MENDETEKSI KANKER PAYUDARA
Tim peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional mengembangkan kit radiofarmaka serum albumin manusia untuk mendeteksi sel-sel kanker payudara. Hal itu bertujuan mengurangi ketergantungan impor produk tersebut.
Sediaan radiofarmaka nanokoloid serum albumin manusia telah dimanfaatkan di dunia kedokteran nuklir untuk mendiagnosis sebaran sel kanker payudara. Namun, ketersediaannya masih harus diimpor dari luar negeri. Peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional pun berupaya mengembangkan produk substitusinya.
Sejauh ini, jumlah kasus kanker payudara terus meningkat di banyak negara di dunia, termasuk di Indonesia. Penyakit ini pun menjadi penyebab kematian utama saat ini. Keterlambatan diagnosis dan deteksi dini menjadi salah satu penyebab pemburukan kondisi pasien kanker.
Sebagian besar pasien datang ke fasilitas kesehatan sudah dalam stadium lanjut. Padahal, kanker dapat bermetastasis atau menyebar ke organ tubuh lain dengan cepat. Karena itu, penanganan terapi dan diagnosis yang tepat perlu segera dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Data Riset Kesehatan Dasar mencatat, prevalensi kanker di Indonesia meningkat dari 1,4 persen pada 2013 menjadi 1,8 persen pada 2018. Data stastisik kanker di tingkat global pun memperkirakan ada 348.809 kasus baru kanker terjadi di Indonesia. Angka kejadian kanker tertinggi, yakni kanker payudara, sebesar 42,1 per 100.000 penduduk dan rata-rata kematian 17 per 100.000 penduduk.
Tingginya kejadian juga kematian akibat penyakit ini menegaskan kanker payudara perlu diwaspadai. Kesadaran untuk melakukan deteksi dini amat diperlukan. Apalagi penyebab kanker belum diketahui secara pasti, selain karena gaya hidup tidak sehat dan faktor keturunan. Selain itu, diagnosis yang tepat dibutuhkan agar penanganan bisa optimal.
Di bidang kedokteran nuklir, diagnosis kanker payudara dalam dilakukan melalui metode limfosintigrafi atau metode diagnosis dengan pemeriksaan kelenjar getah bening. Hal itu dilakukan dengan menyuntikan sediaan radiofarmaka ke dalam tubuh pasien. Kemudian sediaan itu dapat mendeteksi sebaran sel kanker dalam saluran getah bening yang bisa dilihat dengan memakai kamera gamma atau detektor gamma.
Adapun sediaan radiofarmaka yang digunakan ialah radioisotop teknesium-99m nanokoloid serum albumin manusia (nanokoloid human serum albumin/HSA). Radioisotop ini memiliki sifat nuklir dengan batas aman untuk diagnosis suatu penyakit. Waktu paruhnya pendek, yakni sekitar enam jam. Energi pemancar dari sinar gamma juga tak besar sehingga tidak berdampak pada organ tubuh.
Peneliti dari Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka Badan Teknologi Nuklir Nasional (Batan) Wening Lestari menjelaskan secara teknis nanokoloid HSA yang berupa serbuk kering akan ditambahkan dengan larutan radioisotop teknesium-99m (Tc-99m). Sediaan ini lalu diinjeksikan ke pasien dengan ukuran ideal 100-200 nanometer.
Penggunaannya hanya bisa dilakukan radiofarmasis dan dokter spesialis kedokteran nuklir. Perempuan hamil dan menyusui biasanya tidak diperbolehkan untuk menggunakan kit nanokoloid.
"Akumulasi sel kanker dalam saluran getah bening dapat diketahui dengan memakai gamma kamera sehingga bisa diketahui simpul getah bening bagian mana yang menerima sel kanker. Itu biasa dilakukan sebelum operasi untuk menegakkan diagnosis apakah kanker menyebar atau belum. Dengan begitu, tindakan terapi bisa lebih tepat," tuturnya.
Selama ini kebutuhan rumah sakit akan radiofarmaka nanokoloid HSA masih diimpor dari luar negeri, yakni nanocoll albumon. Padahal, kebutuhannya terus meningkat seiring jumlah pasien kanker payudara yang terus bertambah.
Karena itu, peneliti di Batan mengembangkan substitusi produk tersebut. Saat ini, kit nanokoloid HSA yang dikembangkan masih dalam tahap uji validasi untuk mendapatkan izin edar dari Badan Pengawasan obat dan Makanan (BPOM). Izin edar ini ditargetkan bisa diperoleh pada 2024.
Wening menuturkan, metode pembuatan kit nanokoloid tersebut merujuk pada dokumen Badan Energi Atom Internasional atau international Atomic Energy Agency (IAEA). Tahapan pengembangannya pun mengikuti tahapan pengembangan radiofarmaka lain, mulai dari proses formulasi hingga validasi. Dengan begitu, kit yang dihasilkan bermutu dan terstandar sesuai syarat yang ditetapkan US Pharmacopeia (USP).
Sejumlah pengujian perlu dilakukan sebelum kit nanokoloid HSA dari Batan siap diproduksi. Itu antara lain untuk menguji kejernihan, kadar pH, kemurnian radiokimia, ukuran partikel, sterilitas, praklinis, dan uji klinis. Seluruh pengembangan akan dilakukan mengacu pada kaidah cara pembuatan obat yang baik (CPOB).
Tahun ini, proses sintesis dan preparasi pada kit nanokoloid HSA berhasil dilakukan. Hasil sintesis dan preparasi nonsteril skala kecil telah diperoleh sesuai dengan syarat yang ditetapkan, yaitu kurang dari 100 nm dan kemurnian radiokimia hasil penandaan dengan Tc-99m lebih dari 90 persen.
"Kita tahu jumlah prevalensi kanker payudara di Indonesia terus meningkat. Kebutuhan sediaan nanokoloid untuk penegakan diagnosis juga bertambah. Karena itu, kita harus bisa mandiri dalam penyediaan kit ini. Apalagi, Batan juga sudah berpengalaman mengembangkan radiofarmaka," tuturnya.
Butuh dukungan
Dukungan dari berbagai pihak dibutuhkan untuk percepatan pengembangan produk ini. Dukungan tersebut terutama dari mitra industri untuk memproduksi produk ini secara massal. Selain itu, kerja sama dan pembinaan diperlukan dari badan regulasi. Selama ini, para peneliti belum memiliki pemahaman utuh terkait prosedur terstandar dalam proses pengembangan.
Kepala Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PTRR) Rohadi Awaludin berharap kit radiofarmaka nanokoloid HSA yang dikembangkan dapat menyubstitusi atau menggantikan produk impor. Tentu harga yang ditawarkan akan lebih terjangkau.
Berbagai pengembangan produk radioisotop dan radiofarmaka lain juga dikembangkan Batan. Dalam kurun 2020-2024, ada lima produk ditargetkan terealisasi. Selain kit nanokoloid HSA, produk lainnya yakni Generator Mo-99/Tc-99m, radiofarmaka berbasis PSMA (prostate spesific membrane antigen), kit radiofarmaka EDTMP, dan contras agent berbasis gadolinium untuk MRI.
"Selama ini kebutuhan radioisotop dan radiofarmaka di dalam negeri dipasok dari produk impor hingga di atas 90 persen. Untuk mengurangi ketergantungan itu, Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka mengembangkan produk ini," tutur Rohadi.
Catatan:
Kit Nanokoloid HSA: - Berupa serbuk kering, steril dan bebas pirogen. - Merupakan agen limfoskintigrafi, digunakan untuk diagnosa sistem kelenjar getah bening. - Dapat digunakan untuk mengetahui apakah kanker payudara sudah menyebar atau belum sehingga dapat dijadikan pedoman dokter saat operasi. - Hasil pencitraan dengan kit nanokoloid HSA memberikan informasi yang akurat mengenai keadaan kelenjar getah bening di sekitar payudara. - Saat ini kebutuhan kit nanokoloid HSA di dalam negeri diimpor dari luar negeri.
Kandungan: Glukosa, Human serum albumin, SnC12 2H20, NaH2P04 H20, Na2HP04 2H20
Keunggulan: Dapat memberikan informasi/arahan saat operasi pada pasien kanker payudara.
Indikasi dan pengunaan: - Kit nanokoloid HSA yang berbentuk serbuk kering direkonstitusi dengan larutan natrium pertenetat teknesium-99m (Tc-99m) dan diinjeksikan secar subkutan. - Pencitraan dapat dilakukan 30-60 menit setelah injeksi/penyuntikan.