Rumah Kemanusiaan bagi Anak "Hydrochepalus"
Jovita (4) tertidur di balik gendongan ibunya saat menanti peresmian sebuah rumah yang dipakai untuk menampung anak penderita hydrocephalus seperti dirinya. Di sudut ruangan itu tampak pula belasan anak terbaring tidak berdaya dengan kepala membesar dua kali daripada ukuran normal.
Wisma Kasih Bunda yang digagas perancang busana Anne Avantie beserta belasan relawan seperti menjadi oase bagi anak penderita hydrocephalus. Mereka sebagian besar berasal dari keluarga kurang mampu dari segala penjuru Tanah Air.
Berbekal informasi dari rumah sakit atau kabar dari orang lain, mereka mendatangi Wisma Kasih Bunda di Sanggung, Kota Semarang, Jawa Tengah. Rumah sederhana itu awalnya dikontrak. Setelah melewati 14 tahun akhirnya diresmikan dengan fasilitas lebih baik. Peresmiannya pun berlangsung sederhana, menghadirkan pejuang kemanusiaan dan puluhan anak hydrocephalus.
Tetamu, seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Uskup Agung Semarang Mgr Pujasumarta, KH Nuril Arifin Husein (Gus Nuril) dari Pondok Pesantren Soko Tunggal, dan pengusaha jamu Irwan Hidayat, tampak hadir, pekan lalu. Sementara Bekti Wisnutomo, seorang guru SMP yang anaknya menderita hydrocephalus, mengisahkan awal mula Wisma Kasih Bunda itu berdiri.
"Saya ingin ada ruang bertemu karena sebagian orangtua awalnya malu memiliki anak yang menderita hydrocephalus," katanya. Menurut Bekti, melalui rumah itu nantinya orangtua dapat saling menguatkan serta berbagi mengenai penyakit dan cara pengobatannya. Harapannya, solusi terbaik pun bisa ditemukan.
Keinginan itu baru terwujud setelah Bekti bertemu Anne Avantie yang terjun langsung membantu perawatan anak penderita hydrocephalus. Selama 14 tahun berjalan, Wisma Kasih Bunda telah membantu sekitar 950 anak untuk mendapatkan layanan medis di sejumlah rumah sakit.
Gunung es
Kasus hydrocephalus di Indonesia seperti gunung es karena sebagian besar tidak tertangani dan tidak diketahui. Hydrocephalus bisa disebabkan virus toksoplasma dalam tubuh ibu saat hamil atau kekurangan vitamin yang dibutuhkan janin.
Jovita pada usia 35 hari telah menjalani operasi guna menyedot cairan cerebrospinal dari otak dialihkan ke bagian tubuh lain yang masih bisa menyerapnya. Winaryo dan Vitri, orangtuanya, menyadari adanya kelainan saat Jovita masih empat bulan dalam kandungan.
Biaya operasi yang mencapai Rp 30 juta sulit terjangkau tanpa uluran tangan relawan kemanusiaan. Anne Avantie mengatakan, sebagian besar pasien datang dari luar Jawa, seperti, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. "Dengan segala keterbatasan yang kami miliki, kami ingin pemerintah memperhatikan bukan semata-mata hanya biaya, melainkan melihat keadaan di daerah yang terus terjadi lonjakan penderita," katanya.
Minimnya subsidi dari pemerintah, seperti biaya operasi dan obat-obatan, membuat relawan Wisma Kasih Bunda mengupayakan secara swadaya dari donatur yang tergerak untuk membantu. Anne Avantie mengatakan, obat yang diperoleh semua dengan harga standar, ruang operasi, dan kamar di rumah sakit selama 75 hari.
"Kami sering mendapatkan anak yang kondisisnya telah parah, penyakitnya tidak tunggal, dan kurang gizi," katanya. Situasi itu membuat mereka harus memiliki prioritas dalam penanganan sebelum dirujuk ke rumah sakit.
Perjalanan panjang itu juga melahirkan jiwa kemanusiaan dari perawat hingga dokter yang menangani pasien di Wisma Kasih Bunda. Salah satunya, dokter ahli bedah saraf, Amanullah, yang sejak awal turut menangani penderita hydrocephalus. Ia kerja tanpa dibayar.