"Self-Diagnosis"

Praktisi kesehatan mental mengamati kecenderungan baru yang muncul beberapa tahun belakangan ini. Tentang bagaimana orang di media sosial menampilkan cerita dan diagnosis mereka tentang diri sendiri. Atau bagaimana klien datang dan bertanya: "Tolong saya didiagnosis apakah betul saya borderline?" Orang menjuluki diri "depresi", mengalami "gangguan kepribadian borderline", dan istilah lain yang sebelumnya beredar amat terbatas di kalangan profesional kesehatan mental.

Memang era internet membuat semua terbuka selebar-lebarnya. Buku-buku pedoman penggolongan gangguan jiwa dengan mudah diakses dan jika kita membuka Google serta mengetik kata kunci, misalnya, "depresi", akan langsung dapat dibaca dengan rinci kriteria diagnosisnya.

Apakah menetapkan diagnosis bagi diri sendiri bermanfaat? Sebenarnya hal tersebut lebih banyak risiko daripada keuntungan atau manfaatnya.   

Ketika memfokus pada diagnosis diri, kita akan cenderung memberikan perhatian pada yang negatif dan yang negatif terlalu cepat diberi label sebagai gangguan. Padahal, sesekali mengalami kesedihan, sulit tidur, kebingungan, atau naik turun emosi itu wajar dan manusiawi. Apalagi jika ada peristiwa yang mencetuskan atau berperan terhadap kondisi negatif tersebut.

Pelabelan

Belum tentu seorang individu memang dapat atau tepat didiagnosis tersebut, tetapi ia terlanjur memercayai label yang diberikannya kepada diri sendiri. Ketika label itu diyakini, akan ada perasaan waswas, waspada, atau khawatir untuk melibatkan diri dalam suatu aktivitas tertentu.

Bisa juga sebaliknya, ada sikap "apatis" atau "masa bodoh" karena pembenaran, "kan, aku memang mengalami gangguan". Lalu, individu secara sepihak menuntut lingkungan untuk memahami dan menerima perilakunya, tanpa ia juga mencoba memahami berbagai kesulitan yang dipahami oleh orang-orang lain.

Kesibukan mencari tanda-tanda klinis dari diri sendiri juga dapat membuat individu sensitif berlebihan pada sesuatu yang tidak perlu terlalu dipersoalkan. Misalnya, seorang klien bertanya, "Mengapa kalau saya merasa gatal, misalnya di kaki lalu saya menggaruk kaki, terus rasa gatalnya berpindah ke perut? Terus punggung jadi gatal juga? Itu normal tidak?"

Diagnosis lebih merupakan alat bantu untuk memperjelas tindakan-tindakan selanjutnya yang perlu diambil oleh psikiater atau psikolog, khususnya ketika individu sudah menunjukkan gejala gangguan jiwa yang serius. Apabila demikian halnya, psikolog jadi mengerti apa yang akan dilakukan.

Sebagai contoh, akan lebih efektif memberikan konseling kepada keluarga tentang bagaimana membantu klien, sementara klien dirujuk agar ditangani lebih dulu oleh psikiater. Sementara psikiater juga paham, jika diperlukan, obat apa yang sesuai bagi kebutuhan pasien untuk menstabilkan bagi dirinya.

Justru karena hal di atas, profesional kesehatan mental tidak gegabah menetapkan diagnosis, apalagi membahasnya secara terbuka di depan umum.

Bukan "toxic positivity"

Sibuk mendiagnosis diri tidak membantu menemukan solusi malahan menimbulkan ketakutan dan afirmasi negatif mengenai keadaan diri. Yang menjadi pusat perhatian adalah "status" atau "kondisi", yang sudah dilabel "sakit", bukan hal-hal yang berperan terhadap munculnya kondisi tersebut. Bukan tentang hal-hal yang perlu dilakukan untuk memperbaiki keadaan.

Ketika kita mengalami kondisi tidak nyaman atau tidak menyenangkan secara psikologis, yang lebih baik dilakukan adalah mengambil sikap tenang dan bertanya: "Apa saja, ya, yang kurasakan? Kira-kira mengapa aku seperti ini? Apakah ada situasi lingkungan yang berperan? Apakah aku terlalu tertekan dengan pekerjaan? Mungkin saya terlalu tertekan dengan tugas-tugas kuliah yang bertumpuk?"

Kita perlu memahami diri yang sedang dalam situasi tidak ideal, misal, dalam kesulitan keuangan, kewalahan karena tumpukan pekerjaan atau tugas kuliah sampai mengalami sulit tidur, atau masih terkejut dan sangat sedih karena putusnya suatu hubungan yang berarti.

Kita kemudia perlu memberi waktu pada diri sendiri untuk mengelola situasi sulit tersebut. Apabila dapat sejenak beristirahat, itu akan baik. Bila berlibur sejenak atau cuti sangat sulit dilakukan, kita dapat berdiskusi dengan teman kerja atau orang dekat mengenai bagaimana mengelola situasi yang ada. Misalnya, sebagian tugas dapat diambil alih teman lain atau kita mengurangi sikap "perfeksionis" dalam menyelesaikan tugas.

Perlu kita perhatikan, terlalu sibuk mencari-cari yang negatif akan membuat kita lupa mengenai berbagai hal yang positif. Padahal, kemungkinan besar, dan pada umumnya, ada banyak hal positif dari diri sendiri ataupun lingkungan kita. Bila itu dapat kita sadari, dengan sendirinya situasi yang terasa amat gelap dan mencemaskan dapat berganti lebih cerah. Ada suasana yang menenangkan dan terang yang membuka pikiran mengenai alternatif atau jalan keluar.

Saat ini ada istilah baru yang cukup sering disebut, yakni toxic positivity. Menunjuk pada pesan-pesan yang naif, berlebihan, dan menggeneralisasi bahwa siapa pun dapat hidup bahagia dan semua masalah dapat diselesaikan. Bahwa semua dapat dan harus optimistis, semangat dan gembira sepanjang waktu. Bahwa jika tidak demikian ada kesalahan pada si individu itu sendiri.

Toxic positivity adalah lawan dari self-diagnosis yang dua-duanya lebih banyak merugikan. Toxic positivity mengingkari kenyataan dan meremehkan situasi bahwa manusia memang kadang menghadapi situasi sangat sulit dan karena itu merasa sakit, terluka, gamang, dan kehilangan rasa berdaya.

Toxic positivity dan self-diagnosis tidak diperlukan. Yang dibutuhkan adalah memahami dan menerima kesulitan diri sebagai situasi sementara yang akan dapat diatasi. Tetap mengambil perspektif positif di tengah kondisi tidak ideal untuk menenangkan diri dan memudahkan otak bekerja mencari  penyelesaian.

Kristi Poewandari

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar