Alstarina Sharindrawati, Untung dan Sehat Berkat Cuka Apel Organik

Perkawinan membawa Alstarina Sharindrawati ke jalan hidup yang baru. Mulai merintis karier dari nol, hingga menjadi pengonsumsi makanan organik. Alhasil, semua itu malah membawa berkah baginya. Kini ia tak hanya hidup sehat, tapi juga merangkap sebagai pengusaha produk olahan sehat berbahan apel organik. 

Aku, sebelumnya bukanlah seorang pengonsumsi makanan organik. Hidupku normal saja seperti orang pada umumnya yang bebas menyantap segala makanan. Aku juga belum pernah berbisnis.

Namun, semua berubah sejak 2013 tepatnya saat aku menikah.

Begitu menikah, aku diajak suami hijrah dari Jakarta ke Kota Batu, Malang. Tinggnl bersama keluarga suamiku di sana. Tak disangka, semua jalan hidup kubangun lagi dari nol. Pekerjaanku sebagai karyawan swasta di Jakarta kutinggalkan. Aku menganggur di sana. Jujur, aku merasa tak betah jika terus menganggur. Ingin rasanya segera mendapat pekerjaan baru.   

Merasa tak tega melihatku tak banyak aktivitas, suami mulai sering mengajakku berkunjung ke lahan pertanian yang notabene banyak dibudidayakan di Malang. Jangan heran, Pemerintah Kota Malang memang menggalakkan warganya untuk bertani. Jadi, ragam pertanian sayur dan buah-buahan terhampar di sana. Tak ketinggalan dengan pertanian organik yang juga banyak ditemui di Batu. 

Niat awalnya, suamiku menginginkan agar aku bisa bertani dan memanfaatkan lahan yang ada. Namun aku kurang tertarik. Malah, aku berpikir hasil pertanian yang melimpah itu diolah saja. Maklum, hobiku memasak. 

Kehabisan Modal

Sejak saat itu gaya hidupku berubah. Cuaca yang sejuk membuatku semakin ingin menjaga diri agar tetap sehat dan bugar. Jika belum bisa rutin olahraga, apa salahnya dimulai mengonsumsi aneka makanan sehat. Mengonsumsi makanan yang bahan dasarnya berasal dari pertanian organik, contohnya. Karena memang tak sulit menemukan sayur dan buah-buahan organik di sini. Dari situ aku mulai memutar otak, mencari cara agar tumbuhan organik bisa kuolah menjadi sesuatu yang enak dikonsumsi.

Di tengah kebingungan, seketika aku teringat dengan kebiasaan ibuku yang hampir di setiap sarapan mengonsumsi roti berbalut selai. "Kenapa enggak kubuat saja selai berbahan dasar tumbuhan organik. Kalau dikonsumsi ibu nantinya pasti sehat.

Tak hanya itu, akupun bisa ikut mengonsumsinya. Jika rasanya enak, pasti bisa kujual. Dengan begitu, aku akan memiliki kesibukan lagi," pikirku saat itu.

Sejak menemukan ide brilian tadi, yang pertama terlintas di pikiranku adalah mencari tumbuhan organik yang paling mudah didapat untuk bahan dasar selaiku nanti. Ya benar, tentu saja apel. Karena itu adalah tumbuhan organik andalan dan relatif mudah didapat di Malang. Akhirnya tekadku bulat. Usaha mengolah apel organik menjadi selai pun mulai kulakukan.

Nyatanya, semua tak langsung berjalan mulus. Kendala pertama yang kuhadapi adalah keterbatasan modal untuk membeli apel organik. Padahal tahap awal, aku hanya baru mencari formula yang tepat untuk selai apel organikku. Tapi tidak apa. Meski dengan modal seadanya.

Ternyata prosesnya tak mudah. Butuh waktu lama untuk menemukan formula selai ini. Bahkan di tengah jalan, bahan apel organik sempat habis. Modalku pun demikian. Artinya, proses sempat terhenti beberapa saat. Hingga suamiku yang iba melihat jerih payahku terhenti, akhirnya mengucurkan sejumlah uang pribadinya untuk membelikan bahan apel organik.

Aku tak menyia-nyiakan modal yang diberikan. Tak terasa, enam bulan sudah kujalani hanya untuk mencari formula selai apel. Hasilnya pun belum sempurna. Sampai akhirnya, setahun kutempuh hanya demi mendapat selai yang rasa dan khasiatnya sesuai harapan. Ketika aku merasa sudah mendapat hasil yang sesuai, selai itu pun kuujicobakan ke ibu dan anggota keluarga lain di Jakarta.

Tapi ternyata, selai ini dirasa masih belum memuaskan mereka. Rasanya hambar. Komentar negatif pun berdatangan. Untungnya hal itu malah kujadikan pemacu semangat. Aku tak mau menyerah. Kuracik lagi apel-apel organik ini. Hingga percobaan yang ke sekian kali, mereka merasa puas. Dari situ, rasa bangga dalam diri muncul. Rasanya tak sia-sia perjuanganku setahun ke belakang. Namun, ini masih awal. Tak sepantasnya terlalu jumawa.

Beberapa hasil olahan selai yang sudah jadi mulai kupasarkan secara online. Respon dan testimoni awal pelanggan pun positif. Aku semakin percaya dan membulatkan tekad untuk melanjutkan produksi selai apel.

Lebarkan Sayap

Upaya meminjam uang di bank sebagai modal awal usaha mulai kulakukan. Aku berpikir, tak mungkin jika aku produksi ini sendiri. Akhirnya, beberapa ibu rumah tangga di sekitar kota Batu kurekrut sebagai tenaga pembantu produksi selai apel. Tak ketinggalan, memilih produsen petani apel organik yang tepat agar mendapat bahan dasar apel yang baik.

Proses awal sudah dilakukan, lalu masuk ke tahap berikutnya, yakni, melatih para ibu agar bisa memproduksi selai sesuai resep yang kubuat. Beberapa bulan mereka kuajarkan. Kurasa mereka umumnya pandai memasak. Permasalahan utamaku hanyalah bahasa. Jujur saja, aku memang belum fasih berbahasa Jawa. Maka dari itu, perlahan aku mulai belajar bahasa Jawa juga.

Sampai akhirnya mereka paham dengan resepku, pada 2014 produksi awal dimulai, dan produksi dilakukan di rumahku (homemade). Di sela-sela waktu, terkadang aku sering berbagi dengan beberapa kawan yang memang mengonsumsi makanan organik. Makanya, banyak masukan dari kawan untuk membuat varian olahan apel organik selain selai. Mereka banyak yang meminta agar aku membuat cuka apel organik.

Selain tingginya permintaan, setelah kucari tahu, ternyata cuka apel memang sangat berkhasiat. Apa salahnya dicoba. Apalagi, kan, ketika selai ini sudah mulai masuk pasaran, aku bisa mengembangkan sayap ke varian olahan lainnya.

Di mana ada niat, pasti ada jalan. Itu benar-benar kualami. Selagi mereka memproduksi selai, aku pun mulai mencari racikan cuka apel. Pengalamanku mengolah selai sebelumnya membuatku hafal sifat dan tekstur apel. Jadi, aku paham bagaimana memperlakukan apel ini supaya mudah diolah.

Produksi pertama selai apel pun rampung. Dikemas dalam beberapa pack yang berisi dua belas kemasan per pack-nya, produk ini kunamai Cockwell Organics.

Pemasaran pun bisa dimulai. Tak sabar rasanya. Lalu, aku pun mulai mengirimnya ke beberapa toko makanan di sekitar Jawa Timur. Sisanya kujual melalui toko online.

Meski hanya tinggal menjualnya, ternyata beberapa kendala masih kutemui. Terutama karena ketidaktahuanku soal distribusi barang menjadi penyebab semua packaging selai apel rusak saat tiba di toko. Seharusnya sebelum diantar, kupesan dulu ke pihak toko agar ketika selai ini tiba, bisa langsung diletakkan di lemari pendingin. Ya, itu karena selai apelku tak menggunakan bahan pengawet.

Akibat kelalaianku saat itu, selai yang sudah tiba di toko berubah rasa menjadi asam. Bisa dibilang, penjualan pertamaku gagal total. Namun, aku banyak belajar dan terus berbenah dari kesalahan-kesalahanku. Pada distribusi selanjutnya sudah tak terulang lagi. Perlahan, konsumen mulai mengenal produkku. Awalnya, yang rutin mengonsumsi selai apel ini hanyalah penikmat olahan organik dan kawan-kawanku yang tergabung di dalam suatu komunitas. Namun kelamaan, orang biasa pun mulai banyak yang pesan. Karena dasarnya selai apel ini, kan, sehat ya.

Lancarnya penjualan selai apel diikuti dengan ditemukannya resep cuka apel yang sesuai harapan. Selama enam bulan aku membuat resep ini. Setelah ketemu, aku mulai mengajarkan para karyawanku soal resep cuka apel yang kubuat. Jadi sekali produksi mereka akan membuat dua olahan, yakni cuka dan selai apel. Perlu diketahui, selain memproduksi dan menjual, aku pun ikut mengonsumsi.

Untuk selai, aku tidak puas jika hanya berbahan dasar apel. Akhirnya, kuvariasikan ke dalam beberapa rasa: strawberry dan blueberry. Agar konsumen tak bosan dengan rasa yang itu-itu saja. Yang terpenting tidak menghilangkan sisi organik dalam produkku.

Begitu juga setelahnya. Lagi-lagi rasa penasaranku muncul. Termasuk keinginan membuat varian olahan apel lainnya. Aku juga berkaca pada diriku. Jika bisa, setiap mengonsumsi makanan, alangkah baiknya menyantap ragam olahan organik. Makanya, eksperimen baru pun dimulai. Akhirnya kuputuskan membuat granola apel organik. Semacam sereal untuk sarapan. Proses pembuatan kali ini tak sesulit produk-produk sebelumnya, karena aku sudah semakin paham dengan medan yang kujalani saat mengolah apel.

Tanggapan positif datang saat granola diujicobakan ke orang sekitar. Mereka suka dengan olahan baruku. Tanpa pikir panjang, produk baru ini langsung kuproduksi dan dipasarkan. Untuk yang terbaru, tahun 2017 ini aku juga memproduksi sabun muka cuka apel. Nah, kalau produk ini aku bekerja sama dengan produsen sabun di Jakarta untuk proses produksinya. 

Kini, empat tahun sudah aku berwiraswasta. Di balik semua usaha yang kurintis, aku bersyukur karena jalanku didukung penuh keluarga. Termasuk suami. Sebenarnya tujuanku merintis usaha olahan tumbuhan organik, selain aku adalah penikmat makanan organik, aku juga ingin agar warga Indonesia lebih sadar bahwa berbagai olahan organik lebih sehat dikonsumsi dibanding olahan biasa pada umumnya.

Bagaimana dengan Anda?

Bagus Septiawan

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar