Habis Operasi Bisa Makan dan Duduk

Kepada NOVA dr. Setyo Widi Nugroho, SpBS, ketua Tim Operasi kedua pasien mengatakan, tindakan bedah otak dengan bius lokal sudah lazim dilakukan di Eropa dan Amerika. "Namun menurut saya, di Indonesia baru pertama kali. Kasus pertama dilakukan Kamis (11/12) pada pasien Suparto, sedangkan yang kedua pada pasien Reza yang pelaksanaan operasi, Sabtu (13/12)."

Lebih lanjut Setyo menjelaskan, "Salah satu pilihan utama kenapa kita memilih operasi dengan teknik neuro surgery  ini adalah karena letak kelainannya itu berada pada fungsi-fungsi yang sangat penting untuk kehidupan kita. Misalnya, fungsi bicara dan fungsi motorik menggerakkan anggota badan, atau sering disebut elequen area. Suparto pada pusat bicara (area broca), sedangkan Reza pada daerah motorik sebelah kanan."

Gejalanya, ujar Setyo  muncul pada anggota badan yang persarafannya berasal dari kelainan elequen area tadi. "Pasien Reza, misalnya mengalami gangguan sakit kepala cronic chepalgy (sakit kepala yang semakin lama bertambah berat), selain kelemahan anggota gerak."

Melalui pemeriksaan dengan MRI (Magnetic Resonance Imaging) oleh dokter saraf, ternyata ditemukan tumor. Dari segi lokasi bersemayamnya tumor merupakan daerah berbahaya. "Kami takut pasien tak lama lagi lumpuh. Sekarang bagaimana mengambilnya. Satu-satunya pilihan yang baik dan paling ideal adalah dengan awake surgery tadi."

Tentang pelaksanaan operasi, Setyo menjelaskan, "Setelah kita buka pembungkus otaknya, kemudian kita rangsang daerah-daerah otak tersebut dengan rangsangan listrik tertentu. Kemarin ternyata berfungsi semua termasuk pada area broca pusat bicara tadi. Nah, pada saat daerah tersebut kita rangsang, pasien kita suruh menghitung 1 sampai 10. Sambil dia menghitung, kita mencari daerah yang tidak berpengaruh semua, berarti daerah tumornya itu boleh diambil."

Bedanya dengan bius total, menurut Setyo, tidak bisa tahu bagaimana reaksi saraf. Akibatnya, tidak jarang setelah bius dihentikan tahu-tahu pasiennya malah mengalami kelumpuhan. "Ini kan berbahaya sekali. Nah, dengan cara ini kita melangkah setapak maju. Untuk kasus semacam ini sebaiknya menggunakan awake surgery," kata staf pengajar Universitas Padjajaran ini.

Setelah operasi berjalan sukses, ujar Setyo, kelak tim dokter akan mengembangkan cara ini untuk operasi-operasi yang sifatnya ke arah fungsional. Misalnya pada kasus epilepsi atau kejang-kejang. Kendati demikian, pemanfaatan teknologi awake surgery masih memiliki keterbatasan. Salah satunya, "Operasi ini sebaiknya dikerjakan tidak lebih dari empat jam. Ini berkaitan dengan kenyamanan pasien, untuk mengurangi risiko pasien stres. Kalau operasi sampai delapan jam, misalnya, pasien biasanya merasa tidak nyaman."

Namun di sisi lain, dengan awake surgery ini, biaya yang diperlukan jauh lebih murah. "Pasien juga tidak memerlukan perawatan ICU. Soalnya habis operasi, layaknya bangun tidur, dia bisa makan dan duduk."

Pasien hanya merasa nyeri, biasanya terjadi pada saat pemasangan head rest. Soalnya, pada kepalanya dipasang semacam paku agar kepalanya tidak bergerak selama berlangsungnya operasi. Pada saat itulah pasien diberikan obat antinyeri. Inilah yang kita sebut dengan bius dalam waktu singkat. Kemudian irisan kulit, kan, menyebabkan nyeri. Itu diberi obat anestesi khusus sehingga dia tidak merasa nyeri selama lebih dari empat jam."

Dengan awake surgery, jelas Setyo, pasien perlu dipersiapkan sedemikian rupa. "Harus dimengerti tidak setiap orang tahan berada dalam kamar operasi selama berjam-jam. Ingat ini bedah otak, kepala dibor, tumornya dipotong. Bagi sebagian orang, ini merupakan tindakan yang mengerikan."

Tumpak

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar