Gunakan Antibiotik dengan Bijak
Tenaga kesehatan menjadi kunci mencegah resistensi antimikroba. Ini dilakukan dengan cara menghindari pengguna antibiotik yang tidak perlu kepada pasien.
JAKARTA, KOMPAS - Resistensi antimikroba yang disebabkan intensitas penggunaan antibiotik menjadi ancaman kesehatan global paling berbahaya. Karena itu, tenaga kesehatan perlu berperan mencegah resistensi antimikroba dengan menghindari penggunaan antibiotik yang tak perlu kepada pasien.
Hasil kajian dari ekonom Jim O-Neill pada 2014 memperkirakan sebanyak 700.000 kematian per tahun di dunia terjadi, karena resistensi antimikroba (AMR). Pada 2050, AMR diperkirakan memicu kematian hingga 10 juta orang per tahun secara global. Penggunaan antibiotik yang tak semestinya jadi penyumbang besar angka AMR di dunia kesehatan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat peningkatan penggunaan antibiotik 91 persen secara global pada tahun 2000-2015. Bahkan, di negara berkembang, peningkatan pemakaian antibiotik mencapai 165 persen, itu menjadikan AMR sebagai satu dari 10 besar ancaman kesehatan global paling berbahaya.
Ketua Komite Pengendali Resistensi antimikroba (KPRA), Hari Paraton mengemukakan, sebagian besar AMR memicu infeksi amat kompleks, terutama bagi pasien yang memiliki penyakit penyerta atau komorbid. Itu membuat penyembuhan makin sulit dan berdampak pada sosial ekonomi warga.
"Jika infeksi bakteri biasa, rata-rata terapi menghabiskan biaya 10.000 dollar AS di Amerika Serikat. Saat bakterinya jadi resisten, ada penambahan sekitar 6.000 dollar AS, terutama untuk pengobatan," ujar Hari dalam webinar memperingati World Antibiotics Awareness Week 2021 di Jakarta, Jumat (5/11/2021).
Hasil kajian dari KPRA, pada 2016 penggunaan antibiotik di 11 rumah sakit pendidikan tercatat 70-80 persen. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2005 yang tercatat 55-76 persen. Padahal paparan antibiotik terus-menerus membuat bakteri makin resisten.
Hari menjelaskan, AMR merupakan fenomena mutasi alamiah. Jadi, bakteri yang resisten kerap kawin dengan bakteri nonresisten dan dari sini terjadi perpindahan gen. Saat bakteri mati dan pecah, gen resisten dicari bakteri lain dan diinduksikan ke tubuh bakteri. Dampak AMR di RS antara lain, infeksi berat di aliran darah, saluran kemih, area operasi, dan pneumonia. Operasi bisa gagal karena infeksi ini seperti cangkok liver, jantung, hingga ginjal.
Terkait hal itu, Kementerian Kesehatan menerapkan strategi pengendalian AMR melalui pencegahan resistensi, yakni menghindari penggunaan antibiotik yang tak perlu dan menekan konsumsinya. Upaya ini perlu pemahaman dan kesadaran dokter, perawat, bidan, petugas farmasi, pasien, dan keluarga.
Kemenkes juga menerbitkan panduan penatagunaan antimikroba (PGA) di rumah sakit untuk mengoptimalkan penggunaan antimikroba secara bijak dari segi kuantitas dan mutu. Alur PGA dimulai dari dokter penanggung jawab layanan, lalu dikaji petugas farmasi dan disampaikan ke perawat hingga diberikan ke pasien.
"Petugas farmasi jadi posisi kunci pra-otorisasi dan harus belajar secara klinis untuk menilai antibiotik itu layak diberikan pada pasien atau tidak. Kesembuhan pasien tetap menjadi tujuan utama, " kata Hari.
Pendekatan "one health"
Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat Gadjah Mada Tri Wibawa menambahkan, AMR melibatkan semua orang dari berbagai umur dan daerah. Penyalahgunaan antibiotik pada sektor manusia dan hewan mempercepat proses terjadi AMR.
Persoalan AMR memerlukan pendekatan satu kesehatan (one health) karena menyangkut manusia, hewan, dan lingkungan. Pada manusia, pasien, dokter, dan farmasi jadi subyek penting penanganan AMR.
Pasien jadi subyek penanganan AMR saat mencari antibiotik sendiri, dan dokter jadi subyek karena meresepkan antibiotik dengan baik atau tidak. Sementara farmasi tak hanya tugas, tapi juga perusahaan obat, distributor, dan apotek.
Tri mengaku banyak penjualan antibiotik tanpa resep di masyarakat. Semua pihak mesti memperhatikan penjualan antibiotik tanpa resep. (MTK)