DIGITAL PARENTING. POLA ASUH YANG PENTING SEKALIGUS GENTING !

Banyak orangtua yang resah karena anaknya kecanduan gawai. Padahal mereka sendiri tidak paham teknologi digital yang tertanam di gawai tersebut.

Menjadi orangtua di era digital seperti sekarang ini sesungguhnya nyaman. Dan kenyamanan itu, bahkan sudah dimulai sejak si kecil masih dalam kandungan.

Betapa tidak. Segala soal yang berurusan dengan pertumbuhan, kesehatan janin, juga kita dengan mudah didapat informasinya hanya dengan sekali dua "klik".

Begitu mulai menyusui - tanpa petunjuk dari ibu, apalagi ibu mertua kita dengan mudah melihat tutorialnya. Dan, saat harus mengirim "ASI beku" dari kulkas rumah ke kantor, tinggal klik ojek online - tak perlu lagi merepotkan orang di rumah - apalagi sang suami.   

Eh, saat diajak berlibur ke Lombok, si batita kita mendadak demam dan mimisan "Mas buruan WA dokter Lusi," pinta kita pada suami. Setelah kita memberi tahu kondisi si kecil ke dokter spesialisnya - lengkap dengan rekaman videonya segala - kita jadi paham bagaimana harus menangani sementara si batita yang sakit. 

Begitu dia batita, kita bisa membimbingnya belajar huruf, bilangan, menyanyi dengan bantuan YouTube, dan semuanya dalam bahasa Inggris. Bahkan, si kecil bisa belajar sendiri lewat perangkat tablet atau smart TV yang terkoneksi internet - sementara kita bisa sambil ketak-ketik mengerjakan tugas kantor, atau sambil menyetrika dan memasak. Suami pun bisa memantau kegiatan kita, si kecil, bahkan kondisi ibunya yang tengah dirawat di rumah lewat CCTV - yang terhubung langsung ke layar HP-nya. 

Nah, nyaman, kan, jadi orangtua di era digital ini?

Yup. Tapi pola asuh anak di era digital - yang belakangan kerap disebut dengan "digital parenting" - tidak hanya itu. Selain menawarkan kenyamanan, di sisi sebelah ada tantangan yang wajib kita hadapi. Karena, jika tidak, bukan kenyamanan yang kita peroleh, tapi bisa jadi petaka.

Seperti yang disampaikan. Dewi, satu teman kita ini. Dakha, putranya yang belum lagi 7 tahun sudah kecanduan gadget. "Aku merasa gagal mendidik anak. Kalau dilarang, aku juga enggak mau dia ketinggalan informasi, dan dijauhin teman-temannya. Tapi. dia itu jadi lebih tahu informasi. bahkan aku sempat ditanya soal politik," keluhnya.

Dewi, layaknya sebagian kita memang merasa memberikan gawai ke anak adalah hal biasa. Namun, sekarang yang terjadi ia malah bingung harus bagaimana bersikap sebagai orangtua dari "bocah digital" itu. 

Sudah begini, lantas apa yang harus dilakukan Dewi?

Gagap itu Bahaya
Zaman dulu kita memang masih dekat  dengan buku cerita sebagai alat untuk menggali informasi menyenangkan. Ibu kita pun bahkan sering mengajak kita berdiskusi untuk menilai karakter-karakter dalam buku tersebut, mana yang baik dan buruk.

Nah, begitulah kegunaan gawai di era sekarang. Gawai itu ibarat sebuah buku yang menjadi jendela dunia. Jadilah, Anda sebagai orangtua harus tahu perkembangan teknologi digital lengkap dengan informasinya. 

"Kalau  ibunya sendiri saja enggak paham dengan teknologi, bagaimana dia bisa mengendalikan sesuatu yang tidak dia pahami," jelas Vera Itabiliana Hadiwidjojo, psikolog anak dan remaja. 

Padahal, seperti kita tahu, informasi digital itu tidak terbatas. Lengkap dengan informasi yang berguna, sekaligus yang buruk buat anak. 

Entah sudah berapa ratus kali kita mendengar kasus perihal "jahatnya gawai" paling barunya adalah kasus Bowo Alpenliebe yang di-bully oleh netizen. Hingga sang ibu pun harus resign dari pekerjaannya untuk menemani masa penyembuhan psikis si anak. 

Selain kasus perundungan, kasus pelecehan seksual, kekerasan, dan hal-hal negatif lainnya itu juga mudah diakses, terutama dari aplikasi permainan.   

Celakanya lagi, "Banyak orangtua itu terlena dengan informasi. Mereka juga sudah melihat anaknya canggih, sehingga akhirnya membiarkan. Mereka banyak menggampangkan, kalau saat dewasa nanti adalah waktunya si anak untuk dibatasin," jelas Vera. 

Padahal, mengakses informasi tak ubahnya menyantap makanan. Ada aturan, perlu batasan - tergantung tingkat kesehatan jiwa, dan usia, tentunya. 

Karenanya, perlu ada aturan, termasuk pembatasan bagi anak-anak untuk mengakses apa pun saja lewat gawai. 

"Aturan kapan mereka bisa pakai, bisa lihat, dan kapan harus memperkenalkan gawai. Ayah dan ibu harus kompak untuk membatasi anak-anak," pesan sang psikolog kita ini.

Namun, jangan lupa: anak adalah peniru yang baik. artinya, orangtua juga wajib tegas dan konsekuen.

"Orangtua itu harus tegas memberikan aturan main. Misal, anak enggak boleh memasang aplikasi games di gawai mereka. Orangtua juga melakukan hal yang sama. Jadi semua sama, sehingga bisa memberikan contoh untuk anak," pungkas Vera.  

Meskipun kita pernah jadi anak-anak, yang terjadi kita sering kali sudah lupa dunia itu. Padahal tak ada cara lain jika kita ingin mengenal, memahami anak, masuklah ke dunia mereka  - dengan cara  - ikutilah bermain dengannya. 

Misal, Anda juga wajib mengenal aplikasi dalam gawai anak masing-masing. Jika itu berbentuk permainan (games). Ikutilah bermain bersamanya. Bukan sekadar melarang - karena kalau seperti itu sih gampang - tapi sering kali tak banyak manfaatnya.

Digital parenting memang menyenangkan, karenanya ia menjadi penting. Tapi, jika kita ogah belajar, memahami, dan menggunakan teknologi digital dengan baik dan benar - bukan hanya kita - tapi juga si kecil menjadi genting hidupnya, kelak. 

Tentry Yudvi/Aaleyah 

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar