Keindahan yang Hilang. Jika Payudara Kena kanker
Dukungan psikologis sangat penting bagi wanita yang terkena kanker payudara, terutama dari pasangannya. Penderita akan menjadi pribadi yang rentan dan suami perlu menyadari adanya perubahan ini.
Ketika istrinya mengeluh, merasa khawatir lantaran teraba benjolan kecil pada payudara kirinya, Rukmono (bukan nama sebenarnya) acuh tak acuh saja. Namun laki-laki itu kemudian jadi gelisah, ketika secara kebetulan di kantor, ia mendengar pembicaraan rekan-rekannya, bahwa benjolan pada payudara bisa berarti tumor atau kanker, dan itu bisa berarti hilangnya keindahan tubuh wanita.
Untunglah, dokter yang memeriksa istri Rukmono mengatakan benjolan itu hanya tumor kecil dan jinak. Operasi pengangkatan memang diperlukan, tetapi tidak meninggalkan bekas yang berarti. Pasangan itu merasa lega. Bagi Rukmono kesehatan istrinya yang terganggu, menimbulkan beban tersendiri. Sebelum operasi dilakukan, sang istri sempat mengalami depresi lantaran kekhawatiran yang berlebihan, bersikap menjauh darinya, dan menunjukkan gejala shock mental.
Tentu tak semua pasangan seberuntung pasangan ini. Gejala benjolan kecil pada payudara, bila terlambat diketahui, memang bisa berlanjut menjadi besar. Bila kemudian terbukti sudah mencapai stadium lanjut, operasi pengangkatan secara total tak bisa tidak harus dilakukan.
Menurut Dr. Didid Tjindarbumi, ahli bedah yang sudah menangani banyak sekali operasi kanker payudara, setiap benjolan yang teraba pada pemeriksaan dengan perabaan (palpasi) payudara memang mesti dicurigai. Menurut penelitian di luar negeri maupun secara empiris di Indonesia wanita berusia antara 35-55 tahun banyak yang mengalami kanker payudara ini. "Karena pada usia tersebut mulai terjadi gangguan keseimbangan metabolisme hormonal. Mungkin terjadi, rangsangan estrogen yang berlebihan dapat menimbulkan gejala kanker yang sudah ada" ujar dokter yang saat ini sedang meneliti usia wanita yang terserang kanker payudara.
Bagi wanita, gangguan pada payudara dianggap lebih mengerikan daripada apabila terjadi pada bagian tubuh yang lain. Menurut Dr. Dadang Hawari, Psikiater Lektor pada Bagian Pasutri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, kelainan-kelainan pada payudara (wanita) bukanlah phenomena biologik semata, melainkan lebih dari itu ialah juga merupakan phenomena psikologik dan psikososial. Terlebih lagi bila kelainan itu tergolong dalam penyakit kanker payudara. Pernyataan Dadang Hawari ini tertulis dalam makalahnya yang berjudul: Kanker Payudara, Tinjauan dari segi Biologik, Psikologik dan Psikososial.
Karena itulah, seorang pria yang sudah beristri, terlebih jika istrinya saat ini ada dalam golongan usia berisiko kena kanker payudara, ada baiknya mengetahui masalah ini. Sebab, bagaimanapun, kehidupan suami istri - termasuk kehidupan seksualnya - sedikit banyak akan mengalami gangguan. Bukan lantaran perubahan fisik saja, tetapi karena perubahan kejiwaan yang mungkin terjadi.
Sampai sekarang kanker payudara memang masih sukar diturunkan angka kejangkitannya. Hampir 2-3 wanita dari setiap 100 populasi kedapatan mengidap kanker payudara. Para ahli umumnya sependapat, memang ada hubungannya antara kanker dengan latar belakang psikis penderita. Kesedihan yang amat dalam dan berkepanjangan, kekecewaan yang teramat pahit sehingga merasa putus asa - misalnya bila perkawinan atau pekerjaan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan - merupakan hal-hal yang mempengaruhi daya tahan badan, yang pada gilirannya bisa menyebabkan kanker.
Masalahnya, sekarang apa yang bisa dilakukan oleh pria jika pasangannya menderita penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan semacam kanker payudara tersebut? Jika kasusnya cukup ringan seperti yang dialami pasangan suami istri Rukmono di awal tulisan ini, memang tak begitu sulit menghadapinya. Tetapi para suami yang istrinya terpaksa mengalami pengangkatan total atau setengah total, maka ia harus siap menghadapi sebuah pribadi yang rentan, yang mudah tersinggung dan merasa rendah diri atau kehilangan kepercayaan. Hanya wanita-wanita yang matang, yang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan dirinya, yang masih dapat berperan normal sebagai istri maupun sebagai ibu, walaupun payudaranya tak utuh lagi.
