Krisis Iklim Tingkatkan Risiko Kesehatan

Laporan Lancet Countdown 2021 memberi peringatan serius akan risiko kesehatan di masa depan terkait upaya pengendalian perubahan iklim dan pemulihan pascapandemi Covid-19.

JAKARTA, KOMPAS - Upaya pemulihan Covid-19 yang tidak sesuai dengan Persetujuan Paris akan berimplikasi pada situasi kesehatan jangka panjang. Berbagai potensi peningkatan penyakit akibat perubahan iklim akan dihadapi negara berkembang ataupun negara dengan indeks pembangunan manusia yang sangat tinggi.

Menurut laporan terbaru dari Lancet Countdown tentang kesehatan dan perubahan iklim yang dirilis, Kamis (21/10/2021) malam waktu Indonesia, risiko tersebut akan dihadapi, terutama oleh masyarakat yang terpapar kerawanan pangan dan air, gelombang panas, serta penyebaran penyakit menular. 

Hasil identifikasi dalam laporan tersebut menunjukkan banyak negara kurang siap menghadapi dampak kesehatan dari perubahan iklim. Ditunjukkan, perubahan iklim memicu peningkatan potensi wabah demam berdarah dengue, chikungunya, dan zika.

Wabah penyakit ini diprediksi akan meningkat pesat di negara-negara dengan Indeks pembangunan Manusia (IPM) yang sangat tinggi, termasuk Eropa. Sementara infeksi malaria akan meningkat di negara dengan IPM rendah, khususnya daerah dataran tinggi dengan cuaca relatif dingin. 

Di sisi lain, sistem pelayanan kesehatan tidak akan siap menghadapinya. Hal ini  juga ditegaskan dalam hasil survei Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2021 tentang kesehatan dan perubahan iklim yang dirilis awal Oktober lalu.

Dalam laporan WHO  tersebut, hanya 45 dari 91 negara yang disurvei memiliki rencana atau strategi kesehatan dan perubahan iklim nasional. Selain itu, 8 dari 45 negara melaporkan dampak perubahan iklim pada kesehatan warga telah memengaruhi alokasi sumber daya manusia dan keuangan. 

Perubahan iklim juga  meningkatkan risiko banjir, badai yang lebih intens, serta peningkatan salinitas pada air dan tanah. Risiko ini akan mengancam 569 juta orang di dunia yang tinggal di daerah dengan ketinggian kurang dari lima meter di atas permukaan laut. Mereka terpaksa akan meninggalkan daerah tersebut dan bermigrasi ke daerah pedalaman. 

Penulis utama laporan tersebut sekaligus Direktur Riset Lancet Countdown Maria Romanello mengatakan hasil studi ini menjadi laporan keenam tentang dampak perubahan iklim dan kesehatan yang disusun Lancet Countdown. Namun, ia menyayangkan negara-negara di dunia kurang ambisius dalam melakukan transisi energi terbarukan atau  pun penanggulangan polusi.

Negara-negara di dunia saat ini tengah menganggarkan triliunan dollar AS untuk pemulihan pandemi Covid-19. Kondisi ini memberikan peluang dan kesempatan agar setiap negara menetapkan pembangunan yang lebih aman, bersih, dan rendah karbon. Akan tetapi, upaya ini belum tampak dilakukan oleh setiap negara.

"Hanya 1 dari 5 dollar anggaran pemulihan Covid-19 dari sejumlah negara yang diperkirakan akan mengurangi emisi  gas rumah kaca. Sementara  sebagian besar anggaran dialokasikan untuk pemulihan dengan dampak yang cenderung negatif. Kita pulih dari pandemi dengan cara yang membahayakan kesehatan kita sendiri," ungkapnya. 

Direktur Eksekutif Lancet Countdown, Anthony Costello mengatakan, identifikasi dalam laporan ini mencatat banyak indikator berwarna merah. Artinya, masih banyak upaya dari setiap negara yang belum mendukung penanggulangan perubahan iklim. 

Padahal, menurut dia, upaya negara-negara di dunia untuk memulihkan ekonomi pascapandemi, dapat diintegrasikan untuk menanggulangi perubahan iklim secara bersamaan, pemulihan ekonomi dari Covid-19 dapat lebih hijau sekaligus meningkatkan kesehatan manusia dan mengurangi berbagai dampak dari perubahan iklim. 

Temuan lain

Laporan ini juga mencatat temuan bahwa dampak perubahan iklim memicu peningkatan frekuensi, intensitas, dan durasi kekeringan, mengancam ketahanan air, sanitasi, produktivitas pangan, serta meningkatkan risiko kebakaran hutan hingga paparan polutan. Afrika menjadi salah satu wilayah yang terkena dampak kekeringan ekstrem ini sejak lima tahun terakhir.

Perubahan iklim bahkan turut mengancam kesehatan pangan setiap negara. Hal ini terjadi akibat peningkatan suhu bumi sehingga mempersingkat proses kematangan tanaman dan menurunkan produktivitas. Tercatat, produksi sejumlah komoditas di beberapa negara telah mengalami penurunan hasil panen. Jagung mengalami penurunan 6 persen dalam potensi hasil panen, gandum penurunan 3 persen dan beras penurunan 1,8 persen, dibandingkan dengan periode 1981-2020.

Laporan juga mengungkapkan bahwa negara dengan IPM rendah kerap tidak bertanggung  jawab dalam peningkatan emisi gas rumah kaca. Mereka juga cukup tertinggal dalam upaya adaptasi atau pun mitigasi perubahan iklim.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, laporan ini menunjukkan perubahan iklim sangat berkaitan dengan aspek kesehatan. Peningkatan kualitas udara, pola makan, dan aktivitas fisik merupakan bagian dari sepuluh rekomendasi WHO untuk mengatasi perubahan iklim dan menghindari dampak terburuk pada kesehatan atas krisis iklim.

"Pemimpin setiap negara di COP 26 (Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim) harus mencegah bencana kesehatan yang akan datang dengan membatasi pemanasan global hingga 15 derajat celcius. Laporan ini diharapkan dapat meningkatkan aksi perubahan iklim yang dibutuhkan," ujarnya. (MTK) 

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar