menggunakan teknik laparoskopi, antara lain nyeri pascaoperasi dapat ditekan, sebab teknik itu menggunakan sedikit sayatan saja. Selain itu, bekas luka tidak terlalu terlihat. "Waktu pemulihannya lebih cepat, risiko perlengketan organ di rongga lebih minimal, risiko infeksi luka pascabedah pun lebih ringan," imbuh Alifi.
Ia menambahkan, meksi pada dasarnya laparoskopi bisa diterapkan pada anak-anak, ada beberapa kondisi yang menyebabkan pasien anak tidak boleh dioperasi dengan teknik laparoskopi.
"Pertama, bila kondisi pasien tidak stabil. Misalnya pasien mengalami shock, pendarahan yang perlu operasi cepat, kurang tepat ditangani dengan laparoskopi yang harus terencana. Juga pada bayi dan balita, mekanisme panas badan mereka belum bagus, sehingga lebih rentan mengalami hipotermia."
Kedua, lanjut Alifi, bila pasien anak memiliki penyakit bawaan seperti kelainan jantung atau paru-paru yang berat, sebab dikhawatirkan bedah laparoskopi mengganggu kerja organ tubuhnya. "Untuk laparoskopi, rongga perut pasien harus diisi gas karbon dioksida. Nah, bila ada penyakit paru-paru lalu ditambah gas itu, nanti malah mengganggu sistem pernapasannya," terangnya.
Pada kesempatan sama, dokter spesialis bedah saluran cerna Peter Ian Limas mengungkapkan perkembangan dalam teknik laparoskopi, antara lain penggunaan teknologi tiga dimensi.
"Laparoskopi konvensional berteknologi dua dimensi, ada kelemahannya, yakni kurangnya persepsi kedalaman pada visualisasi dokter bedah dalam melihat organ. Salah satu cara mengatasinya ialah dengan operasi laparoskopi tiga dimensi, lebih akurat."
Dokter spesialis bedah Barlian Sutedja menyampaikan saat ini teknologi tersebut sudah diterapkan di RS Gading Pluit. Namun, saat ini baru bisa diterapkan pada pasien dewasa. (Try/H-3)