Ethan Zohn Pejuang Kanker


Saat jadi pesepakbola terkenal Ethan Zohn kerap keliling dunia untuk bertanding. Kini, ia masih keliling dunia, bahkan "bermain" di lapangan yang lebih mulia.

Ethan Zhon yang sehat, prima, bahagia, dan enerjik, lengkap dengan rambut ikal tebal yang menjadi ciri khasnya. Ia lewatkan masa mudanya bermain di sejumlah klub sepakbola. Tak hanya di kompetisi kelas Afrika, macam di Highlanders Football Club di Zimbabwe. Tapi ia pun berkelana hingga main di United Soccer Leagues di Amerika Serikat.

Layaknya atlet, begitu fisik tak lagi prima, ia pun surut dari arena internasional. Hingga ia terdampar main di komunitas lokal Zimbabwe.

Tapi ternyata, Ethan kembali bersinar. Satu hari ia mengikuti sebuah acara reality show di TV, Survivor: Africa. Di acara itu ia melawan kontestan lainnya untuk bertahan hidup di alam bebas, dan menang. Sebagai juara ia diganjar dengan hadiah 1 juta USD. Namun, uang sebanyak itu tak sepeser pun digunakannya. Sebaliknya, aku sumbangkan seluruhnya untuk Grassroot Soccer, sebuah organisasi non profit di Zimbabwe yang memobilisasi komunitas sepakbola untuk memerangi epidemi HIV yang marak terjadi di Afrika.

Ethan terjangkit HIV?

Ini pengakuannya:

Berawal dari gatal di kulit.

Tiba-tiba, matahari yang biasanya hadir dalam hidupku mendadak redup di tahun 2009. Saat itu tubuhku terasa begitu gatal dan terus-menerus berkeringat di malam hari. Semua jenis obat telah kucoba, mulai bedak, salep, gel, krim, hingga berbagai pil dan tablet. Tapi tak satu pun yang membuahkan hasil.

Sadar akan kondisiku yang semakin parah, aku pun mengunjungi dokter. Bak tersambar petir di siang bolong, dokter menyatakan aku menderita kanker ganas yang langka, yaitu kanker Hodgkin's Lymphoma, stadium 2 B.

Kata dokter, ia menemukan adanya kelenjar getah bening yang telah membengkak di bagian bawah klavikula kiriku. Ketika dilakukan pemeriksaan melalui CT Scan pun tampak jelas adanya tumor seukuran buah mangga di bagian mediastinum atau rongga antara paru-paru.

Mendengar penjelasannya saat itu, rasanya hidup runtuh sudah.

Aku pun teringat akan kematian yang merenggut ayahku tercinta. Aaron Zhon. Belasan tahun lalu, ayahku meninggal dunia lantaran menderita kanker usus besar. Saat itu, gelombang ketakutan segera memenuhi benakku. Apakah aku akan bernasib sama?

Bagai Roller Coaster

Sesuai petunjuk dokter, aku pasrah menjalani berbagai pengobatan. Saat itu, aku menjalani 14 jenis kemoterapi yang berbeda, serta 22 kali radiasi dalam waktu tiga bulan. Bagiku, itu adalah masa-masa yang sangat menyakitkan, menakutkan, sekaligus mengerikan. Tubuhku pun perlahan-lahan menunjukkan penolakan. Sekian hari aku tak bisa menerima makanan dan tak bisa tidur di kala malam.

Satu yang paling membuatku sedih adalah saat melihat rambut ikal tebalku pelan-pelan rontok. Rasanya aku benar-benar kehilangan kebahagiaan dan masa mudaku.

Aku pun mengumpulkan tekad untuk melawan. Aku tak mau dikuasai penyakit karena tubuh ini adalah milikku sendiri. Sebelum diminta dokter, aku langsung mencukur rambutku sendiri hingga plontos. Ya, kepala botak juga keren, begitu menurutku.

Dokter menawariku menjalani pengobatan selanjutnya, yaitu transplantasi sel punca autologus yang menggunakan sel punca dari dalam tubuhku sendiri. Aku ingat betul, dokter menjanjikan kesembuhan total untukku. Benar saja, usai menjalani transplantasi, aku dinyatakan 100 persen sembuh!

Aku pun kembali tersenyum, menjalani hari seperti dahulu kala. Tapi kebahagiaanku tak berlangsung lama. Dua puluh minggu usai dinyatakan sembuh, sel kanker itu kembali lagi. Rasanya seperti ditinju tepat di muka. Semua usaha dan doa yang telah kulakukan selama ini ternyata sia-sia saja. Batinku, aku tak lagi punya pilihan selain menanti ajal menjemput.

Di tengah keputusasaan, dokter tempatku dirawat mengumumkan adanya terobosan baru yang diharapkan bisa menyembuhkan kanker. Nama obat itu adalah Adcetris (Brentuximab vedotin). Aku pun setuju untuk menjadi salah satu pasien pertama di dunia yang mencobanya.

Obat itu ternyata ajaib. Ia berhasil menyelamatkan nyawaku. Tak lama, aku dinyatakan remisi dan bisa menjalani transplantasi sel punca untuk yang kedua kalinya, kali ini menggunakan sel punca dari tubuh kakakku, Lee Zhon.

Saat itu, aku harus menjalani perawatan intensif di sebuah ruangan steril tanpa seorang pun menemani. Ibaratnya seluruh isi tubuhku dikuras dan diganti dengan yang baru.

Puji Tuhan, akhirnya aku benar-benar terbebas dari kanker.

Selamatkan Banyak Orang

Di tengah pengobatan, aku menyempatkan diri membuat video dan tulisan untuk mendokumentasikan hari-hari perjuanganku melawan kanker dan memuatnya di media sosial. Saat itu, sulit bagiku untuk melakukannya, karena melihat kondisi fisik dan mentalku yang terus-menurun.

Tapi, ada sebuah pesan yang membuat hatiku tergugah. Seseorang di luar sana mengaku punya gejala gatal-gatal yang sama. Berkat tulisanku, ia pun berani memeriksakan diri ke dokter dan dinyatakan kanker limfoma. Untungnya, stadiumnya masih begitu dini, sehingga nyawanya pun terselamatkan.

Melihat pesan itu, semangatku semakin membara. Aku bertekad, jika aku nanti dinyatakan sembuh, maka aku ingin membantu banyak orang sebisaku. Niatku pun terlaksana. Berawal dari berbagai kegiatan kemanusiaan di Amerika, aku membagikan pengalaman hidupku sebagai seorang survivor kanker. 

Sedikit demi sedikit, aku mulai menjadi pembicara di berbagai seminar dan acara kesehatan di Amerika. Meski harus beribu-ribu kali membicarakan masa kelam dalam hidupku, aku tak pernah bosan. Karena tujuanku hanya satu, ingin bisa membantu dan menyelamatkan lebih banyak orang. 

Kini, didampingi istriku tercinta, Lisa Heywood, aku pergi ke berbagai negara untuk menyemangati dan menginspirasi banyak orang agar tak mudah menyerah dan selalu bertekad untuk sembuh. Bagiku, tak ada yang lebih indah daripada semangat hidup yang berkobar di mata para penderita kanker. Dan aku akan terus berdiri di sini, di hadapan semua orang, untuk mencegah kobaran semangat itu padam.

Wida Citra Dewi

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar