Bahaya Eufemisme
Istilah eufemisme dibentuk berdasarkan dua kata Yunani, awalan eu-'baik' dan kata phemi 'mengatakan, berbicara'. Karena itu, maksud eufemisme ialah 'mengatakan sesuatu dengan cara halus'. Mengungkapkan apa yang mau dikatakan itu dengan cara langsung dan terus terang dianggap terlalu kasar. Belum lama ini saya baca dalam suatu media berbahasa Inggris kalimat pendek yang merupakan contoh bagus. Dikatakan: postal servies in Indoesia are far from perfect (pelayanan pos di Indonesia jauh dari sempurna). Sebenarnya maksudnya ialah "pelayanan pos di Indonesia sangat jelek". Namun, mengatakan hal itu langsung dan terus terang dinilai terlalu kasar. Dipilihlah suatu cara lebih halus, tetapi untuk orang yang mau mengerti cukup jelas.
Sering eufemisme tampak juga pada taraf penggunaan istilah atau kata. Kata yang secara langsung menunjukkan sesuatu dinilai terlalu kasar, maka dipilihlah kata lebih halus. Contohnya kata cacat dalam arti cacat badan. Anak cacat menjadi anak berkebutuhan khusus. Ada juga kata difabel menjadi sebagai alternatif untuk cacat. Difabel berasal dari kata Inggris diffabled (different abilities) yang mengganti kata biasa untuk cacat, disabled yang memang bisa dimengerti sebagai tidak punya ability apa pun. Dengan kata difabel mau ditunjukkan bahwa penyandang cacat (misal yang lumpuh, hingga tidak bisa berjalan) masih punya banyak kemampuan lain yang patut dihargai juga. Untuk memperhalus beberapa bentuk cacat dapat dipakai awalan tuna-, seperti tunanetra, tunarungu, atau tunagrahita. Dengan demikian, bahasa Indonesia punya banyak cara untuk menyembunyikan nada kasar dari kata cacat. Tentu saja kita bisa meragukan lagi apakah kata "kasar' itu sendiri benar-benar kasar sehingga tidak pantas dipakai, tetapi rupanya sekurang-kurangnya dirasakan begitu dalam masyarakat kita. Awalan tuna- itu ternyata bermanfaat untuk menciptakan eufemisme sebab ada juga kata seperti tunawisma, tunakarya, tuna-aksara, dan lain-lain. Kata-kata itu jelas lebih halus kedengarannya daripada gelandangan, pengangguran, buta huruf.
Namun, jika kita begitu rajin membentuk eufemisme, perlu kita sadari pula bahwa kerajinan itu disertai bahaya. Bahayanya ialah sesudah memperhalus ungkapan yang dianggap kasar itu, kita pikirkan, tugas kita sudah selesai. Padahal, upaya memernis ungkapan yang tidak bagus itu sama sekali tidak efektif. Tidak ada sesuatu pun yang berubah karenanya. Dan justru hal itu yang penting. Kita harus mengusahakan tempat tinggal yang layak bagi tunawisma, kesempatan kerja bagi tunakarya, pengajaran bagi tuna-aksara. Kita harus berusaha agar fasilitas umum dapat dimasuki juga oleh penyandang cacat yang pakai kursi roda. Kita, bukan sebagai individu, tetapi sebagai masyarakat. Sebagai individu kita tidak berdaya, tetapi kita harus mendukung usaha masyarakat. Namun, akhirnya masyarakat, dan konkritnya negara, hanya mampu bila para individu ikut serta. Minimal kita melakukan hal itu dengan membayar pajak pada waktunya, tetapi bisa juga dengan secara aktif mendukung policy itu bila direncanakan oleh pemerintah lokal atau nasional.
K. Bertens, Guru Besar Emeritus Unika Atma Jaya, Jakarta