Meredam Telinga Berdenging
Penyakit tinnitus aurium bisa membuat pasien putus asa. Di Jerman sudah ditemukan cara terapinya.
ANITA Berger belakangan ini mulai bisa tidur lelap walaupun hanya dua jam setiap hari. Itu pun setelah sebelumnya dia harus menelan valium dosis berat. Tapi itu sudah mendingan. Selama ini, wanita yang enggan disebut nama sebenarnya itu merasa tersiksa dengan penyakit tinnitus aurium yang sudah empat bulan dideritanya. Penderitaan tersebut menyebabkan telinga penyiar radio dari Munich, Jerman, itu hanya mampu menangkap suara bising terus-menerus, meskipun dia sedang duduk di tempat yang sunyi sepi.
Suara bising yang mengganggu ritme hidupnya itu akibat rusaknya rambut-rambut saraf yang berfungsi menerima gelombang suara di dalam telinga. Derita tersebut memang sempat membuat wanita berusia 35 tahun itu putus asa, sehingga ingin bunuh diri. "Saya jadi sering menangis. Saya tak mengerti kenapa tiba-tiba telinga saya berdenging kencang. Seluruh keluarga saya tidak mengerti penyakit macam apa yang saya derita ini. Kini semua hubungan persahabatan pun hapus sudah," katanya pilu.
Anita adalah salah seorang dari sekitar satu juta warga Jerman yang dirongrong penyakit tinnitus aurium. Setiap penderitanya memang bisa dibuat pusus asa. Bayangkan, sehari-hari telinga seorang penderita tinnitus seperti mengeluarkan suara berdenging yang memekakan telinga. Akibatnya, bunyi alunan musik atau suara lawan bicara, misalnya, sama sekali tidak mampu ditangkap.
Penyakit kebisingan ini biasanya menyerang pasien berusia 42 tahun ke atas, meski kadang-kadang juga menyerang anak muda. Sekitar 30% dari semua pasien tinnitus disebabkan trauma kebisingan, yaitu akibat kebiasaan mendengarkan musik dengan volume keras dalam jangka waktu lama secara terus-menerus, atau akibat bunyi ledakan. Tekanan suara itu mampu merusak 20.000 sampai 50.000 rambut-rambut saraf di dalam telinga. Padahal, rambut tersebut berfungsi mentransfer gelombang suara ke saraf perangsang elektrik dan membuat telinga bisa mendengar secara gamblang. Di samping itu, penyebab tinnitus bisa pula akibat kecelakaan atau pembuluh darah di otak rewel karena beban stres berat.
Gangguan pendengaran yang dialami pasien tinnitus otomatis membuat kemampuan pasien mendengar bunyi lain menjadi terbatas, walaupun tidak sampai membuat pasien tuli. Tetapi ada juga pasien stadium lanjut yang akhirnya hanya mampu menangkap suara denging. Penyakit yang semula tidak ada harapan untuk disembuhkan itu semenjak awal 1990 mulai terkuak rahasianya. Hingga kini di Jerman lebih dari 1.300 penderita tinnitus mampu kembali mendengar secara baik. Prestasi itu diraih Klinik Spesialis Tinnitus di Arolsen, yang mengklaim bisa mengembalikan pendengaran pasien secara normal setelah melewati terapi selama enam sampai delapan minggu.
Terapi yang digunakan ada beberapa langkah. Tahap pertama dengan pemberian obat untuk meningkatan aliran darah. Selain itu di Klinik Arolsen, pasien juga mendapat perawatan masuk ke dalam kabin berisi oksigen murni yang bertekanan tinggi. Terapi ini dilakukan selama 90 menit per hari dalam jangka waktu 15 hari berturut-turut. "Sekitar 70% merasa lebih baik dari sebelumnya," kata dokter Gerhard Hesse, pendiri Klinik Arolsen, kepada Gatra.
Di samping itu secara berkala pasien juga diajak berjalan-jalan di taman yang tenang dengan mata ditutup sehelai sapu tangan. Pasien lalu melatih dirinya untuk mampu memilah-milah suara yang didengarnya, seperti mengabaikan bunyi bising akibat penyakit tinnitus, dan mendengarkan nyanyian burung di taman. Melalui pelatihan ini, kemampuan observasi pasien pun menjadi lebih baik. "Selain itu kami juga memberikan berbagai jenis latihan fisik, antara lain The Chinese Shadow Boxing Gymnastic," kata Hesse, yang sudah 10 tahun menangani penderita tinnitus.
Anita Berger adalah salah seorang pasien yang mendapat perawatan di Arolsen. Kini dia mampu mengabaikan bunyi bising di telinganya, setidaknya selama dua jam dalam sehari. "Saya sudah kehilangan rasa takut terhadap penyakit ini," kata Anita. Meski demikian, dia masih perlu bantuan alat pendengar bernama Tinicool. Alat tersebut mampu mentransfer suara ke frekuensi yang tinggi guna mengimbangi bunyi-bunyi bising yang berdenging di telinga. "Alat itu bekerja baik, bunyi bising di telinga saya kini melemah," kata Anita.
Hasil terapi penderita tinnitus yang dilakukan di Jerman, menurut dokter Hadi Koesnan, cukup menggembirakan. Selama ini menurut ahli telinga, hidung, dan tenggorok (THT) Rumah Sakit Gatot Subroto, Jakarta itu, penyakit telinga berdenging tersebut belum ada obatnya. Apalagi jumlah penderitanya di Indonesia juga cukup banyak. "Yang kami lakukan sekarang adalah dengan memberikan obat-obat untuk memperbaiki saluran darah di otak," katanya.
Hesse berharap, terapi baru yang mengawinkan teknologi canggih dengan pelatihan pskologis pasien ini akan memberikan hasil maksimal di masa mendatang. Telinga manusia yang sederhana, katanya, pada dasarnya tidak mampu mengatasi kebisingan yang ada sekarang. Bunyi konstan yang didengar manusia hari per hari telah bertambah dalam jangka waktu 100 tahun ini. Lebih dari 1.000 tahun lalu, untuk menangkap informasi, seseorang hanya perlu menyaring bunyi dari dunia luar sebanyak 10 sumber suara. "Sekarang orang yang harus menyaring satu bunyi dari 1.000 bunyi yang ada, untuk mendapatkan informasi yang benar, kata Hesse dengan nada prihatin.
Gatot Triyanto, dan Nia Sutiara (Erlangen)
