Operasi Sayatan Kecil Lebih Menguntungkan
OPERASI dengan sayatan kecil atau sering disebut invasif minimal telah diterapkan dalam penanganan gangguan berbagai organ. Tidak terkecuali pada tulang belakang. Penerapan metode tersebut terbukti memberi keuntungan yang lebih besar daripada metode pembedahan konvensional.
Demikian dikatakan dokter konsultan ortopedi dan traumatologi Rumah Sakit Premier Bintaro (RSPB), Tangerang, Fachrisal Ipang pada diskusi kesehatan di Jakarta pekan lalu.
Ia menjelaskan, berbeda dengan pembedahan konvensional yang memerlukan bukaan sepanjang 15-20 cm, operasi invasif minimal hanya memerlukan sayatan 0,5-1 cm.
Meski sayatannya minim, tak berarti tindakan operasi jadi terbatas, karena langkah operasi itu dilakukan dengan peralatan berteknologi modern.
Peralatan itu antara lain berupa mikroskop khusus yang mampu memperbesar suatu objek operasi hingga berlipat-lipat kali. Selain itu, ada pula scope berkamera yang bisa dimasukkan ke jaringan tubuh sehingga dokter bisa melihat jaringan ini dengan jelas.
"Minimnya sayatan membawa sejumlah keuntungan bagi pasien," kata dokter yang akrab disapa Ipang itu.
Antara lain, lanjutnya, menekan risiko infeksi, meminimalkan perdarahan, mempersingkat waktu perawatan pascaoperasi, menekan nyeri pasca operasi, saat memperkecil risiko kecacatan pascaoperasi.
"Yang dimaksud kecacatan, misalnya, ialah berkurangnya kemampuan gerak punggung pasien. Risiko itu lebih besar bila operasi dilakukan dengan bedah konvensional sebab bukaan yang lebar membuat banyak jaringan otot terpotong, terbentuk jaringan parut yang luas, dan kadang disertai atrofi (pengecilan) otot."
Kondisi itu kerap kali membuat pasien tidak lagi bisa membungkuk secara sempurna meski keluhan utamanya bisa dihilangkan. "Yang tadinya bisa membungkuk 90 derajat, jadi cuma 870 derajat."
Keuntungan lain operasi sayatan minimal ialah meminimalkan bekas luka. Tapi kulit pun lebih baik.
Beragam kasus
Operasi invasif minimal untuk mengatasi gangguan tulang belakang bisa diterapkan pada berbagai kasus, antara lain gangguan akibat herniated nucleus pulposus (HNP) atau yang sering disebut saraf terjepit, kerusakan bantalan sendi tulang belakang akibat penuaan, pengecilan kanal saraf tulang belakang, bahkan skoliosis.
Ipang menambahkan, meski nyeri di punggung dan pinggang kerap dialami banyak orang, belum tentu hal itu merupakan gejala gangguan tulang belakang yang perlu tindakan operasi.
"Di RSPB, hanya 10-15% pasien yang perlu operasi. Selebihnya cukup ditangani dengan obat, suntikan, fisioterapi, istirahat cukup, atau meluruskan postur yang salah." (Nik/H-1)