Asma Mitos vs Fakta
ASMA BRONKIAL, ATAU 'Asma' saja atau 'bengek', sudah sangat kita kenal. Namun, selama ini pengetahuan tentang asma masih terbatas pada gejalanya. Seperti sesak napas, sakit di dada, batuk berdahak, serta napas berbunyi.
Padahal, asma tidak bisa disepelekan. Walau bukan tergolong penyakit mematikan, jika kambuh, penyakit ini cukup berbahaya. Menurut penelitian yang dilakukan Asihma Uk, sepertiga penderita asma berisiko tinggi mengalami serangan asma yang cukup fatal.
Prof. dr. Hadiarto, Sp.P(K), FCCP, dokter spesialis paru-paru sekaligus pendiri Rumah Sakit Asri, Jakarta, mengajak kita mengenal asma secara mendalam, sekaligus menghindari mitos asma selama ini.
Mitos 1. Obat asma hirup (inhaler) dapat membuat kecanduan.
Fakta: Tidak membuat kecanduan. Justru pengembangan obat asma dalam bentuk aerosol yang pemakaiannya menggunakan alat inhaler ini merupakan kemajuan terpenting dalam pengobatan asma.
Dulu, obat asma harus diminum atau disuntikkan. Dalam jangka panjang hal itu dapat mengakibatkan efek samping, seperti darah tinggi, penyakit gula, tulang keropos, dan lain sebagainya. "Dengan penggunaan inhaler efek samping tersebut dapat dihindari. Obat pun bekerja langsung pada sasaran, yaitu saluran napas, sehingga tidak menyebar ke mana-mana," jelas dr. Hadiarto.
Dosis yang diberikan juga lebih kecil, yaitu 1/20 dosis minum, sehingga efek samping lebih rendah. Biasanya, pengguna hanya akan mengalami seriawan, jika tidak berkumur setelah pemakaian. "Yang juga masih menjadi salah kaprah, inhaler disebut sebagai obat asma. padahal, inhaler hanyalah alat yang mewadahi obat asma," ungkap dr. Hadiarto.
Mitos 2. Anak penderita asma pasti juga menderita asma.
Fakta: Meski sebagian besar asma bersifat genetis, masih ada kemungkinan anak dari orangtua penderita asma tidak menderita asma. Asma merupakan salah satu bentuk alergi. sifat alergilah yang diturunkan orangtua kepada anaknya, dan bukan penyakit asma itu sendiri. Karena itu, bisa saja orangtuanya 'hanya' alergi obat, sedangkan anaknya menderit asma.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, menyebutkan, bila salah satu dari orangtua seorang anak menderita asma, maka risiko anak tersebut mengidap asma tiga kali lebih besar daripada orang lain yang orangtuanya tidak mengidap asma. Dan, apabila kedua orangtuanya menderita asma, maka risiko anak tersebut mengidap asma enam kali lebih besar.
Kebanyakan, asma timbul sejak kecil. Akan tetapi, dr. Hadiarto menjelaskan, selalu ada kemungkinan asma timbul di usia dewasa. "Jika asma baru muncul di usia dewasa, biasanya disebabkan oleh faktor eksternal, seperti kebiasaan merokok, bekerja di lingkungan yang mengandung debu atau polusi, dan lain sebagainya," jelasnya.
Mitos 3. Asma bisa disembuhkan.
Fakta: Asma adalah penyakit kronis yang dipicu oleh kelainan patologis genetis, sifat alergi yang menyebabkan asma tidak dapat terbebas 100% dari penyakitnya itu.
Akan tetapi, gejala asma bisa dikendalikan dengan menggunakan obat pengontrol secara teratur. Jika gejala asma sudah bisa dikontrol, penderita asma pun dapat beraktivitas seperti orang lain.
Namun, tetap saja, bila suatu saat ia terpapar faktor pencetus, serangan asma bisa terjadi lagi padanya. Karena itu, penderita asma harus menghindari faktor pencetus asma yang bisa berasal dari dalam dan luar tubuh, seperti rasa cemas berlebihan, stres, debu, udara dingin, bulu binatang, polusi udara, dan lain sebagainya.
Mitos 4. Sering ke pantai, baik untuk mengusir asma.
Fakta: Sering ke pantai memang dianggap baik untuk penderita asma, karena kadar oksigennya lebih tinggi daripada di dataran tinggi. Namun, sering ke pantai tidak bisa menyembuhkan. Udara pantai yang bersih hanya dapat membuat asma pada penderita asma berkurang. "Tapi, pantainya harus bersih dan tidak ada polusi udara. Kalau pantainya dekat daerah industri, tidak akan bermanfaat kata dr. Hadiarto.
Catatan: Asma vs Polusi Udara: Asma banyak ditemukan di negara maju. Tiga warga Inggris meninggal setiap harinya karena asma. Sementara, di Indonesia, jumlah penderita asma terus meningkat dalam 7 tahun terakhir. Salah satu pemicunya, kata dr. Hadiarto, adalah polusi asap buang kendaraan bermotor.
Saat udara kotor terisap, saluran pernapasan penderita asma meradang, membengkak, kemudian menyempit. Aliran oksigen pun terhambat. Bagi warga kota yang sarat polusi seperti Jakarta, terlebih yang memiliki bakat asma, dianjurkan untuk rutin berolahraga dan stop merokok untuk mencegah serangan asma.