Kasih Sayang Buat Penderita Skizofrenia
SEJAK menikah dua tahun lalu, Intan (bukan nama sebenarnya), 38, sudah mengetahui sang suami telah menderita skizofrenia. Cinta membuat ia ikhlas mengurus dan memberikan perhatian agar suaminya cepat sembuh.
Baru sebulan lalu, Intan menjemput suaminya pulang ke rumah. Sudah tiga bulan lamanya, suaminya itu dirawat di Sanatorium Dharmawangsa lantaran menderita skizofrenia, sejak 24 tahun yang lalu. Penyakit yang menyerang fungsi otak itu diderita suaminya lantaran faktor genetik serta faktor psikologis. Intan pun telaten menemani suaminya.
Intan menyadari peran keluarga adalah faktor penting untuk kesembuhan penderita skizofrenia itulah sebabnya ia selalu berusaha ada di sisi suami dan berusaha lebih tegar. Penderita skizofrenia memang tidak bisa mengontrol sendiri apa yang terjadi pada dirinya.
"Suami saya sering kali, ketika kambuh, lari mengelilingi rumah lalu teriak-teriak. Saya ikuti maunya dia. Dia lari, saya ikut lari kemudian ketika dia mulai tenang, barulah saya beri obat," ceritanya.
Intan mengakui bagian yang tersulit yakni saat ia harus senantiasa mengingatkan suaminya meminum obat. Penderita skizofrenia harus selalu mengonsumsi obat untuk menghindari kekambuhan yang bisa datang setiap saat, bahkan bisa sampai seumur hidup.
"Paling susah saat saya memaksanya minum obat karena terkadang ia bosan. Namun, makin ke sini, ia makin sadar sendiri untuk rajin minum obat," kata Intan.
Apa yang dikatakan Intan sebenarnya juga harus dilakukan keluarga yang memiliki anggota penderita skizofrenia. Seperti dijelaskan dokter spesialis kejiwaan dr Ayesha Devina, keluarga memainkan pula faktor penentu kesembuhan pasien skizofrenia.
"Faktor penentu kesembuhan pasien ada dua. Pertama, terapi atau obat. Kedua, dukungan keluarga dan lingkungan. Pasalnya bagi penderita, akan sulit sekali melewati serta mengontrol apa yang dialaminya seorang diri," papar Ayesha.
Sebab itu, Ayesha menyayangkan jika ada kebanyakan keluarga yang masih malu saat mengantar anggota keluarga cek ke dokter ketika gejala menderita skizofrenia itu muncul. Bahkan, mereka baru membawa keluarga yang menderita skizofrenia setelah memasuki tahap akut. Itu disebabkan pemahaman yang rendah terhadap penyakit skizofrenia.
"Masih banyak stigma yang berkembang di masyarakat bahwa skizofrenia berarti gila dan itu membuat mereka takut datang ke dokter. Padahal, penanganan cepat membuat penderita bisa cepat dan mudah disembuhkan," ujarnya.
Yang penting pula, kata Ayesha, adalah memberikan peranan semaksimal mungkin bagi penderita skizofrenia. Kemudian segera berkonsultasi pada dokter agar penderita skizofrenia mengonsumsi obat untuk meminimalkan kekambuhan atau peningkatan ke stadium berikutnya.
"Bimbing mereka serta beri perhatian lebih agar penderita skizofrenia bisa sama-sama merasakan apa yang mereka juga rasakan," sahut Ayesha(*/H-2)