Kanker adalah sejenis penyakit seperti halnya penyakit-penyakit lain yang dikenal. Ia dapat diobati dan banyak penderita yang dapat hidup dengan baik bertahun-tahun, di mana penyakit itu dapat dikontrol dan dikendalikan. Memang benar ada penderita yang meninggal karena kanker, sebagaimana orang lain meninggal karena penyakit lain. Karena itu, kecemasan dan keputusasaan yang berlebihan sebetulnya bisa dikurangi.
Seorang wanita yang sudah diketahui terkena kanker payudara tak selalu harus mengalami operasi pengangkatan total. Biasanya dokter ahli kanker memberikan beberapa alternatif. "Jika kanker di tubuh pasien masih dalam stadium satu, kita lihat statusnya. Kalau masih gadis, saya tidak melakukan tindakan ekstensif (tindakan operasi yang luas)," ujar Didid Tjindarbumi. Tindakan yang dilakukan hanyalah breast preserving surgery, mempertahankan payudaranya, dengan cara diambil tumornya dan jaringan sel di sekitarnya serta kelenjar getah bening di ketiak.
Bagi wanita yang sudah menikah dan mempunyai anak serta berusia di atas 40 tahun, Dr Didid akan menawarkan untuk dilakukan tindakan mastectomy, pengangkatan seluruh payudara yang terkena kanker. "Karena protokol kita di Indonesia masih mengutamakan pengangkatan payudara keseluruhan bila terdapat penyakit kanker. Alasannya, kami belum bisa menjamin bahwa si pasien mempunyai kesadaran untuk memeriksakan diri secara periodik," ujar Didid Tjindarbumi. "Biasanya, kalau sudah operasi penderita lantas tak muncul-muncul lagi, menyangka sudah sembuh." Padahal, penyakit kanker baru dapat dikatakan sembuh kalau yang bersangkutan mempunyai harapan hidup yang sama seperti wanita lain yang hidup sehat.
Sangat jarang sekali terjadi kedua payudara harus diangkat secara bersamaan, yang dilakukan jika kanker tersebut merupakan kanker primer yang berdiri sendiri. Yang sering terjadi adalah anak sebar yang menyerang payudara yang satu lagi, setelah payudara yang satunya diangkat. Anak sebar itu bisa menyerang setelah tiga sampai lima tahun setelah operasi pertama. Pada wanita berusia 30-an, lamanya perjalanan penyakit bisa lebih cepat, diduga karena aktivitas hormon estrogennya.
Pada wanita yang menikah, tetapi belum mempunyai anak, umumnya muncul keraguan. Sering mereka minta agar dokter mengobati dengan cara apapun, asal payudaranya bisa dipertahankan. "Karena belum mempunyai anak, dengan hanya satu payudara mereka khawatir kalau suaminya ngabur," ujar DR. Didid.
Jika memang payudara ingin tetap dipertahankan, seperti yang biasa dilakukan di luar negeri, maka harus dengan syarat di tempat ia berobat mesti ada alat-alat radiasi. Di Eropa dan Jepang, menurut Didid, sekarang trend-nya memang mempertahankan payudara. Itu karena di sana ada alat-alat yang menunjang kesembuhan, sedang di Indonesia alat semacam itu hanya terdapat di kota-kota besar.
Seorang suami yang istrinya terkena kanker payudara sebaiknya ikut terlibat dalam konsultasi dengan dokter. Jadi suami mendengar sendiri penjelasan dari dokter, bukan melalui istrinya, sebab dokter selalu mengajukan alternatif penyembuhan. Para suami kebanyakan memang tak setuju kalau istrinya diambil payudaranya. Mereka cemas, kalau salah satu payudara istrinya diangkat maka
Para suami yang istrinya terpaksa mengalami pengangkatan total atau setengah total, maka ia harus siap menghadapi sebuah pribadi yang rentan, yang mudah tersinggung dan merasa rendah diri atau kehilangan kepercayaan. Hanya wanita-wanita yang matang, yang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan dirinya, yang masih dapat berperan normal sebagai istri maupun sebagai ibu, walaupun payudara tak utuh lagi. Sangat jarang terjadi kedua payudara harus diangkat secara bersamaan, yang dilakukan jika kanker itu merupakan kanker primer yang berdiri sendiri.