Optimalkan Penanganan Anak dengan Autisma. Sosialisasi kepada Masyarakat Perlu Ditingkatkan

JAKRTA, KOMPAS - kerja sama semua pihak diperlukan untuk memastikan tumbuh kembang anak dengan gangguan spektrum autisma. Kepedulian terhadap anak dengan gangguan spektrum autisma saja tidak cukup. Mereka harus diterima di masyarakat agar potensinya berkembang dengan optimal.

Perawatan dan pembinaan tak sebatas terapi, tetapi mencakup sektor pendidikan akademik, karakter, dan kemampuan untuk mandiri saat berusia dewasa.

"Saat anak dengan autisma kecil, intervensi berkisar kesehatan seperti pengobatan, terapi fisik, kejiwaan, dan perilaku. Saat tumbuh remaja, mereka butuh pendidikan dan keterampilan untuk bekerja," kata Ketua Yayasan Autisma Indonesia Melly Budhiman dalam Forum Diskusi Kesehatan yang diprakarsai harian Kompas bersama Rumah Sakit Siloam, bertema "Kenali dan Optimalkan Tumbuh Kembang Anak Autisma," di Jakarta, Rabu (3/5). Acara itu disiarkan langsung Radio Sonora. 

Hal itu membutuhkan kerja sama semua sektor, mulai dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. "Butuh pusat-pusat layanan autisma spesifik melayani pengobatan terapi, dan riset," kata Melly yang juga dokter spesialis kedokteran jiwa.

Ciri-ciri anak dengan autisma antara lain ada gangguan interaksi sosial, sulit berkomunikasi dua arah, dan perilaku berulang. Namun, menurut dokter spesialis kedokteran jiwa dari RS Siloam Eva Suryani, anak dengan ciri-ciri itu tidak otomatis didiagnosa memiliki gangguan spektrum autisma.

"Ada serangkaian pemeriksaan fisik, psikis, dan saraf. Orangtua, guru, dan pengasuh harus diwawancara demi mendapat gambaran perilaku kesehatan anak di berbagai kondisi," ujarnya.

Melly menjelaskan, yang bisa mendiagnosis anak mengalami gangguan spektrum autisma ialah dokter spesialis anak, dokter spesialis kejiwaan, dokter spesialis saraf, dan psikolog. Terapis perilaku, wicara, dan fisik, serta guru bukan pakar kesehatan yang bisa mendiagnosis anak dengan autisma. Mereka  mengenali ciri-ciri anak dengan kemungkinan autisma, tetapi harus merujuk orangtua untuk menemui pakar kesehatan yang secara profesional menangani kasus autisma.

Hapus stigma

Melly menekankan pentingnya sosialisasi kepada masyarakat tentang autisma. Stigma pada anak dengan autisma harus dipatahkan agar mereka tak mengalami perundungan dan bisa bertumbuh kembang dengan baik.

Eva menambahkan, banyak orangtua berhenti membawa anak ke dokter karena malu mendapat stigma memiliki anak dengan gangguan jiwa. Bahkan, ada orangtua menghentikan pengobatan kepada anak karena tidak mau orang lain melihat anaknya terus mengonsumsi obat.

"Setiap obat yang diresepkan dokter ditakar porsinya sesuai kebutuhan. Ada obat penenang emosi dan ada yang membuat anak tak hiperaktif," kata Eva. Tugas dokter ialah menjelaskan kepada orangtua soal efek samping obat dan agar orangtua berkomunikasi dengan dokter terkait perkembangan anak.

Anak dengan autisma butuh perhatian di berbagai aspek kehidupan," Jika terapi dihentikan, mereka justru tak bisa tumbuh kembang optimal," kata Eva.  

Yulianty Sitompul, penanggung jawab akademik Sekolah Khusus Individu Autisma Mandiga, mengingatkan agar orangtua melatih keterampilan dasar anak di rumah. Contohnya, kemampuan ke kamar mandi, makan, dan tak lari-lari di tempat umum. Ini butuh pembiasaan sehari-hari. "Jangan selalu memberi keinginan anak. Lebih baik ransang anak untuk mengutarakan keinginan," ujarnya. 

Anak dengan autisma umumnya distigma antisosial. Menurut Eva, mereka ingin kontak dengan orang lain, tetapi tak tahu cara mengekspresikan kemauan. "Buka peluang anak berinteraksi sosial dan ajak mereka belajar berekspresi," ucapnya. (DNE) 

Forum Diskusi Kesehatan bertema "Kenali dan Optimalkan Tumbuh Kembang Anak Autisma" yang diselenggarakan atas kerja sama harian Kompas dan Rumah Sakit Siloam digelar di Tanamera Cuisine, Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (3/5). Pembicara dalam diskusi ini (dari kiri ke kanan) Yulianty Sitompul (Penanggung Jawab Akademik Sekolah Khusus Individu Autisma Mandiga), Eva Suryani (spesialis kedokteran jiwa dari RS Siloam), serta Melly Budhiman (Ketua Yayasan Autisma Indonesia), dengan moderator Evy Rachmawati dari harian Kompas dan Tasya dari Radio Sonora.      

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar