Selamat Jalan Bondan Winarno. "Enggak Ada Hubungan dengan Gaya Hidup Kulinernya!"
Wajah ramah, senyum khas, dengan jemari di depan bibir mengucapkan, "pokoke maknyuss" kini tinggal kenangan.
Bondan Winarno, wartawan, presenter, sekaligus pakar kuliner ini mengejutkan publik. Pada Rabu, 29 November 2017, lalu, Bondan meninggal dunia dalam usia 67 tahun. Diduga, sebelumnya ia terkena serangan jantung.
Kepergian Bondan Winarno jelas tak hanya meninggalkan duka, tapi juga menyisakan banyak cerita dan kenangan. Bahkan, ada saja pihak yang menuding bahwa makananlah yang menjadi alasan kepergiannya.
Betul begitu?
"Ini enggak ada hubungannya dengan gaya hidup kulinernya! tegas Eliseo Raket Winarno.
Anak Bondan yang akrab disapa Seo itu menyebutkan bahwa sang ayah pergi karena penyakit jantung. "Sudah sangat komplikasi Pak Bondan juga sempat menjalani operasi dan mengalami medical coma selama lima hari di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta," jelasnya saat ditemui di rumah duka.
Rupanya tak banyak yang tahu, jika selama beberapa tahun terakhir Bondan kerap mengeluhkan sakit di bagian dadanya. Sejak itu, ia pun mengunjungi beberapa orang dokter untuk memeriksakan diri.
Hingga akhirnya pada April 2005, Bondan dinyatakan mengalami penggembungan pada aortanya atau dalam bahasa medis disebut aorta aneurysm. Hal ini rupanya sudah disampaikan Bondan kepada para sahabat-sahabatnya, termasuk sesama pakar kuliner, Arie Parikesit.
"Menurut Dr. Soo, tiap tahun perlu diawasi apakah membesar dan perlu tindakan operasi. Katanya: saya seperti membawa bom waktu yang setiap saat bisa pecah dan mematikan saya. Dr. Soo juga mengaku bahwa dia bukan ahlinya di bidang aneurysm. Bila perlu pembedahan, dia harus mengundang dokter bedah dari Jepang. Biaya diperkirakan Rp 600-700 juta," begitu tulis Bondan dalam pesannya.
Namun, Bondan menemukan fakta baru seputar penyakitnya. Di tahun 2017, ia didiagnosis mengalami kebocoran katup aorta dan harus segera dioperasi. Sayangnya, usai operasi, Bondan dinyatakan mengalami kejang dalam tidurnya dan dinyatakan menderita komplikasi aritmia atau gangguan irama jantung.
Kondisinya sempat membaik selama beberapa waktu. Namun, usai menjalani operasi kedua, Bondan akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. "Ini sudah operasi kedua. Di operasi kedua ini ternyata ada komplikasi. Dari komplikasi itu ada bakteri yang menyebar ke organ-organ tubuh yang lain. Yang saya tahu sebatas itu dan sudah berusaha dirawat oleh tim dokter dari Harapan Kita," jelas Seo.
Ingin Dikremasi
Jenazah pria yang juga berprofesi sebagai jurnalis itu disemayamkan di rumah duka, Kamis (30/11), keluarga Bondan pun melangsungkan prosesi tutup peti untuk dibawa menuju rumah duka RS Sentra Medika, Cibinong, Bogor, untuk dikremasi. Hal itu dilakukan lantaran sesuai dengan permintaannya semasa hidup.
"Iya, tapi bukan permintaan ketika dia sakit. Itu permintaan ikrar berdua dia sama ibu saya dari dulu," kata Seo.
Keluarga mengiringi prosesi kremasi jenazah Bondan sekitar dua jam dengan begitu menyimpan duka mendalam. Putri Bondan, Gwen pun memeluk dan kemudian meletakkan pasu (urn) yang berisikan abu ayahnya di tempat penyimpanan di rumah duka. Abu jenazah Bondan rencana disimpan selama 14 hari sambil menunggu hasil rundingan keluarga.
"Mereka semua bilang, (keputusan di tangan) saya, tapi tidak, saya juga ingin anak-anak ikut menentukan. Bisa saja saya bawa lagi ke Bali untuk di tanam, saya orangnya enggak takut, saya tahan (abunya) sama saya karena dia adalah suami saya. Tapi belum dipastikan," jelas istri Bondan, Yvonne Winarno.
Perempuan berdarah Belanda itu pun menambahkan bahwa kini dirinya lega lantaran suami tercinta telah terbebas dari penyakit yang membelenggunya selama ini. "Saya merasa dia sudah bebas. Sebelumnya waktu dia sakit, beban saya berat. Tapi sekarang karena dia sudah jalan, saya jadi lebih plong, lebih lega," tuturnya dengan tegar.
Yvonne dan ketiga anaknya pun mengaku tak mendapat firasat apapun jelang kepergian Bondan. Mereka pun optimis saat mengantar Bondan masuk ke dalam ruang operasi. Namun, ternyata mereka harus rela melepas kepergian pria yang dikenal kuat dan tenang itu. Padahal kurang dari sebulan lagi mereka berencanakan merayakan hari raya Natal bersama dengan penuh suka cita.
"Berat rasanya. Itu sesuatu yang kita omongin terus. Kita maunya di Bali dan waktu itu harus periksa kembali tanggal 19 Desember. Tapi dia sudah bilang, 'Saya ingin pulang sebelum Natal, tanggal 22 kembali'. Semua terjadi terlalu cepat," cerita Yvonne dan putrinya, Gwen.
"Ini lebih baik untuk Pak Bondan karena saya lihat dari mukanya, dia sudah lelah dengan semua ini dan enggak ada solusi waktu itu. Hari ini baik, besoknya kondisinya buruk lagi. Akhirnya saya minta sama Tuhan supaya jangan menahan dia lagi," tambah Yvonne dengan sorot mata tabah. "Saya maunya dia sehat, tapi tidak bisa. Jadi saya rela 100 persen walaupun berat, tapi itu yang terbaik."
Selama 42 tahun menjalani bahtera rumah tangga dengan Bondan, Yvonne selalu mengenangnya sebagai pria yang sangat mencintai keluarganya. Sebelum ia meninggal pun, Bondan tampaknya sempat berpesan pada anak sulungnya agar senantiasa menjaga Yvonne.
Di mata ketiga anaknya pun Bondan dikenal sebagai sosok pemimpin dan juga berkepribadian kuat. "Jadi buat saya, kalau ada dia kami merasa tenang. Dia family man yang basisnya tuh pemberi solusi. Jadi dia bikin orang merasa tenang dan dia sosok yang susah dilupain karena dia tipe orang yang kuat, jadi ngebuat orang merasa kuat juga ," kenang Seo.
Selamat jalan Pak Bondan. Semoga kini lebih "Maknyuss" di Sana.
Wida Citra Dewi