Kanker Payudara. Waspada Ukuran Tak Simetris
Deteksi dini menjadi kunci utama mencegah kanker payudara.
Kanker payudara saat ini menempati urutan pertama kanker penyebab kematian pada wanita di Indonesia. Namun, hingga kini, penyebabnya belum jelas. "Penyebabnya multifaktor, bisa karena faktor genetik, bisa juga karena perubahan di tingkat gen dan sel. Gen-gen yang sudah ditemukan sebagai penyebab kanker payudara antara lain BRCA1 dan BRCA 2," kata Spesialis Bedah, Konsultan Bedah Onkologi RS Pondok Indah Puri Indah, Jakarta, Dr. Cahyo Novianto, M.si., Med., Sp.B (K) Onk.
Gaya hidup dan lingkungan membuat gen bermutasi. Gen yang membelah dan seharusnya sama, bisa menjadi berubah alias bermutasi karena terpapar karsinogen yang bermacam-macam. Sementara yang sekarang sudah banyak adalah p53, baik yang mutasi (penyebab kanker) maupun p53 supresor (mencegah jangan sampai jadi kanker), BRCA1 dan BRCA 2." Ini untuk kanker payudara. Tapi tidak serta merta memicu kanker payudara. Faktor risikonya 10 persen, tapi bisa juga hilang."
Faktor penyebab lain, tambahnya, adalah lingkungan, polusi, serta radiasi. Misalnya pada petugas medis radiologi atau radioaktif dan pasien yang pernah menerima paparan radiasi dalam jangka waktu lama, seperti berkali-kali menjalani foto rontgen.
Namun yang patut diwaspadai, kanker payudara dan kanker pada umumnya, tidak menunjukkan gejala pada stadium-stadium awal (stadium 1 dan stadium 2). Baru setelah stadium lanjut, yaitu stadium 3B atau stadium 4, timbul gejala. Ini karena pada stadium tersebut, kanker sudah menyebar (metastase).
Gejala yang muncul antara lain batuk pada kanker paru, atau tulang terasa nyeri pada kanker tulang. Sementara jika sudah menyebar ke lever, bisa mengakibatkan benjolan sampai perut membesar.
Faktor Hormonal
Faktor hormonal dewasa ini juga menjadi penyebab utama kanker payudara, khususnya hormon estrogen. Hormon estrogen adalah hormon pada wanita yang berfungsi membentuk tanda-tanda kelamin sekunder, seperti payudara membesar, pinggul lebih singset, serta suara dan kulit menjadi halus. Pada laki-laki , hormon yang serupa adalah androgen.
Hormon estrogen cenderung tidak stabil karena beragam faktor, terutama kandungan bahan kimia pada makanan seperti bahan pengawet, pewarna kimia, pemanis buatan, dan makanan yang siap diasap.
Penyebab lainnya, yaitu asap rokok, asap knalpot, dan asap pembakaran sampah yang juga berisiko memicu timbulnya kanker. "Ini menjadikan hormon estrogen menjadi tidak stabil dan bisa berefek ke payudara. Sehingga memicu timbulnya sesuatu yang tidak normal, seperti kanker," lanjut Cahyo.
Berisiko Tinggi
Lantas, siapa saja yang memiliki faktor risiko lebih tinggi? "Wanita yang mendapat menarche alias menstruasi pertama lebih dini dan wanita yang menopausenya lebih lama. Mereka ini lebih berisiko karena paparan hormon estrogennya semakin panjang," jelas Cahyo.
Juga, wanita yang tidak pernah punya anak dan tidak pernah menyusui. Pasalnya saat menyusui, ujar Cahyo, adalah periode bebas kanker. Ini karena peran hormon estrogen pada masa menyusui menjadi lebih kecil dan yang lebih berperan atau dominan adalah hormon prolaktin. Selain itu, wanita yang memakai KB hormonal (suntik, pil, IUD) pun memiliki risiko lebih tinggi.
Faktor keluarga ternyata ikut berperan. Apabila riwayat anggota keluarga ada yang menderita kanker jenis apa pun, maka bisa memperbesar potensi orang tersebut kena kanker. "Misal neneknya kanker tulang, cucunya bisa kena juga kanker yang berbeda. Pertumbuhan sel kanker itu sesuka dia. Kalau cocok di paru, ya, yang kena parunya. Tidak selalu di payudara."
Wanita yang pernah punya riwayat tumor payudara sebelumnya juga memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker payudara.
Terasa Keras
Untuk mendiagnosis kanker payudara, yang pertama dilakukan dokter adalah anamnesa. "Dilakukan skrining dulu, apakah pasien berisiko tinggi terkena kanker? Ini termasuk pemeriksaan riwayat lingkungan, pekerjaan, dan sebagainya," kata Cahyo. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan fisik dengan jalan dilihat (inspeksi) dan diraba (palpasi).
