Tekanan Mental Jadi "Pandemi" Terselubung

Pandemi Covid 19 tak hanya merenggut ribuan nyawa. Wabah ini juga menjadi biang keladi memburuknya kesehatan mental masyarakat Indonesia. 

Memburuknya situasi kesehatan mental di Indonesia di masa pandemi Covid-19 tecermin dari hasil jajak pendapat kompas yang diadakan akhir September 2021. Berdasarkan jajak pendapat ini, separuh responden mengaku merasa tertekan atau stres selama masa pandemi. Bahkan, seperempat di antaranya mengaku sering atau sangat tertekan satu setengah tahun terakhir ini.

Tekanan terbesar muncul dari situasi ekonomi. Hilangnya pekerjaan, berkurang atau hilangnya penghasilan, atau pun bisnis yang gulung tikar membuat lebih dari separuh responden merasa tertekan. Tekanan ekonomi terindikasi bersifat sistemik. Tekanan pada perusahaan atau pelaku usaha mengalir ke pegawai. Itu terlihat dari tekanan kerja, seperti tuntutan dari tempat bekerja bertambah, jadi stresor kedua (14,41 persen) terbesar setelah tekanan ekonomi.

Selain itu, tekanan sosial pun muncul. Itu tampak dari indikator tekanan sosial yang proporsinya tertinggi setelah tekanan ekonomi dan pekerjaan. Setidaknya 12 persen responden tertekan akibat kehilangan momen bersama teman dan saudara akibat pembatasan sosial selama pandemi. Sekitar 5 persen responden mengatakan stres akibat kehilangan anggota keluarga atau tekanan lain bersumber dari keluarga mereka.

Hasil jajak pendapat ini selaras dengan temuan dari lembaga komunitas kesehatan jiwa orang muda. Into the Light, yang melakukan survei pada sekitar 5.000 responden di Indonesia, Mei-Juni lalu. Ada  98 persen partisipan merasa kesepian sebulan terakhir. Bahkan, 40 persen responden memiliki pemikiran untuk menyakiti diri sendiri, bahkan bunuh diri, dua minggu terakhir.

Jalur spiritual

Secara umum, masyarakat Indonesia religius. Dimensi ini kian kental terasa saat melihat cara masyarakat menghadapi tekanan hidup. Hasil jajak pendapat menunjukkan, mayoritas warga memilih jalur spiritual lebih dari separuh responden pasrah dan berdoa saat mengalami tekanan selama pandemi ini.

Selain berdoa, mencari hiburan untuk mengalihkan pikiran dari tekanan paling kerap dilakukan responden. Seperlima dari mereka mengaku mencari hiburan, seperti menonton film, saat menghadapi tekanan hidup. Warga pun berkeluh kesah pada kerabat (6,65 persen) dan  menenangkan diri (6,58 persen) saat tertekan.

Sayangnya, konsultasi ke ahli, seperti psikolog dan psikiater, kurang diminati warga saat tertekan. Hasil survei menunjukkan, hanya 1,64 persen responden berinisiatif datang ke ahli guna membantu menghadapi tekanan. Jadi, dari 100 orang, tak sampai dua orang mau minta bantuan ke ahli.

Rendahnya kesadaran publik akan pentingnya konsultasi ini sejalan dengan sulitnya akses untuk konsultasi ke ahli. Sebab, banyak orang mau berkonsultasi kepada ahli. Merujuk hasil jajak pendapat, lebih dari sepertiga masyarakat  mau berkonsultasi kepada ahli saat merasa mengalami gangguan mental jika gratis dan mudah diakses. Angka ini berkurang hingga 15 persen jika aksesnya tidak mudah atau tidak gratis. 

Alasan ini paling berpengaruh pada keputusan warga konsultasi kepada ahli. Lebih dari seperempat responden jajak pendapat mengakui alasan utama tak datang ke ahli karena sulit diakses dan mahal. Ada warga yang khawatir mengalami stigma jika berkonsultasi dengan ahli kesehatan jiwa. Seperlima dari responden mengaku alasan utama enggan minta bantuan ahli ialah malu.

Stigmatisasi penyandang gangguan mental di tengah tekanan hidup di masa pandemi jadi pertanda isu kesehatan mental belum mendapat perhatian serius. Hal ini selaras dengan hasil jajak pendapat yang menunjukkan mayoritas reponden memandang itu kesehatan mental belum mendapat perhatian serius.  Hal ini selaras dengan hasil jajak pendapat yang menunjukkan mayoritas responden memandang isu kesehatan mental belum mendapat perhatian serius. 

Minimnya perhatian ini juga tecermin dari minimnya fasilitas kesehatan mental yang disediakan pemerintah. Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, hanya sejumlah provinsi punya puskesmas yang memberi layanan kesehatan jiwa dan rumah sakit jiwa.

Hal ini merenggut hak warga mendapat layanan kesehatan jiwa. Selain membangun fasilitas, pemerintah perlu mendengungkan pentingnya pemahaman kesehatan mental demi menghapus stigma dan agar gangguan kesehatan mental tak berdampak sistemik, seperti bunuh diri dan penurunan produktivitas kerja. 

RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS  

Saat pandemi ini, apa yang biasa Anda lakukan ketika merasa tertekan?  

1. Kosultasi ke ahli (psikolog/psikiater) 1,6%.

2. Berdiam dan menenangkan diri 6,6%.

3. Berkeluh kesah kepada teman atau sahabat 6,7%.

4. Mencari hiburan (menonton film, mendengarkan musik) 20,3%.

5. Lainnya 12,0%.

6. Tidak tahu 1,5%.

7. Pasrah, berdoa kepada Tuhan 51,4%.

Apabila mengalami persoalan mental, apakah Anda mau untuk melakukan konsultasi dengan ahli?

1. Ya, asal mudah/gratis 35,5%.

2. Ya, meski sulit dan membayar 15,5%.

3. Tidak karena enggan/malu 19,1%.

4. Tidak, karena jauh/sulit dijangkau/repot 27,7%.

5. Tidak tahu 2,5%.

Metode penelitian: Pengumpulan pendapat melalui telepon ini dilakukan oleh Litbang Kompas pada 21-24 September 2021. Sebanyak 503 responden berusia minimal 17 tahun dari 34 provinsi diwawancara secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi. Menggunakan metode ini pada tingkat kepercayaan 95 persen, nirpencuplikan penelitian + - 4,37 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana. Meskipun demikian, kesalahan di luar pencuplikan sampel dimungkinkan terjadi. Sumber: Litbang Kompas/RFC/TYR/ RGA  



Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar