Perokok Berat Tanda Skizofrenia?
Anda ingin jadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 mendatang? Siapkan kesehatan Anda dengan mengurangi rokok, kalau kebetulan Anda memang seorang perokok berat. Pasalnya, kebiasaan buruk merokok bisa mengganjal impian seseorang untuk duduk nikmat di kursi legislatif.
Lho, apa hubungan antara merokok dan menjadi anggota legislatif? Jelas ada. Paling tidak korelasi itu bisa dilihat dari pengalaman sejumlah calon anggota legislatif (caleg) yang gagal diloloskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum lama ini.
Tatkala publik dikejutkan dengan kasus caleg yang menggunakan ijazah palsu, di Jawa Tengah justru muncul kasus aneh yang lebih mengejutkan. Bermula dari bocornya hasil general check-up sejumlah caleg di RSU Boyolali.
Publik jadi tahu bahwa banyak caleg yang berpenyakit jiwa. Sebelum mengupasnya lebih dalam lagi, coba bayangkan kalau anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berisikan mereka yang berpenyakit jiwa. Tentu jalannya pemerintahan ini juga menjadi nggak beres, sebab pemerintahan dikontrol oleh mereka yang 'berpenyakit jiwa'.
Skizofrenia dan antisosial
Dari 500 caleg yang diperiksa kesehatannya di rumah sakit tersebut, diketahui bahwa 24 orang dicurigai dan tujuh orang dipastikan terkena penyakit jiwa, skizofrenia dan antisosial.
Para caleg itu bukan saja berasal dari Boyolali, tetapi juga dari Salatiga, Sukoharjo hingga Kendal. Nasib ketujuh caleg itu dicoret oleh KPU di daerah pencalonan mereka.
Sirnalah impian untuk menjadi legislatif yang memperoleh berbagai tunjangan, rumah dinas, uang sidang, uang jas, mesin cuci dan bahkan pesangon ketika habis masa baktinya. Lantas, apa hubungan antara rokok dan skizofrenia (schizophrenia)?
Begini, sebuah simposium tentang skizofrenia yang diselenggarakan di Yogyakarta belum lama ini menggaris tebal adanya keterkaitan perilaku merokok dan penyakit kejiwaan itu.
Yayi Suryo Prabandari, seorang pembicara pada simposium itu, mengemukakan perokok berat yang menghabiskan lebih dari satu bungkus rokok sehari, kini bukan saja diindikasikan sebagai 'calon' penderita kanker, jantung atau paru-paru. Ada indikasi lain, dia bisa saja menderita skizofrenia.
Hal itu, kata Yayi, didasarkan atas penelitian yang menemukan banyak kasus skizofrenia punya kebiasaan merokok dalam jumlah banyak alias perokok berat.
Namun, bukan berarti setiap perokok berpotensi berpenyakit skizofrenia. Bukan sebab akibat, tetapi lebih kepada fungsi rokok yang memberikan efek penenang berkat senyawa yang di kandungnya.
Cukup menderita
Simposium itu juga mengungkapkan penderita skizofrenia di Indonesia cukup banyak, yakni sekitar dua juta orang atau 1% dari jumlah penduduk.
Mereka jelas sangat menderita, terutama karena adanya sikap masyarakat yang keliru terhadap penderita penyakit kejiwaan ini. Sikap keliru itu antara lain penolakan dari masyarakat.
Kenyataannya tidak sedikit dari anggota masyarakat yang beranggapan skizofrenia berbahaya bagi lingkungan, tak dapat disembuhkan, segala yang dibicarakan tak bermutu, tak bisa kerja, tidak bertanggung jawab, dan yang paling mengerikan; menular!
Karena muncul anggapan-anggapan seperti itu, sebagian masyarakat berkeyakinan bahwa mengucilkan penderita skizofrenia merupakan pilihan terbaik.
Bukan itu saja, disebutkan pula penderita skizofrenia tak layak untuk menikah! Itulah yang digolongkan oleh Aris Sudiyanto, pembicara lain dalam simposium itu, sebagai khidupan buruk penderita skizofrenia.
Masih ada dua pola kehidupan lain, yakni kehidupan biasa dan kehidupan baik. Apa yang dimaksudkan kehidupan biasa? Menurut Aris, penderita didampingi keluarga untuk rajin berobat.
Keluarga macam ini menjadi penyeimbang porsi kegiatan dan emosi sehingga tak perlu terjadi letupan saat kambuh.
Sedang yang digolongkan kehidupan baik adalah penderita bisa diterima masyarakat, malah tak sedikit yang kehidupannya di atas rata-rata.
Hal itu disebabkan kelebihan atau kemampuan untuk 'membaca' apa yang bakal terjadi, sehingga masyarakat menyebutnya sebagai 'orang pintar'. Ada juga penderita yang eksentrik dan justru malah dijadikan sebagai pelindung spiritual. Mereka inilah yang bakal bernasib baik karena rezeki mengalir dari para 'klien'.
Barangkali yang patut diketahui adalah gejala skizofrenia agar mudah memberikan perlakuan kepada penderita.
Aris menyebutkan ada beberapa gejala. Misalnya, gejala patognomonik, yakni setiap tanda yang ditemukan pada skizofrenia bisa didapati pada gangguan psikiatrik atau neurologik.
Kemudian gejala pramorbid, yaitu mereka sebelum sakit mempunyai gangguan kepribadian, seperti pendiam, pasif, introvert, menghindari dari teman, suka menonton film sendiri dan kegiatan asosial.
Ada pula kepribadian paranoid yang ditandai ketidakpercayaan atau kecurigaan berlebihan kepada orang di sekelilingnya.
Ia senantiasa diikuti perasaan takut ditipu, diperlakukan buruk dan akhirnya susah untuk menerima kebaikan orang lain.
Gejala berikutnya, kata Aris, prodormal berupa perilaku cemas, gelisah, merasa diteror, dan kerap mengeluh nyeri pada bagian punggung, sakit kepala, dan problem pencernaan. "Keluarga selayaknya mencermati gejala-gejala itu," katanya.
Namun, lagi-lagi dia mengingatkan bila dijumpai gejala dimaksud bukan berarti seterusnya disisihkan atau malah dikucilkan. Penderita butuh dukungan keluarga untuk menyembuhkannya.
Seorang ayah memberikan pengakuannya di depan peserta simposium begini: "Anak saya perempuan dulu juga penderita skizofrenia. Kenyataannya sekarang hidup layak. Dia menikah, dia bekerja, dan dia berprestasi," ujarnya.
Sang ayah secara sabar merawat anak perempuannya. Dia mendampingi si anak berobat, dia menghadapi dengan kesabaran saat anaknya kambuh dan tetap mengalirkan kasih sayangnya tanpa henti.
Tapi yang lebih penting dari itu semua, sebelum gejala skizofrenia dan antisosial muncul menyerang, ada baiknya mempertimbangkan untuk secepatnya berhenti merokok. (k7)
Catatan: Merokok bisa menyebabkan skizofrenia.