Istriku Meninggal Karena Kelalaian Tiga Rumah Sakit
Meski sudah dirawat di tiga rumah sakit, jiwa Indra Safri Yakub (39), tak tertolong. Tak hanya tenaga, pikiran, Indra juga sudah mengeluarkan biaya Rp 40 juta lebih. Namun, Indra menduga pihak RS melakukan kelalaian. Berikut ungkapan dukanya pada NOVA.
Masih terbayang jelas dalam ingatanku saat-saat terakhir menjelang istriku, Adya Fitri Harisusanti (31), yang akrab disapa Santi menghembuskan napas terakhir. Saat itu, ia terbaring pasrah di RSCM, saat akan dipasangkan alat CVP (infus di bagian leher).
Aku berada di sampingnya, memandang raut mukanya yang tirus dan kulitnya yang memucat. Batinku teriris saat melihatnya menangis dan mengerang kesakitan karena jarum suntik besar ditusukkan ke antara bagian leher dan pundaknya.
Sekian lama dokter mencari-cari tempat yang tepat, tetapi hasilnya nihil. Jarum itu pun dicabut. Lalu dokter kembali menyuntikkan jarum CVP untuk kedua kali, kemudian tiga kalinya baru berhasil. Kulihat aliran darah mengalir masuk tabung suntikan CVP. Tiba-tiba istriku tersentak, matanya melotot, dan mulutnya terbuka. Dokter buru-buru mencabut jarum.
Lalu, tersemburlah darah istriku ke muka sang dokter. sesaat kemudian, ia berpulang untuk selamanya, pukul 20.30, tanggal 19 Desember 2002. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiuun. Tubuhku jadi lunglai. Air mataku terus mengalir melepas kepergiannya. Berarti sebulan lebih aku menemaninya selama dirawat di tiga rumah sakit yaitu RS PMI Bogor, RS Pelni Petamburan, dan RSCM. Total aku keluar biaya Rp 47 juta lebih. Istriku tercinta dimakamkan di TPU Kebon Pedes, Bogor, 20 Desember 2002. Aku memang tinggal di Bogor.
KOMA AKIBAT RASA SAKIT
Kisah bermula ketika tanggal 20 Oktober 2002, Santi muntah darah. Segera saja aku membawanya ke RS Azra Bogor, kata dokter, usus Santi luka. Ia harus rawat inap selama tiga hari. Namun, dua minggu kemudian Santi merasa amat kesakitan di bagian kandungan. Tanpa pikir panjang, aku kembali membawanya ke RS. Kali ini ke RS Sukoyo, Bogor. Hasil pemeriksaan laboratorium, terdapat kista di kanan dan kiri kandungan, gejala tifus, dan Hb turun 6.1.
Karena RS ini tak mampu menangani, aku mencari RS lain di Bogor. Seorang teman menyarankan agar Santi dibawa ke RS PMI Bogor. Santi pun dirawat di sana mulai 10 November 2002 dan ditangani Dr. Ahani, spesialis penyakit dalam. Namun, keluhan Santi tak berkurang. Akhirnya, Dr. Ahani merujuknya ke Dr. Surya Chandra, bagian kandungan. Santi harus menjalani operasi kista.
Demi kesembuhan Santi, tanpa pikir panjang aku mendatangani persetujuan operasi. Fisik dan mental Santi pun sudah siap. Eh, tiba hari operasi, Dr. Surya Chandra tidak datang. Santi malah diperiksa dokter lain lagi, yaitu Dr. Sunarya. Ia menjelaskan berdasarkan hasil rontgen kemarin, Santi menderita TBC tulang, bukan kista kandungan. Aku betul-betul bingung mana yang benar.
Anehnya, Dr Ahani mengatakan Santi telah sembuh dan bisa pulang dua hari lagi. Padahal keadaannya masih sangat lemah. Setiap habis buang air. Hb-nya mendadak turun. Fesesnya berwarna hitam dan mengandung bercak darah, hingga ia harus terus menerus ditransfusi. Aku, sih nurut saja. Sebagai dokter tentu mereka lebih tahu. Apalagi anak-anak di rumah memang sudah kangen pada ibunya.
Hari itu aku ke Jakarta mengambil uang untuk melunasi biaya RS. Baru 10 menit menginjakkan kaki di Jakarta, seorang sepupu menelepon. Kabar yang kuterima sungguh mengejutkan, Santi koma akibat rasa sakit di bagian perut. Aku pun segera kembali ke RS. Kulihat istri mengerang kesakitan di pembaringan.
Yang meyakitkan, Dr. Ahani menyarankan agar Santi berobat ke psikiater saja karena dinilai cengeng dan manja. Di tengah rasa sakitnya, pasien mana yang tidak down dibilang begitu. Aku betul-betul kecewa.
HARUS OPERASI
Saat kebingungan, aku menceritakan keadaan Santi kepada seorang suster senior. Aku disarankan memeriksakan Santi ke Dr Nopi. Aku nurut saja. Setelah pemeriksaan urine, Dr. Nopi mengatakan Santi positif hamil. Kemungkinan hamil di luar kandungan. Jelas aku tidak percaya. Betapa tidak, selama delapan bulan Santi mengalami perdarahan dan kami tidak melakukan hubungan badan. Tapi, sekali lagi aku tidak bisa menyangkal hasil tersebut.
