Layanan HIV Tidak Boleh Berhenti
Di tengah fokusnya tenaga dan fasilitas kesehatan menangani Covid-19, keberlanjutan layanan bagi orang dengan HIV, khususnya pemberian obat antiretroviral, harus tetap berjalan.
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah harus memastikan layanan kesehatan lain di luar Covid-19, termasuk layanan obat antiretroviral bagi orang dengan HIV, tetap berjalan di tengah fokus fasilitas dan tenaga kesehatan menangani Covid-19. Dalam situasi ini, diharapkan muncul terobosan kebijakan dan inovasi untuk mempermudah akses obat.
Di akhir tahun 2020, persediaan obat antiretroviral atau ARV bahkan sempat menipis akibat negara pemasok ARV menerapkan karantina wilayah setelah dilanda gelombang Covid-19 yang memilukan. Kebijakan pembatasan sosial dan mobilitas penduduk yang diberlakukan di Tanah Air juga turut menjadi kendala akses.
Akhir pekan lalu, Koordinator Nasional Jaringan Gaya Warna Lentera Indonesia, Slamet Raharjo, mengemukakan hampir semua layanan kesehatan saat pandemi fokus pada penanganan Covid-19. Akibatnya, layanan bagi orang dengan HIV terganggu atau dikurangi.
"Dulu sebelum pandemi orang dengan HIV bisa datang ke layanan kesehatan kapan pun mulai pagi hingga sore hari. Petugas layanan kesehatan juga sering datang ke kantor organisasi untuk tes bersama, tetapi sekarang ini sudah ditiadakan. Saat mau ambil obat pun harus membuat janji dengan petugas kesehatan terlebih dulu," ujarnya, Sabtu (24/7/2021).
Konsumsi obat ARV penting bagi orang dengan HIV. Selain untuk meningkatkan kualitas hidup, konsumsi obat ini juga berfungsi sebagai bentuk pencegahan. Dengan konsumsi ARV teratur, virus HIV dalam tubuh seseorang bisa tersupresi atau tidak terdeteksi lagi.
Ketika impor ARV dari India terhenti akibat meroketnya kasus Covid-19 di sana, orang dengan HIV kebingungan.
Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition Aditya Wardhana mengatakan, ketika berbagai cara ditempuh untuk memasukkan ARV ke Tanah Air, termasuk mengusahakan pesawat terbang kepada seorang pejabat, tetapi jalur laut yang bisa ditempuh meski ada kendala teknis di Singapura.
Kementerian Kesehatan sampai Maret 2021 mencatat, dari estimasi 543.100 orang dengan HIV di Indonesia, 427.201 orang atau 78,7 persen sudah ditemukan. Dari jumlah itu 26,6 persen atau 144.632 pengidap HIV dalam pengobatan dan baru 77 persen orang dengan HIV yang virus di tubuhnya tak lagi terdeteksi atau dalam kondisi viral load tersupresi.
Capaian itu masih jauh dari target global, yakni 90-90-90, yakni 90 persen orang dengan HIV tahu statusnya, 90 persen dari yang tahu statusnya menjalani pengobatan, dan 90 persen yang berobat itu virus dalam tubuhnya sudah tidak terdeteksi lagi sehingga tidak bisa menularkan kepada orang lain.
Slamet mendorong agar pemerintah tetap memperhatikan nasib orang dengan HIV dan tidak mengurangi hak-hak kesehatan populasi kunci meski tenaga fokus menangani Covid-19. Ia pun meminta pemerinah melakukan strategi lain dalam memberikan hal-hak bagi populasi kunci di tengah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Solidaritas
Di Jawa Barat, solidaritas sesama orang dengan HIV menjadi modal sosial yang kuat di tengah pandemi. Sebagian orang dengan HIV yang selama ini menjadi korban perundungan menjadi kurir andalan untuk mengambil obat ARV dari layanan untuk sebagian diberikan kepada rekannya yang juga positif HIV sekaligus terpapar Covid-19.
"Setiap jadwal pengambilan obat, saya bisa mengantar sampai ke lima atau enam orang," ujar DS yang setiap Senin, Rabu, dan Sabtu harus mengambil obat di layanan.
"Lebih baik teman-teman di rumah, minum obat. Biar saya yang bergerak," katanya.
Sebenarnya, DS juga khawatir terjangkit virus SARS-CoV-2 yang penyebarannya kini semakin cepat dan luas. Apalagi, ia belum divaksin.
Namun, sebagai orang dengan HIV, ia paham betul bahwa orang dengan HIV membutuhkan dukungan yang kuat dari lingkungan sekitarnya. Bukan hanya untuk mengonsumsi obat ARV dan melewati infeksi Covid-19, melainkan yang paling berat adalah menghadapi stigma yang muncul.
DS tak bakal berhenti mengantarkan obat untuk sesama rekannya yang positif HIV. Mungkin sampai Covid-19 berakhir. Saya juga berharap ARV tidak terlambat dan penyakit ini (Covid-19) ada obatnya," katanya.
Sementara itu, Penanggung Jawab Program HIV/AIDS Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Yanda Ardanta menuturkan, sejumlah kendala penanganan HIV muncul selama pandemi Covid-19. Namun, menurut dia, itu masih terkendali.
Kendala yang dihadapi yakni peniadaan klinik lapangan atau kunjungan langsung keterbatasan alat tes cepat, dan terbatasnya anggaran penanganan karena pengalihan anggaran ke penanganan Covid-19.
Sebelum pandemi, dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota membuat klinik lapangan yang khusus menangani HIV. Klinik itu termasuk kunjungan langsung ke orang dengan HIV. Namun, selama pandemi Covid-19, klinik itu tidak bisa diadakan untuk menekan penularan Covid-19.
Layanan berjalan
Sebelumnya, pada webinar Kompas Talks, Kamis (22/7), Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu memastikan bahwa pemerintah tetap fokus menjaga layanan kesehatan dasar dan esensial, termasuk HIV/AIDS, di samping menghadapi pandemi Covid-19.
"Kolaborasi pusat dan daerah harus kuat terutama agar menjamin pelayanan kesehatan tetap berjalan. Orang dengan HIV/AIDS 100 persen harus mendapat antiretroviral. Inilah yang paling penting, termasuk pelayanan rutin lainnya," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Balai Penanggulangan dan Pengendalian AIDS, TBC, dan Malaria, Dinas Kesehatan Provinsi Papua Beeri IS Wopari di Jayapura mengatakan, distribusi obat ARV dan fasilitas kesehatan lainnya untuk penanganan HIV/AIDS dari pusat ke Papua masih aman. Sebab, ada pengecualian akses transportasi ke Papua yang bersifat urgen, seperti membawa obat-obatan.
Balai Penanggulangan dan Pengendalian AIDS, TBC, dan Malaria, Dinas Kesehatan Provinsi Papua juga telah menjalin kerjasama dengan pihak ekspedisi dan penyedia jasa transportasi untuk mendistribusikan ARV dan obat lainnya.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Jawa Barat M Yudi Koharudin menyampaikan, di tengah pandemi Covid-19, pihaknya tetap menyediakan ARV di 27 kabupaten/kota.
"Waktu pelayanan di fasilitas kesehatan diatur pada hari dan jam tertentu. Jadi meskipun pandemi, tetap jalan," ujarnya. (MTK/IKI/FLO TAM/TAN/NSA/ADH)
Peraturan tentang Pengobatan dan Perawatan ODHA (Permenkes Nomor 21 Tahun 2013)
Pasal 30
- Fasilitas pelayanan kesehatan dilarang menolak pengobatan dan perawatan ODHA.
- Fasiltis pelayanan kesehatan wajib merujuk ODHA ke fasilitas pelayanan kesehatan lain jika tidak mampu memberikan pengobatan dan perawatan.
Pasal 31
- Orang yang terinfeksi HIV wajib mendapatkan konseling pasca-pemeriksaan diagnosis HIV, diregistrasi secara nasional dan mendapatkan pengobatan.
- Registrasi ODHA bersifat rahasia.
Pasal 32
- Pengobatan HIV untuk mengurangi risiko penularan, menghambat perburukan infeksi, dan meningkatkan kualitas hidup ODHA.
- Pengobatan AIDS dilakukan sampai tidak terdeteksi jumlah virus (viral load) HIV dalam darah dengan menggunakan kombinasi obat ARV.
Pasal 33
- Pengobatan HIV/AIDS dilakukan dengan cara terapeutik (pengobatan ARV, pengobatan penyakit infeksi menular seksual (IMS) dan pengobatan infeksi oportunitis).
Profilaksis (pemberian ARV pasca pajanan, kotrimoksasol terapi dan profilaksis).
Penunjang (pengobatan suportif dan perbaikan gizi)