Menyemai Toleransi lewat Pengasuhan
Mimpi tentang negara yang damai dan toleran terhadap keberagaman bisa dicapai jika calon penghuninya, yaitu anak-anak, disiapkan menjadi pribadi yang toleran pula. Orangtua berperan besar untuk mendidik mereka soal toleransi.
Bayi, anak balita, hingga anak usia sekolah menyerap informasi dengan sederhana. Mereka mengamati intonasi suara, mimik muka, perilaku, hingga kata-kata yang diucapkan orang dewasa. Hal itu terekam dalam pikiran anak, dimaknai secara sederhana, lalu menjadi bibit perilaku mereka ketika dewasa.
Mudahnya, perilaku negatif orang dewasa akan diduplikasi oleh anak-anak, begitu juga perilaku positif. "Kalau mau mengajari anak tentang toleransi atau pluralisme, jangan hanya mengatakan tapi lakukan. (Perilaku) lebih mudah diobservasi. Anak-anak butuh role model," kata psikolog klinis anak dan remaja Arijani Lasmawati, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (6/8/2021).
Menurut dia, pengasuhan berbasis toleransi bisa diajarkan sesuai tahap perkembangan anak. Untuk anak balita yang belum memahami konsep abstrak, misalnya toleransi bisa diajarkan secara konkret, secara sederhana.
Contohnya, menyapa tetangga yang beragam, mengirim makanan ke tetangga pada hari raya, dan bergaul dengan semua orang. Tidak berkata buruk tentang orang yang berbeda etnis dan agama pun termasuk pendidikan toleransi.
Sebaliknya, respons negatif orang dewasa terhadap keberagaman akan dimaknai negatif juga. Anak-anak akan berpikir, orang yang berbeda etnis, agama, atau bahkan yang berbeda pendapat patut dimusuhi. Keluarga menjadi lini pertama untuk menumbuhkan toleransi di masyarakat.
"Saat mau menyebarkan nilai-nilai toleransi ke orang muda, orang dewasa harus menjadi pribadi yang toleran dulu," ucap Arijani.
Narasi intoleransi
Pengasuhan berbasis toleransi penting karena narasi intoleransi masih ditemukan di keluarga. Menurut riset Bhineka Kultura Nusantara, ada sejumlah akun media sosial yang memproduksi narasi pengasuhan yang eksklusif dan diskriminatif. Studi ini dilakukan pada Juni 2020-Juni 2021 terhadap 37 akun media sosial yang umumnya lekat dengan unsur agama.
Dari 9472 baris percakapan yang dianalisis dengan mesin social network analysis (SNA), ditemukan 3 kata kunci tentang pengasuhan dengan enam asosiasi makna yang melekat padanya. Kata kunci tersebut ialah orangtua, pasangan, anak, suami, istri, bunda, ayah, nikah, keluarga, laki-laki, dan perempuan.
"Kami menyimpulkan dua narasi utama yang muncul, yaitu 'masuk surga sekeluarga' dan 'bangun peradaban Islam'," kata peneliti riset itu, Irma Rahmayuni.
Menurut dia, dua narasi itu secara tak langsung mengancam prinsip dan nilai demokrasi yang menekankan kesetaraan, keadilan, dan kemerdekaan individu. Narasi itu dinilai eksklusif, diskriminatif, dan melanggengkan kekerasan.
Sementara itu, perwakilan Indonesia di The Asia Foundation, Sandra Hamid, berpendapat bahwa pendidikan toleransi memerlukan pemahaman tentang manusia terlebih dulu. Ini karena kompeksitas manusia tidak bisa dikelompokkan secara hitam dan putih. Kemampuan melihat dan memahami spektrum manusia yang abu-abu jadi modal penting toleransi. (SKA)