Jangan Berhenti Beradaptasi
Don't Stop but Adopt. Entah mengapa kalimat pendek yang melintas di linimasa media sosial saya pada suatu pagi itu seperti mendorong saya menulis artikel ini. Sebuah kegairahan atau keresahan mungkin, ketika kita berhadapan dengan perubahan baru di depan mata. Satu atau dua bulan terakhir, kita semua merasakan tanda-tanda perubahan itu.
Era pandemi yang ditandai dengan berkurangnya berbagai kegiatan secara drastis dan diam "di rumah aja" berangsur reda. Kekhawatiran terhadap penularan Covid-19 seolah mulai pudar dengan munculnya lagi berbagai kegiatan yang dua tahun terakhir ketat dibatasi. Pusat perbelanjaan kembali ramai, mudik Lebaran sudah diperbolehkan, berbagai acara luring yang mengumpulkan massa mulai digelar. Bahkan, mahasiswa juga sudah mulai demo. Beberapa pihak juga sudah mulai berani menempelkan diksi "pascapandemi" dalam artikel di media mainstream.
Tanda-tanda perubahan itu sebenarnya sudah lebih dulu muncul di beberapa negara lain, sebelum kemudian terjadi juga di Indonesia. Bulan November tahun lalu, saya berkesempatan pergi ke dua konser musik yang memang sejak lama saya ingin nikmati. Konser Genesis, "The Last Domino?", di Chicago yang merupakan tur pertama mereka setelah 14 tahun absen dari konser Pat Metheny di New Jersey dalam rangka merilis album terbarunya, SIDE-EYE-NYC.
Konser Genesis di stadion, sedangkan Pat Metheny di sebuah hall tertutup. Dua-duanya penuh banget. Memang di konser Metheney yang diselenggarakan di dalam hall, waktu itu semua pengunjung memakai masker. Petugas juga banyak yang berjaga untuk mengingatkan orang-orang untuk mengenakan maskernya. Tapi, di konser Genesis, penggunaan masker sudah dibebaskan. Saya sendiri tetap berjaga-jaga dengan mengenakan masker waktu itu. Males aja kalau kejadian bawa-bawa virus ke Indonesia, kan?
Selang beberapa bulan, memasuki tahun 2022, perubahan itu akhirnya tiba juga di Indonesia. Sebagai musisi, saya bisa merasakan industri musik di Tanah Air seperti mulai menemukan gairah baru. Konser-konser musik mulai diselenggarakan, panggung-panggung didirikan, jadwal pergelaran ditetapkan, para pekerja yang terlibat di sekitar ini juga mulai kembali bekerja. Seperti dulu? Belum. Tentu masih banyak tahap adaptasi yang mesti dilalui.
Saya yakin bahwa semua ada waktunya. Ada saatnya kita masuk dalam sebuah krisis, Ada pula waktu kita keluar dari situasi itu, walau kita tidak tahu kapan tepatnya waktu tersebut. Haruki Murakami dalam Kafka on the Shore menulis," You won't even be sure, whether the storm is really over. But one thing is certain. When you come out of the storm, you won't be the same person who walked in. That's what this storm's all about".
Saya setuju. Pandemi sesungguhnya adalah tentang perubahan pada diri kita. Tentang bagaimana kita beradaptasi pada lingkungan yang terus-menerus berubah. Tidak hanya pandemi, tapi berbagai krisis yang pernah kita rasakan di hidup kita sebenarnya juga disediakan agar kemampuan adaptasi kita bertambah.
Beradaptasi dengan krisis
Pandemi Covid-19 yang kita semua rasakan bukan satu-satunya krisis. Saya masih ingat bagaimana berbagai krisis membentuk saya dan membentuk perjalanan hidup saya sebagai seorang musisi. Menurut saya, fase krisis yang paling tidak bisa dilupakan oleh seorang musisi adalah ketika ia memperjuangkan idealismenya dalam bermusik, sementara ia tidak punya apa-apa untuk mewujudkannya.
Saya sewaktu kecil kepincut pada permainan gitar sekelompok pekerja bangunan di dekat tempat tinggal saya di Klungkung Bali, tapi tidak punya uang. Saya terpaksa mencuri uang kakek. Gitar tanpa merek buatan Solo itu masih saya simpan hingga sekarang, sebagai pengingat awal perjalanan saya dalam bermusik. Saya terus berlatih dan beradaptasi.
Seorang musisi harus memiliki kemampuan adaptasi yang kuat. Bukan hanya dalm hal bermusik, melainkan juga dalam menyesuaikan diri dengan situasi industri. Di masa pandemi, banyak adaptasi yang saya lakukan. Mulai dari membuat album kolaborasi dengan beberapa musisi asing secara daring, konser virtual, sampai menjajaki penjualan token musik NFT dari komposisi Matahati, yang beberapa waktu lalu ternyata secara cepat terjual habis. Semua itu adalah tentang adaptasi.
Industri musik
Era Revolusi Industri 4.0 yang dampaknya dipercepat oleh pandemi Covid-19 selama dua tahun berturut-turut membuat semua lini di industri ini perlu bergegas menyesuaikan diri. Munculnya aplikasi musik streaming di kancah industri rekaman dan distribusi, misalnya, atau konser virtual dalam industri pergelaran menghadapkan semua pemain pada era baru. Era ketika kita mengenal konsep hibrida, daring dan luring.
Bagi musisi, selain soal memacu kreativitas bermusik, situasi ini mestinya menjadi dorongan besar untuk memahami berbagai aturan main di dalamnya. Tentunya ini akan terkait dengan hak cipta, yang harus diakui bahwa aturan tentang royalti dalam industri musik di Indonesia masih banyak kekurangannya. Jadi, situasinya sekarang, di saat aturan main di dunia luring saja masih belum jelas, kita sudah harus belajar aturan-aturan baru dalam dunia daring.
Tapi lagi-lagi, jawabannya adalah adaptasi. Insan musik harus mampu beradaptasi dengan berbagai situasi baru yang kini mungkin masih tidak menentu. Tapi saya yakin, apabila kita pelan-pelan menjalaninya, dari hari ke hari kita akan lebih paham dan berani. Waktu menjajagi penjualan token NFT Matahati, misalnya, saya sesungguhnya belum telalu mengerti aturan-aturan yang cukup njlimet. Tapi setelah menjalaninya, makin lama saya makin paham.
Memang biasanya dalam menghadapi situasi krisis, semua orang kelabakan termasuk pemerintah. Tidak mudah bagi siapa pun yang pada saat pandemi duduk di posisi pembuat aturan. Termasuk terkait izin kegiatan yang bersifat pergelaran bermunculannya konsep-konsep terobosan, seperti meleburkan konsep musik dengan industri pariwisata, dan juga keberpihakan kepada sektor-sektor usaha terkait penyelenggaraan konser, misalnya, memang menggembirakan dan menjanjikan. Namun, semua masih amat tergantung pada situasi pandemi.
Semua pihak mesti saling membantu dan menyokong. Konser luring masih amat penting bagi musisi karena tradisinya memang begitu, sehabis membuat album, lalu konser. Kebanyakan musisi masih menggantungkan hidupnya dari manggung, bukan dari album. Karena itu, banyak kawan musisi yang amat kesulitan di masa pandemi. Saya dan beberapa kawan lain juga menyelenggarakan semacam acara charity untuk para gitaris. Namun, hasilnya belum seperti yang diharapkan. Situasi memang sedang sulit bagi semua orang, terutama karena dihadapkan pada suasana ketidakpastian yang cukup panjang.
Semangat kita untuk mau terus belajar, mengasah kreativitas, dan beradaptasi dengan hal-hal baru, menurut saya, menjadi kunci. Dorongan dari pemerintah juga tentu dibutuhkan terutama dalam menegakkan aturan terkait hak cipta dan memberi kita suasana yang kondusif untuk terus berkarya. Sambil juga terus berharap dan berdoa agar penularan Covid-19 semakin reda. Kita belum tahu kapan pandemi akan benar-benar berakhir, tapi kita harus yakin bahwa kita mampu melewatinya
Dewa Bujana, Musisi