Yang Perlu Dibedah Sebelum Menikah
Banyak masalah pernikahan yang semestinya bisa diatasi atau dibicarakan sebelum menikah. Namun, hal ini sering kali diabaikan, padahal di sinilah potensi konflik rumah tangga mengintai. Apa saja yang perlu dibedah sebelum menikah?
Pasangan masa kini biasanya lebih fokus membahas persiapan resepsi ketimbang membicarakan hal penting dalam berumah tangga kelak. Akibatnya, saat resmi menjadi suami istri, sejumlah konflik terjadi. Padahal, sejatinya hal ini bisa diantisipasi sejak awal lewat komunikasi.
Menurut Dian Fitriaswaty, M. Psi., Psikolog dari Klinik Dokter Keluarga Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya masalah ini kerap terjadi pada pasangan calon suami-istri yang didominasi faktor emosional dan menomorsekiankan logika ketika memutuskan untuk menikah.
"Padahal, ketika memilih pasangan yang akan dibawa ke jenjang pernikahan, cinta yang pakai logika harus dikedepankan. Artinya, dalam hubungan asmara, cinta saja tidak cukup," jelas Dian kepada Media Kawasan.
Hal pertama yang dibutuhkan oleh pasangan, menurut Dian, adalah kesamaan visi dan misi dalam menjalani hidup. Kedua, pasangan perlu membekali diri dengan ilmu seputar seluk-beluk kehidupan pernikahan, serta kelebihan dan kekurangan setiap individu.
"Dua hal ini penting agar nantinya ketika memasuki kehidupan pernikahan, konflik yang terjadi bukan memicu perseteruan abadi, namun menjadi bumbu yang justru semakin membuat mesra," papar Dian.
Senada dengan Dian, Ajeng Raviando, M.Psi., psikolog dari Klinik Rumah Hati menuturkan bahwa ada sejumlah hal yang harus dipertimbangkan dan dibicarakan oleh pasangan sebelum melanjutkan ke jenjang pernikahan. Misalnya, latar belakang dari masing-masing individu, latar belakang keluarga, dan cara pandang dan pemikiran.
"Memang banyak hal yang perlu dibahas lebih lanjut. Seringkali, sebagai pasangan yang dimabuk asmara, kalau bertemu yang dibahas hanya yang senang-senang, lupa menggali hal-hal yang penting ketika menikah kelak. Padahal, ketika menikah semua realita hidup harus dihadapi baik manis maupun pahit," kata Ajeng kepada Media Kawasan.
Lebih rinci Ajeng menjelaskan, selain aspek budaya dan agama yang masih penting bagi orang Indonesia, cara komunikasi masing-masing pasangan sering kali jadi pemicu pertengkaran karena tidak paham bagaimana harus berkomunikasi.
"Ketika ada friksi atau timbul masalah yang harus dihadapi bersama, biasanya konflik terbesar adalah kemampuan komunikasi antar pasangan yang tidak baik," ungkap Ajeng. "Misalnya, tidak memahami kalimat yang disampaikan, salah pengertian, salah tangkap apa yang dimaksud, dan ego yang lebih berperan. Karena itu, cara komunikasi ini yang harus digali lebih dalam."
Selain komunikasi, pasangan yang hendak menikah perlu membicarakan soal cita-cita atau tujuan berumah tangga. "Kadang rencana baru disampaikan setelah menikah, misalnya, ingin lanjut sekolah dan tinggal di luar negeri. Namun, sebelum menikah, hal ini tak sekalipun dibahas," Ajeng mencontohkan.
Poin penting lain untuk dibedah sebelum menikah adalah kelebihan dan kekurangan pasangan. Kuncinya, siapkah kita menerima kekurangan pasangan?
Dian mencatat beberapa hal utama yang semestinya dibicarakan calon suami-istri sebelum melangsungkan pernikahan.
Pertama, visi dan misi hidup agar bisa bersinergi-meski tidak harus sama persis. Di sini, Anda harus membicarakan tentang gaya hidup seperti apa yang akan dijalani setelah menikah, harapan, dan cita-cita.
Kedua, bicarakan persoalan buah hati, apakah ditunda atau tidak, berapa jumlah anak yang diinginkan, pola asuhnya seperti apa, pembagian tugas dalam mengasuh anak, dan sebagainya.
Ketiga, jangan lupa bahas soal manajemen keuangan, bagaimana mengatur keuangan setelah menikah, menentukan skala prioritas, serta pembagian pendapatan antara suami dan istri.
Keempat, bicarakan soal peran dan fungsi anggota keluarga. Hal ini penting agar satu sama lain menyepakati apa peran dan fungsi satu sama lain. Misalnya, suami adalah tulang punggung keluarga yang tugas utamanya mencari nafkah dan istri murni berperan sebagai ibu rumah tangga dan mengurus anak.
"Atau suami dan istri sama-sama bekerja dengan catatan jam kerja istri tidak boleh melebihi jam kerja suami, lalu tugas istri mengurus rumah dan mengasuh anak dilakukan bersama-sama," papar Dian.
Kelima, bahaslah mengenai pengaruh kerabat. Hal ini sering dianggap sepele, padahal akan menjadi perselisihan abadi bila sejak awal tidak ditemukan kesepakatan ketika pada aspek ini terjadi permasalahan.
Misalnya, bagaimana cara pasangan berinteraksi dengan keluarga, baik keluarga sendiri maupun keluarga mertua beserta ipar-ipar. Idealnya, calon suami-istri saling memberi informasi pada pasangannya tentang karakter masing-masing anggota keluarga beserta tips agar dapat berelasi baik.
Jika tidak dibicarakan sebelum pernikahan, ada potensi konflik yang akan timbul.
Keenam, pasangan yang hendak menikah harus membahas persoalan manajemen konflik buat kesepakatan setiap kali menghadapi permasalahan dalam rumah tangga secara internal, agar tidak terjerumus dalam perseteruan yang lama-kelamaan menjadi bola api dan gunung es yang akan merusak keharmonisan rumah tangga.
Terakhir namun tak kalah penting, pasangan hendaknya juga berdiskusi tentang ruang pribadi atau "me time" - agar segala tugas dan tanggung jawab yang dijalani dalam peran sebagai suami maupun istri memiliki waktu rehat demi menjaga kualitas perannya.
Kedua psikolog ini mengingatkan bahwa diperlukan waktu khusus untuk mendiskusikan hal-hal penting tadi sebelum menikah, mengingat cukup krusialnya topik yang akan dibicarakan.
"Hal-hal yang sudah disinggung tadi adalah hal-hal yang paling krusial memicu konflik yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga bila tidak ditemukan kata sepakat, terutama pada aspek visi dan misi hidup," Dian mengingatkan.
Hendaknya tambah Dian, persoalan ini dibicarakan bukan saat akan atau setelah lamaran - ketika penentuan tanggal pernikahan dan resepsi sudah dibicarakan - tetapi jauh sebelum itu, ketika satu sama lain merasa sudah berniat mencari pasangan yang niatnya adalah untuk menuju pernikahan.
Sementara itu, Ajeng memaparkan penyebab calon suami-istri biasanya menghindari pembahasan hal-hal tersebut. Pertama, karena ada perasaan takut menyinggung pasangan. Kedua, bisa jadi pasangan tidak mengerti bahwa poin-poin tersebut penting untuk didiskusikan Bahkan, ada juga yang tidak peduli dan cenderung mengabaikan.
Padahal, jika hal-hal tersebut tidak Anda bicarakan dengan pasangan sebelum menikah, ada sejumlah potensi konflik yang akan timbul, seperti ketidakharmonisan rumah tangga, perselisihan yang tidak kunjung usai, serta berkurang atau hilangnya respek dan romantisme pada pasangan.
"Ujung-ujungnya adalah kebosanan dan berkurang atau hilangnya rasa cinta, rasa nyaman, dan rasa aman pada pasangan. Puncaknya adalah stres, lalu depresi, dan keinginan untuk berpisah," Dian menegaskan.
Sesungguhnya, pembahasan ini bukan termasuk hal sensitif, karena itu adalah hak masing-masing orang yang seharusnya dilakukan ke pasangannya ketika sudah siap menikah.
"Justru ketika pasangan kita menolak untuk membahas hal-hal tersebut atau merasa topik tersebut tidak penting untuk dibahas, itu sudah menjadi pertanda bahwa pasangan Anda belum siap menuju pernikahan," tukas Dian.
Ia mengingatkan bahwa kita tidak boleh tertarik pada seseorang hanya karena fisiknya sebaliknya, ketertarikan itu ada karena kesamaan persepsi memandang hal-hal penting dalam hidup. Atau, kalaupun tidak, pasangan adalah tipikal orang yang open minded dan bisa diajak untuk memahami persepsi-persepsi kita, lalu menghargainya.
"Persepsi seseorang tidak bisa dipaksakan untuk disamakan. Yang kita bisa lakukan hanya membuat pasangan memahami dan mendukung persepsi kita," tandas Dian.
Kalau calon suami-istri tidak tahu atau tidak mengerti apa yang harus mereka bicarakan, maka konsultasi sebelum menikah merupakan langkah terbaik. "Hal-hal ini bisa dilakukan dengan datang ke orang yang lebih paham atau orang yang dituakan, sehingga bisa menimba ilmu dari mereka," pungkas Ajeng.