Lini Kedua untuk Si Kebal

Laporan WHO 2010 memperkirakan pasien tuberkulosis yang kebal obat (multi-drugs resistant) di Indonesia mencapai sekitar 8.900 orang.

TIDAK semua kasus tuberkulosis (Tb) mempan diobati dengan obat-obatan yang selama ini digunakan sesuai standar penanganan (obat lini pertama). Jenis Tb demikian dikenal sebagai multi-drugs resistance tuberculosis (MDR Tb).

Meski sudah dikenal sejak beberapa puluh tahun lalu hingga saat ini fenomena MDR Tb masih menjadi momok bagi negara-negara yang penduduknya banyak menderita Tb, termasuk Indonesia. Sebab tingkat keberhasilan pengobatan MDR Tb masih kecil.

Dari sisi beban MDR Tb, Indonesia berada di urutan ke-8 terbanyak dari 27 negara, dengan total perkiraan jumlah penderita 8.900 orang.

Dari jumlah tersebut, baru 197 orang yang menjalani pengobatan, mereka menjalani pengobatan dalam cakupan program pemerintah sejak 18 bulan silam. Sejauh ini, baru seorang yang sembuh.

"Pengobatan MDR Tb memang jauh lebih sulit. Tingkat keberhasilannya pun masih kecil karena metodenya masih dikembangkan," ujar anggota Komite Ahli Penyakit Tb yang membidangi MDR Tb, Prof dr Purwantyastuti di Jakarta, baru-baru ini.

Pengobatan MDR Tb membutuhkan waktu 18 bulan hingga dua tahun. Itu jauh lebih lama jika dibandingkan dengan pengobatan Tb biasa yang hanya butuh waktu 6-9 bulan.

Lantaran obat lini pertama sudah tidak mempan untuk membunuh kuman MDR Tb, digunakan obat-obatan lini kedua. Masalahnya, selain terbatas, obat lini kedua itu juga lebih mahal. 

Berdasarkan kalkulasi, biaya pengobatan MDR Tb mencapai Rp 20 juta per pasien. Nilai itu dua kali lipat lebih tinggi jika dibandingkan dengan biaya pengobatan Tb biasa.

Sejauh ini belum diketahui penyebab pasti terjadinya MDR Tb. Namun diduga, ketidakpatuhan pasien dalam menjalani pengobatan menjadi salah satu faktor penyebab kuman Tb menjadi kebal.

Agar bisa sembuh penderita Tb haruslah rutin mengonsumsi obat sesuai dengan dosis dan jadwal yang ditetapkan selama kurun waktu 6-9 bulan.

"Biasanya, setelah berobat dua bulan, gejalanya berkurang. Banyak yang mengira dirinya sudah sembuh dan berhenti berobat, padahal tidak demikian," ujar Purwantyastuti, yang banyak menangani pasien-pasien Tb selama ini.

Selain itu, lanjut Purwantyastuti, ada pula pasien yang lupa jadwal minum obat atau memutuskan berhenti karena tidak tahan harus minum obat setiap hari selama berbulan-bulan.

"Pengobatan MDR Tb memang jauh lebih sulit. Tingkat keberhasilannya pun masih kecil." (Prof dr Purwantyastuti, Anggota Komite Ahli Penyakit Tb).

Jika pada pengobatan yang  berjangka waktu 6-9 bulan saja pasien kerap tidak patuh, bagaimana dengan pengobatan MDR Tb yang harus dilakukan selama dua tahun? Bisa dipastikan kemungkinan putus obat lebih tinggi lagi.

Terlebih efek samping obat-obatan lini kedua lebih berat. Antara lain, gangguan kejiwaan dan berkurangnya pendengaran.

Purwantyastuti mengingatkan jika pengobatan MDR Tb terputus, risiko bahaya yang lebih berat akan mengancam. Yaitu munculnya kuman Tb yang kebal terhadap obat lini kedua atau disebut extensively drug resistant (XDR) Tb. 

Yang juga menjadi masalah, penderita MDR Tb bisa menularkan kuman kebalnya kepada orang lain hingga memunculkan MDR Tb baru.

Peran keluarga

Lantaran tingginya ancaman kegagalan pengobatan MDR Tb serta risiko bahaya lain yang menyertainya, jalan terbaik adalah pencegahan untuk menekan sekecil mungkin terjadinya kasus MDR Tb.

Menurut Purwantyastuti, upaya itu memerlukan peran masyarakat terutama keluarga pasien. Dukungan keluarga amat dibutuhkan agar pasien menepati jadwal minum obat, dan menjalani pengobatan hingga tuntas. Peran keluarga pun diperlukan untuk menciptakan kondisi yang mendukung kesembuhan pasien.

"Misalnya, mengupayakan adanya ventilasi atau sirkulasi udara yang baik di rumah, juga mengupayakan pasien agar bisa mengonsumi makanan bergizi tinggi," terang Purwantyastuti.

Pada kesempatan terpisah, Direktur Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Muhammad Subuh menjelaskan pengobatan MDR Tb menjadi salah satu fokus pemerintah dalam menangani Tb di Indonesia.

Pengobatan MDR Tb di Indonesia sudah dimulai sejak Agustus 2009 di dua  rumah sakit (RS), yaitu RS Persahabatan Jakarta dan RS dr Soetomo, Surabaya.  

Pada 2010 juga, kata Subuh Kemenkes melakukan ekspansi penanganan pengobatan MDR Tb hingga ke RS dr Syaiful Anwar, Malang, Jawa Timur, RS dr Moewardi, Surakarta, Jawa Tengah.

"Secara  bertahap, diharapkan pada 2014 seluruh penduduk Indonesia mempunyai akses terhadap pengobatan MDR Tb ini," ujar Subuh. (H-2)

eni@mediaindonesia.com          

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar