Ketika Anakku Divonis Kanker Darah

PANIK! Begitulah kiranya kata yang tepat untuk melukiskan perasaan Kartika, 30, seorang ibu rumah tangga, tatkala mengetahui putra tercintanya positif menderita leukemia. Dunia seakan hendak runtuh saat sang dokter di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (RSCM) menyatakan hasil final diagnosis atas penyakit anaknya. 

Sang buah hati yang ketika itu belum lagi genap berusia 6 tahun ternyata harus menanggung beban teramat berat. Sebelumnya, menurut Kartika, anaknya, Ario Falah, tidak pernah terlihat sakit berat.

Awalnya, pada suatu hari di pertengahan September 1990, anaknya tampak batuk-batuk, tetapi ketika diperiksa, hanya disebut sebagai akibat alergi. Tidak lama berselang, setelah berenang di beberapa bagian tubuh Ario terlihat lebam dengan bercak kebiruan seakan telah terbentur sesuatu.

Kendati demikian, ujar Kartika, dirinya belum menyadari jika si mungil telah terkena leukemia. Kepanikan itu bermula ketika sang anak semakin terlihat cepat bertambah lelah, tidak bernafsu makan sehingga berat badannya susut delapan kilogram dalam waktu dua minggu. "Juga disertai keluar darah dari hidung, suhu tubuhnya meninggi."

Baru kemudian, setelah diperiksakan ke dokter dan menjalani tes darah, Ario dirujuk untuk diperiksa sumsum tulang belakang pada bagian hematologi anak.

Bagai tersambar petir ketika Kartika mendengar vonis dokter. Sampai terbayang dalam benak kartika, leukemia yang dikenalnya sebagai kanker darah akan merenggut kebahagiaan dan anugerah tercintanya. "Namun saya terus bertawakal dan mencari sebanyak mungkin informasi," tuturnya.

Semangat dan kasih sayang sebagai orangtua memang tidak pernah luntur. Mulai detik itulah, hidup menjadi berubah baginya, perhatian bagi sang anak menjadi fokus utamanya. 

Hampir semua buku yang terkait dengan soal kanker habis dilahapnya. Semua sumber informasi bagi upaya penyembuhan Ario terus diburu, termasuk menjalin komunikasi intensif dengan dokter yang merawat. "Penyembuhan bukan sekadar hasil, tetapi suatu proses," ujarnya.

Namun, untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Ketika itu, dokter mengatakan belum semua pengobatan bisa dilakukan di Indonesia, lantaran belum memadainya peralatan dan obat-obatan.

Upaya pengobatan

Dengan ditangani tim dokter kanker anak. Kartika menyerahkan sepenuhnya pengobatan bagi si kecil. Memang waktu yang diperlukan tidak sebentar, protokol (jadwal) dalam teknik penyembuhan kanker dilakukan secara kontinu dalam dua tahun, meliputi berbagai macam treatment (penanganan), seperti kemoterapi (dengan zat kimia), sitostatika (obat antikanker), dan radiasi (penyinaran).

"Tidak tega saya melihat dia terus diinfus dan disuntik," ucapnya. Rambut Ario pun, seiring kemudian rontok akibat efek kemoterapi.

Selama masa maintenance yang telah dilewati sekitar delapan bulan, muncul kecurigaan dari dokter yang menangani. Indikasi tersebut dicium gelagatnya akibat dalam tempo sebulan berat badan Ario justru naik, empat kilogram dan mulai muntah-muntah. 

Dalam pemeriksaan bone marrow puncture (BMP) (sumsum tulang belakang), ternyata tidak ditemukan sel kanker. Justru ketika diambil sampel cairan yang ke otak, di tempat itu sudah penuh berisi sel kanker. "Tim dokter menyerah, karena sudah menjalar sampai ke otak," imbuhnya.

Maka mau tidak mau, demi sang buah hati tercinta, Kartika dan keluarganya sepakat untuk membawa si anak berobat ke negeri Belanda. "Kami melakukan musyawarah keluarga dan semua memberi support bagi kesehatan Ario, " kenangnya. 

Mekanisme dalam pengobatan yang dijalani pun dimulai dari tahapan awal kembali, dengan susunan jadwal hingga kurun satu tahun. Rutinitas yang dilalui dirinya selama berada di negeri Oranye tersebut adalah menunggu, berharap, dan berdoa.

Sebenarnya, jelas dia, semua prosedur yang dijalani serupa, yang membedakan adalah penambahan mix high dosage (kemoterapi dosis tinggi yang sangat berisiko). Tidak semua dokter dapat melakukan dengan sempurna menakar komposisi seimbang sesuai kebutuhan pasien.

Kebiasaan yang dilakukan dokter, ingatnya, membaringkan Ario dengan posisi kaki lebih tinggi dari kepala dan memberi infus lebih dari tiga botol. "Dia sering muntah sebagai respons atas obat," tuturnya.

Atur pola makan

Untuk urusan makanan, sebagai pola asupan bergizi yang diberikan pada sang anak, Kartika mengatakan dirinya menyiapkan berbagai menu yang memiliki kadar gizi tinggi.  

Semua makanan tersebut, terang dia, harus disesuaikan dengan kesukaan si kecil. Aneka buah dan sayur, lanjutnya, seperti wortel, bayam, apel, dan bit merah dijus  lalu ditambah dengan gula agar terasa manis sesuai selera anaknya. "Pokokya dibikin agar dia suka."

Siasat lain, tambahnya, ialah memberi hadiah tiap kali anaknya menjalani prosesi pengobatan. "Hadiahnya, dipilih sendiri sama dia."

Setelah setahun perawatan, maka pada 1992 semuanya selesai. Ario pun dinyatakan sehat seperti semula. Tetapi, Kartika tetap membawa si anak guna check up berkala agar tidak terjadi leukemia susulan. Yang terutama sambungnya, dalam membesarkan jiwa buah hatinya adalah tidak bersikap putus asa. Kini Ario beranjak dewasa, usianya menginjak 20 tahun, serta menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. (Yudhi H/V-2)

PENDERITA LEUKEMIA: Seorang wanita India sedang menyuapi anaknya, Rohit Prasad, 7, yang menderita kanker darah di rumah sakit kanker di bagian timur Kota Kalkuta, beberapa waktu lalu. Lebih dari 10 juta orang menderita kanker setiap tahunnya di seluruh dunia. Menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) diperkirakan 5 juta kasus baru masih akan bertambah pada 2020. WHO memprediksi kanker akan menyebabkan 6 juta orang meninggal setiap tahunnya atau 12% dari kematian di dunia.     

   

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar