Rumah Sakit Sang Pelanggar HAM
Di negeri yang penuh absurditas, banyak hal yang tak normal dianggap lumrah. Tak mengejutkan, seorang pasien yang sudah sekarat dan butuh pertolongan disambut ucapan "UGD penuh." Kalaupun UGD tak penuh, ini baru permulaan masalah. Pasien atau keluarganya akan dihadang pertanyaan berikutnya sebelum bisa masuk ruang rawat inap, apalagi ICU/ICCU. "Apakah Anda bisa deposit uang sebesar minimal Rp 15 juta?" Lalu, "Punya asuransi kesehatan?"
Hal serupa dihadapi pasien yang mau ke ruang rawat inap. "Mau kamar kelas berapa?" Namun, 'filter' yang dibuat dari petugas informasi segera membatasi keluarga pasien untuk memilih kamar yang murah. Di banyak rumah sakit, bukan kebetulan, kamar yang bertarif murah, seperti kelas dua dan tiga, sulit diperoleh. Orang terpaksa memilih kamar kelas satu atau VIP, jika ingin mendapat pelayanan lebih baik.
Adalah hal manusiawi, setiap orang ingin mendapatkan kamar yang layak. Tapi, kemampuan kantong mereka pada akhirnya akan menentukan nasib masing-masing. Pasien yang mampu akan memperoleh peluang untuk hidup dan perawatan yang lebih menjanjikan. Sebaliknya, yang tak mampu, harus cepat cari utang, atau tak bisa meneruskan perawatan di rumah sakit.
Pelanggaran HAM
Gambaran berikutnya tentang kondisi pelayanan rumah sakit memperlihatkan rumah sakit sebagai pelanggar HAM berat. Mengapa? Sebab rumah sakit, termasuk dokter dan para perawatnya, telah mengabaikan eksistensi dasarnya menyediakan pelayanan kesehatan menolong orang-orang sakit. Mereka kini telah beralih peran sebagai perpanjangan tangan kaum kapitalis, karena tak lagi mengedepankan tugas kemanusiaan.
Uang deposit dalam jumlah besar telah menjadi prasyarat orang untuk mendapat perawatan dan diobati secara layak di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta Pusat misalnya, untuk bisa masuk ruang perawatan di kelas tiga, pasien harus mendepositkan Rp 4 juta, kelas dua Rp 5 juta, dan kelas satu Rp 6 juta. Untuk di atasnya, yakni VIP dan super VIP masing-masing Rp 9 juta dan Rp 10 juta.
Tarif sewa kamar rawat inap per hari menyerupai sewa kamar hotel berbintang. Untuk kelas satu minimal Rp 400 ribu, VIP Rp 850 ribu, dan super VIP Rp 1 juta lebih, sedangkan untuk ruang UGD (emergency), untuk sehari pasien harus mengeluarkan biaya Rp 3 juta lebih.
Bisa dibayangkan, bagaimana bisa masyarakat yang daya konsumsinya di bawah Rp 20 ribu sehari, yang mencapai lebih 100 juta dari total penduduk Indonesia, mendapatkan haknya memperoleh perawatan kesehatan dari rumah sakit, apalagi untuk pelayanan sama dengan yang diperoleh mereka yang mampu mengonsumsi di atas garis kemiskinan itu.
Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi, jika berbagai endemik ataupun pandemik, seperti flu burung (avian flu), terjadi di Indonesia? Dapat diestimasikan, banyak penduduk akan (segera) mati karena tidak tertangani oleh fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai. Dalam kasus flu burung, the worst scenario ini bukanlah hal yang mengada-ada, sebab setengah dari wilayah Indonesia dilaporkan sudah terkena penyebaran wabah penyakit tersebut.
Padahal, akses ke pelayanan kesehatan untuk mendapat perawatan yang layak adalah hak asasi setiap warga negara yang harus dipenuhi, dan telah menjadi salah satu sasaran global dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang ditetapkan PBB. Ironis sekali, di tengah-tengah gencarnya kampanye pencapaian MDGs, banyak orang yang ditolak di rumah sakit pemerintah, termasuk RSUP yang besar dan lengkap fasilitasnya, karena alasan kelangkaan kamar dan biaya.
Jadi bagaimana tak bisa, rumah sakit dikategorikan sebagai pelanggar HAM berat? Sebab, akibat responsnya yang demikian itu, terlebih dengan berbagai masalah di bawah ini, nyawa manusia dalam jumlah besar, mayoritas masyarakat Indonesia yang miskin, dibiarkan mati dengan sengaja karena tak terobati. Sedangkan hak untuk hidup dan sehat adalah hak dasar manusia yang harus dipenuhi karena dilindungi berbagai konvensi internasional.
Rendah akuntabilitas
Memiliki uang deposit dan bisa pesan kamar rawat inap tak berarti si sakit akan memperoleh perawatan layak. Sebab, pelayanan di ICU dan VIP sekalipun, sangat terbatas. Pasien harus membayar biaya penggunaan peralatan lain, seperti respirator dengan sewa minimal Rp 1 juta sehari. Ini belum termasuk penggunaan alat untuk membantu fungsi ginjal, jantung, infus, dan oksigen bagi yang mengalami komplikasi.
Banyak orang tak menyadari bahwa setiap penggunaan kapas sepotong kecil pun akan dikenai biaya. Terlebih untuk kunjungan dokter dan setiap tindakan medis yang diambil, baik yang bersifat ringan - seperti biopsi cairan, USG, endoskopi, pembersihan slem dari paru-paru dan cuci darah - maupun berat, seperti bedah dan operasi.
Kondisi peralatan rumah sakit yang tak terpelihara bisa mengurangi, bahkan menggagalkan, upaya memperoleh hasil diagnosis dan pengobatan akurat. Di sebuah rumah sakit khusus kanker dijumpai kasus perbedaan hasil pendeteksian lewat alat (USG) yang terlalu sering dipakai dengan diagnosis dokter mengenai besarnya perkembangan tumor seseorang pasien. Sering kali dianggap sepele bahwa perbedaan pendeteksian lewat alat itu sangat menentukan nasib pasien, apakah ia harus dioperasi atau tidak. Ini tak hanya persoalan uang, tapi masa depan dan nyawa pasien.
Di sebuah rumah sakit jantung terkenal, seorang pasien mengeluh karena dokter sulit ditemui walau ia telah datang dari luar kota dan dua hari di sana. Dilaporkan, dokter lebih suka mengunjungi pasien di kelas eksekutif daripada kelas biasa.
Walau sang pasien telah pindah rumah sakit, keluarganya punya keluhan di rumah sakit baru. Karena, dokter tak jelas datangnya, sibuk menghadiri seminar, dan tak fokus kerjanya akibat nyambi di beberapa rumah sakit bayangkan saja, seorang dokter spesialis bisa menangani 40-60 pasien dalam setengah hari di sebuah poliklinik rumah sakit. Sehingga, bagi pasien komplikasi, sulit diambil tindakan secepatnya, apalagi akurat, akibat sulitnya koordinasi antardokter.
Padahal, untuk setiap kunjungan, walau cuma beberapa menit, untuk kontrol bisa tanpa tindakan medis, dokter, apalagi yang bergelar profesor, harus dibayar ratusan ribu. Sedangkan keluarga pasien tak bisa banyak bertanya, walau sudah dikenai bayaran mahal untuk beberapa dokter sekaligus, karena para dokter enggan memberikan waktu dan merespons mereka. Padahal, mendapatkan informasi juga merupakan hak dasar manusia yang dilindungi berbagai konvensi internasional.
Sementara itu, karena sering berhubungan dengan detailer, yang seharusnya dilarang, resep obat yang sangat diingat dokter adalah yang sering dianjurkan detailer. Sehingga, dokter cenderung mengajukan resep mahal dan berharap pada komisi. Mereka jadi malas mengingat-ingat nama obat generik yang banyak jenisnya dan dulu menjadi hafalan kuliah. Malangnya, potongan Askes sering tak berlaku untuk obat mahal. Jika yang membeli rumah sakit, perbedaan harga bisa mencapai jutaan ketimbang di apotik luar.
Pasien dan keluarganya masih harus menghadapi dokter dan perawat yang tak bekerja profesional dan kurang empati. Jangan harap akan ada kemurahan hati dari dokter. Sebab, mereka yang sudah berpenghasilan banyak dari praktiknya itu tak rela menyediakan sedikit pun kesempatan bagi pasien yang tak mampu untuk bisa membayar melalui penggunaan Askes pegawai negeri.
Di sini rumah sakit cenderung memperlihatkan dirinya sebagai ranah praktik kapitalisme dengan akuntabilitas rendah. Gambaran itu tampak pula di rumah sakit yang berbasis agama. Indonesia harus malu, sebab di negara yang dituding komunis, seperti Kuba, seluruh rakyat berhak memperoleh pelayanan rumah sakit yang maksimal dan gratis.
Walau GNP penduduk Kuba cuma US$ 30, jangan kaget, banyak fasilitas rumah sakitnya yang sekelas RS Pondok Indah. Juga, pada kondisi darurat dokter pun bisa dipanggil pasien atau keluarganya. Jika menolak, ia dihukum pemerintah.
Poltak Partogi Nainggolan, Mahasiswa program doktoral Universitaet Freiburg, Jerman