Erlin, Peneliti Khasiat Lidah Buaya
Di keluarganya, sejak kecil dirinya dijuluki penyakitan karena daya tahan tubuhnya yang lemah dan mudah sakit. Tekanan darah yang cenderung selalu di bawah normal, mudah masuk angin dan terkena influenza hingga gangguan pencernaan.
Seringnya mengonsumsi obat membuat dirinya malah mengidap alergi terhadap beberapa jenis obat. Karena jenuh dengan kondisinya itu, Erlin Nurtiyani (46) kemudian mencari-cari suplemen alami berbahan baku nabati.
Hingga suatu saat, awal tahun 1990-an, dia menemukan produk kesehatan impor dari Amerika Serikat berupa ekstrak cairan lidah buaya (Aloe vera). Harganya terbilang mahal, sekitar Rp 500.000 untuk 500 mililiter.
"Saya heran, lidah buaya yang di sini tanamannya berserakan di mana-mana bisa jadi produk kesehatan untuk diminum seperti itu," ujar Erlin yang tujuh tahun terakhir meneliti dan mengembangkan produk kesehatan berbahan lidah buaya.
Sebagai peneliti dan pengajar di Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (UI), Erlin tergerak meneliti lebih lanjut segala hal mengenai lidah buaya. Sejak tahun 1998 Erlin intensif meneliti khasiat lidah buaya bagi kesehatan tubuh.
Padahal, sejak tahun 1750 sebelum Masehi, orang Samaria telah memanfaatkan tananam itu sebagai bahan baku di bidang farmasi. Suku Indian kuno di Meksiko juga telah mengenal sejak lama khasiat lidah buaya. Jika dikonsumsi secara kontinu, dapat membersihkan organ-organ tubuh.
Zat pahit
Asal mula lidah buaya diduga dari Kepulauan Canary, barat Afrika. Nama Aloe vera sendiri berasal dari bahasa Arab "aloeh", yang artinya zat pahit yang mengilap. Tanaman ini masuk ke Indonesia karena dibawa petani China pada abad ke-17. Salah satu jenis tanaman lidah buaya yang unggul di Indonesia adalah jenis yang tumbuh di Pontianak, Kalimantan Barat, yaitu A vera barbadensis dan A vera sinensis.
Menurut Erlin, pemanfaatan dan eksplorasi lidah buaya di Indonesia masih jauh tertinggal di bandingkan negara-negara Barat yang mendatangkan lidah buaya dari Afrika serta negara tropis lainnya. Di Barat, lidah buaya digunakan untuk bahan kosmetik dan produk makanan-minuman. Sebagai suplemen kesehatan, lidah buaya juga dijadikan cairan ekstrak, kapsul, hingga tepung.
Lidah buaya, menurut Erlin, dapat bermanfaat sebagai antijamur, antibakteri, anti-inflamasi, dan regenerasi sel, selain menurunkan kadar gula darah penderita diabetes, mengontrol tekanan darah, mengatasi gangguan hati, menstimulasi kekebalan tubuh terhadap serangan kanker serta bermanfaat sebagai nutrisi pendukung bagi pengidap HIV/AIDS. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencantumkan lidah buaya dalam daftar tanaman obat yang menjadi prioritas.
Dari penelitian serta studi literatur yang dilakukannya, Erlin akhirnya berusaha membuat produk olahan lidah buaya yang bisa dikonsumsi dengan nyaman. Erlin mencari cara pemrosesan yang memungkinkan kandungan nutrisi penting lidah buaya tetap maksimal, namun rasa pahit lendir lidah buaya (dari zat aloin) tidak lagi terasa. Akhirnya, sejak awal tahun 2000 Erlin berhasil membuat produk minuman yang disebut Kavera.
"Bahan bakunya lidah buaya jenis barbadensis yang kini saya peroleh dari petani Bogor, Parung, Banten, hingga Semarang. Semua tanaman itu harus ditanam organik (tanpa bubuk kimia dan pestisida-Red)," tutur Erlin.
Lidah buaya, disebutkan Erlin, kaya akan nutrisi, terutama mukopolisakarida (MPS), senyawa kompleks karbohidrat yang dibangun ribuan molekul gula manosa, galaktosa, dan glukosa. Keunikannya, MPS mempunyai rantai gula panjang dan tidak dapat dipecah atau terpecah, masuk ke dalam aliran darah atau membran sel dengan proses pinositosis. Sebab itu, lidah buaya dapat menyokong sistem kekebalan tubuh.
Rumah tangga
Kavera yang diproduksinya kini masih dalam skala rumah tangga dan dilakukan di Kampus UI. Dengan kapasitas produksi 7.000 gelas/botol per bulan. Kavera telah memenuhi permintaan dari berbagai daerah. Erlin mengatakan, dia baru bisa memproduksi Kavera dengan proses panas, melalui cara tradisional, tanpa teknologi. Namun, MPS dan sejumlah mineral dapat diperoleh maksimal.
"Sebenarnya dengan proses dingin akan lebih ideal karena nutrisi berbagai asam amino dan vitamin bisa diperoleh, namun itu butuh teknologi yang tidak murah" ujarnya.
Beberapa waktu lalu, peneliti asal Perancis juga meminta bantuannya untuk meneliti limbah lidah buaya, yaitu kulitnya yang ternyata bermanfaat untuk makanan larva lalat, berprotein tinggi sebagai makanan ikan. Erlin belakangan juga membuat limbah kulit lidah buaya menjadi suplemen kapsul, yang sejauh ini hanya untuk konsumsi pribadi dan juga dicobakan pada ibunya, Rukmini (78), yang bermanfaat mendatangkan kebugaran.
Erlin mengaku sangat menyayangkan pengolah lidah buaya di Indonesia yang jauh tertinggal, bahkan mengimpor produk olahan dari Amerika dan Australia dalam bentuk bubuk dan gel sebagai bahan baku, misalnya pada industri kosmetik. Erlin mengaku kerap menerima keluhan petani lidah buaya yang kebingungan memasarkan hasil panennya.
"Lidah buaya yang mudah tumbuh berserakan di Indonesia ini seharusnya bisa menjadi sumber daya alam unggulan kita. Sayang belum banyak yang serius meliriknya," ujar Erlin.