"Jika ada benjolan yang dicurigai ganas, biasanya kulit di atas benjolan tersebut akan tertarik. Kalau letaknya di bawah puting susu, maka puting akan melesak ke dalam, sehingga menjadi rata atau masuk semuanya ke dalam. Ini yang disebut sifatnya infiltrasi," lanjutnya. Gejala lain adalah kulit di sektiar benjolan yang seperti kulit jeruk. Ini karena pori-pori melebar akibat kanker yang mulai menghambat kelenjar limfa.
Selain itu, dokter akan meraba benjolan. Jika curiga adanya keganasan, benjolan akan terasa keras seperti tulang. Benjolan lengket dan susah digerakkan, seperti punya akar. Kalau jinak, benjolannya kenyal dan mudah bergerak, atau bergeser jika diraba. "Kalau yang ganas, tepian benjolan tidak rata sementara yang jinak benjolan teraba rata dan batasnya tegas," kata Cahyo.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan biopsi untuk mengambil sampel dari yang paling kecil sampai open biopsi. Oleh dokter patologi anatomi, hasilnya akan dibaca, apakah tumor termasuk jinak atau ganas.
Kurang dri 2 cm
Usai diagnosa, tindakan berikutnya adalah terapi definitif. Terapi kanker bersifat paket, mulai operasi, kemoterapi, dan radioterapi. Setelah itu, ada terapi hormon dan targeted therapy yang sudah mengarah ke tingkat gen atau sel.
Operasi dilakukan dengan beberapa teknik. Teknik terbaru adalah dengan Breast Conserving Surgery (BCS). "Itu jika kankernya masih stadium dini alias stadium 1 atau stadium 2. Ukurannya juga harus kurang dari 2 cm dan pasien harus masih muda," kata Cahyo.
Melalui BCS, payudara tidak semuanya diangkat. Melainkan, diambil dan dilebarkan dengan lumpektomi, kemudian kelenjar di ketiak dibersihkan agar tidak melebar ke seluruh tubuh.
Pada stadium lanjut (stadium 3 dan stadium 4), payudara diangkat semua (mastektomi) dengan teknik Modified Radical Mastektomi (MRM). Tidak seperti teknik sebelumnya pada MRM, otot-otot payudara tidak diambil semua, karena bisa menimbulkan kesakitan yang luar biasa.
Pada penderita kanker payudara, juga dilakukan pemeriksaan reseptor estrogennya. Ini berkaitan dengan terapi dan pengobatan. Jika hasilnya positif, penderita akan diberi terapi hormon. Yang susah jika hasilnya negatif. Obatnya susah, sehingga kemungkinan sembuh (prognosis)-nya jelek. Ini jika penyebab kanker adalah faktor hormonal estrogen.
Semakin Muda
Setelah terapi, dilakukan five years survival dengan kontrol. Pada tahun pertama kontrol, dilakukan setiap 3 bulan sekali, sementara pada tahun kedua 6 bulan sekali, pada tahun ketiga setahun sekali, dan pada tahun keempat 2 tahun sekali.
Pada tahun kelima, kata Cahyo, bisa dibilang pasien sudah survive, meskipun tetap harus dipantau karena ada kemungkinan survival kedua dan kemungkinan kanker timbul lagi.
Tak kalah penting, pencegahan dengan jalan deteksi dini. Deteksi dini paling sederahana adalah dengan SADARI (periksa payudara sendiri). SADARI harus sudah mulai diajarkan dan dilakukan sejak seseorang wanita mulai mendapat haid karena saat itulah ia mulai produksi hormon estrogen. "Usia penderita kanker payudara sekarang ini makin muda. Dulu mungkin baru kena di usia 40-an, sekarang usia 20-an pun sudah ada yang kena," jelas Cahyo.
Dengan SADARI, wanita melihat apakah ada yang lain pada payudaranya. Misalnya bentuk dan ukurannya. Kenali juga apakah payudara kanan dan kirinya simetris atau tidak. Memang payudara kiri dan kanan lumrah berbeda. Namun apabila ketidaksimetrisan payudara kiri dan kanan termasuk ekstrem, patut dicurigai ada sesuatu.
Selain itu, waktu pelaksanaan SADARI pun harus diperhitungkan mengingat ini berkaitan dengan siklus estrogen, maka cara menghitungnya bisa melalui jadwal siklus haid. Puncak estrogen tertinggi adalah saat haid, hingga haidnya bersih pun, kadar estrogen masih terbilang tinggi. Titik rendahnya adalah seminggu setelah darah haid bersih.
Nah, pada saat itu bisa dilakukan SADARI. Pasalnya bila dilakukan saat kadar estrogen tinggi, hasilnya bisa rancu. "Dipegang, kok benjol semua. Padahal itu karena kelenjar sedang aktif akibat pengaruh hormon estrogen. Alhasil, jadi tidak valid," ujar Cahyo.
Hasto Prianggoro