Yang pasti, Santi harus dioperasi. Selesai operasi, Dr Sunarya menunjukkan dua buah daging tumor yang ditempatkan dalam dua tabung kaca. Keesokan harinya, Dr. Sunarya memanggilku untuk bicara empat mata. Ia meminta maaf karena telah berbuat kekeliruan. Katanya, operasi kemarin bukan operasi hamil di luar kandungan melainkan operasi kista yang sudah pecah dan tidak ganas. Di bagian kandungan juga tidak ditemukan perdarahan.
Aku semakin kecewa ketika tahu pihak RS melakukan beberapa kecurangan. Pertama, aku diminta menebus resep yang dibuat oleh dokter yang tidak menangani Santi. Aku juga diminta menebus resep tanpa mendapatkan obatnya. Persoalan ini kulaporkan kepada humas RS. Sungguh menjengkelkan, mereka mengatakan bahwa obat tersebut hilang. Saya diminta menerima kembali uang yang telah dibayarkan. Bahkan humas tersebut mohon aku menyelesaikan persoalan ini secara kekeluargaan saja.
Kesal dengan perlakuan RS yang tidak profesional. Santi kupindahkan ke RS Pelni Petamburan mulai 25 November 2002. Santi ditangani oleh Prof Dr. Ali Sulaiman. Selama empat hari Santi harus diperiksa ulang. Bagaimana hasil pemeriksaan? Ajaib, ternyata tes kehamilan ulang. Santi dinyatakan negatif. Sehari kemudian ia pun mengalami haid. Dr. Parmanto, pimpinan RS Pelni Petamburan tidak menemukan perdarahan di kandungan. Hanya saja, ada sisa tumor di kandungan Santi.
Namun, hasil pemeriksaan lainnya membuat nyaliku ciut. Ada pembengkakan di lever dan ginjal, kelenjar getah bening hingga kanker usus. Mendengar riwayat penyakitnya, Santi sangat depresi dan ketakutan. Akhirnya diputuskan untuk melakukan pemeriksaan pencernaan bagian bawah (colonoskopi). Sayang, para suster lalai menjaga kestabilan Hb pasien. Maka pada saat akan dilakukan colonoskopi. Karena Hb-nya tinggal 6.1. Padahal untuk melakukan colonoskopi Hb minimal adalah 10. Alhasil, colonoskopi itupun gagal.
Suatu hari, serombongan dokter menemui aku di Paviliun Merak, tempat Santi dirawat. Tanpa banyak bicara mereka meminta Santi menjalani pemeriksaan Douglas Fungsi untuk mencari perdarahan di bagian kandungan yang tidak keluar. Aku sempat protes. Sebelumnya Dr. Parmanto, kan, tidak menemukan perdarahan di bagian kandungan. Karena awam, aku hanya mengizinkan segala tindakan demi kesembuhan Santi.
Oh ya yang disebut Douglas Fungsi dilakukan tanpa pembiusan dengan menyuntikkan jarum suntik ke dalam vagina Santi. Kulihat dia sangat kesakitan. Sampai-sampai matanya melotot dan mulutnya menganga. Aku hanya bisa bilang agar dia bertahan dan istigfar. Tanpa terasa, keringat dengan deras pun mengucur di tubuhku. Sudah Santi kesakitan, gagal pula.
SEMINGGU SEKALI KE MAKAM
Aku mengonsultasikan masalah ini pada Prof. Ali. Ternyata beliau tidak tahu sama sekali tentang kegagalan colonoskopi bawah. Pemeriksaan Douglas Fungsi juga dilakukan tanpa seizinnya. Diliputi berbagai kekecewaan, aku langsung meminta surat rujuk untuk pindah ke RSCM. Tanggal 17 Desember 2002, Santi dipindahkan ke RSCM. Anehnya dalam laporan riwayat medis pasien, pelaksanaan Douglas Fungsi di RS Pelni Petamburan tidak tercatat.
Di RSCM, Santi ditangani oleh Prof. Dr Daldiyono. Katanya, penyakit Santi tidak ada kaitannya dengan kandungan melainkan terdapat dua sumber kebocoran di bagian usus yang harus dioperasi. Menunggu saat operasi, Santi perlu transfusi. Padahal, selama sebulan dilakukan transfusi, tangan dan kaki Santi sudah penuh bekas suntikan. Tidak ada lagi tempat tersisa. Akhirnya Prof Daldiyono meminta untuk pemasangan alat CVP lebih awal untuk transfusi.
Begitulah, pemasangan CVP dilakukan Dr. Fahrurozi, ahli anastesi. Seperti yang kuceritakan di awal cerita, akhirnya Santi meninggal, meski berbagai upaya hingga peralatan emergency digunakan. Bahkan, waktu itu aku sempat naik ke tempat tidur Santi untuk memompa dadanya. Melihat keadaan Santi, rasanya kakiku tak bisa menopang tubuhku. Aku pun jongkok di kaki istriku.
Aku sadar, hidup manusia berada di tangan Tuhan. Namun, aku yakin meninggalnya istriku akibat kelalaian tiga rumah sakit yang merawatnya. Itu sebabnya, aku menggugat mereka ke pengadilan.
Kini, aku dan kedua anakku, Ajeng (8) dan Dimas (5) tinggal bersama orang tuaku di Jakarta. Aku pindah dari Bogor karena selalu teringat Santi. Tapi seminggu sekali aku ke makamnya. Demi anak-anakku pula aku yang semula hanya bantu-bantu usaha orangtua, sekarang sudah mendapat kerja di perusahaan jasa kurir.
Hidupku berlanjut tanpa Santi. Berat, tapi aku akan terus berusaha.
Ratih Sukma Pertiwi