Sari Ratna, Ibu Penderita Addison's Disease. "Mama Enggak Boleh Menangis Lagi..."
Belum hilang kesedihannya karena ditinggal anaknya yang baru berusia dua tahun untuk selamanya, karena penyakit langka, Sari kembali syok karena dokter menvonis anak ketiganya juga mengidap penyakit yang sama. Ikuti curahan hati Sari tentang pengalamannya menghadapi penyakit kedua anaknya yang diidap oleh sedikit orang di Indonesia ini,
Layaknya ibu-ibu yang lain, aku juga memiliki harapan tinggi untuk Natasha Zahra Pramita, anak sulungku, sejak ia di kandungan. Alhamdulillah setelah menikah pada 2002, tahun berikutnya aku melahirkan Rara, panggilan sayang untuk Zahra. Aku dan suamiku, Abu Bakar, sangat bahagia.
Namun, mendung mulai menyelimuti keluarga kami sejak Rara berusia enam bulan, ia kerap keluar masuk rumah sakit. Awalnya, suhu tubuh Rara tinggi. Ia juga mengalami dehidrasi dan kejang. Setiap kali makan dan minum, langsung muntah. Tak ada gejala lain yang menyertai. Setelah membaik, 2-3 bulan kemudian Rara tiba-tiba sakit seperti itu lagi.
Setelah berusia dua tahun, Rara makin kerap keluar masuk RS. Setidaknya, 1-2 bulan bulan sekali ia dirawat di RS. Bukan hanya aku dan suamiku yang bingung apa gerangan penyakit Rara, melainkan juga dokter yang memeriksanya. Dokter menduga, Rara menderita thalasemia dan meminta kami melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Awal 2005, kami membawanya ke RSCM. Setelah tes darah, ternyata Rara tidak menderita thalasemia. Saraf di otaknya pun normal saat dilakukan rekam otak. Dokter menyarankan kami memeriksakan Rara sekali lagi, kali ini ke dokter spesialis anak atau hormon di RSCM.
Hasil Lab Terlambat
Begitu dokter yang kami datangi itu melihat Rara, dia langsung mengatakan bahwa Rara menderita Addison's Disease (AD). Kami bingung, apa itu AD? Dokter menjelaskan, penyakit itu menyerang ke arah ginjal. Penyebabnya dokter juga belum tahu. Beliau menyarankan agar Rara menjalani pemeriksaan laboratorium agar lebih jelas penyakitnya.
Kami langsung mengikuti saran itu. Tes kortisol dilakukan di sebuah laboratorium. Tiap pagi dan sore, tes darah dilakukan sampai jumlahnya mencapai 10 tabung berukuran kecil. Lalu tabung-tabung ini dikirim ke Amerika untuk diperiksa, karena di Indonesia belum bisa. Hasilnya baru akan keluar satu bulan kemudian.
Sayang, pemeriksaan ke dokter endokrin ini terlambat. Tepat 14 Desember 2005, pada hari ketika pihak laboratorium di Jakarta mengabariku bahwa hasil lab sudah bisa diambil, hari itu pula Rara dimakamkan. Ya, Rara meninggal sehari sebelum hasil lab itu bisa diambil.
Setelah merasa cukup kuat, seminggu kemudian barulah hasil laboratorium kuambil. Ternyata benar, dokter menyatakan Rara mengidap AD. AD terjadi karena tubuh penderitanya tidak mampu memproduksi hormon untuk melawan pemicu stres dari luar, misalnya cuaca tidak stabil, kelelahan, dan lainnya. Sehingga kondisi tubuhnya drop dan terjadilah dehidrasi yang memicu krisis AD.
Dokter juga mengatakan bahwa AD terjadi bukan karena faktor keturunan, tapi bila aku kelak hamil lagi, dokter menyarankan aku menceritakan riwayat penyakit Rara pada dokter kandungan. Kalau saja kami tahu sejak awal penyakit Rara dan penyebabnya, akan kami cegah agar dia tidak krisis. Kami juga tidak tahu saat itu, bahwa penderita AD tidak boleh terkena vlek tuberkulosis lantaran obatnya kontradiksi dengan AD.
Saat itu, entah dari mana penularannya, Rara punya vlek tersebut. Dua bulan sebelum meninggal, Rara menjalani pengobatan tuberkulosis dan ternyata itu memperburuk kondisinya pada saat terakhir. Saat meninggal di usia 2,5 tahun itu, Rara menjadi penderita AD ketiga di Indonesia yang terdeteksi. Kemungkinan, masih ada yang tidak terdeteksi. Sebab, kalau hanya dilihat secara fisik dari luar, penderitanya tampak normal.
Yang membedakan hanya warna kulitnya. Ketika lahir, kulit Rara putih seperti bayi pada umumnya. Namun setelah usianya sekitar 6-12 bulan, makin lama kulitnya makin menghitam seperti kulit orang Afrika. Awalnya, hitam ini bermula dari wajah, lalu menjalar ke buku-buku jari tangan, badan dan kaki. Itu sebabnya sejak pertama dokter spesialis endokrin yang memeriksa melihat penampilan fisik Rara, dia langsung menebak AD.
Kembali Kejang
Aku dan suamiku sendiri awalnya mengira hitamnya kulit Rara sebagai efek dosis terlalu tinggi dari obat penurun demam. Alhamdulillah, meski sakit, Rara tak pernah rewel. Padahal yang harus ia lalui dalam usia semuda itu tergolong berat. Aku sendiri sering tak tega.
Pada hari meninggalnya, Rara baru 2-3 hari dirawat di RS. Hari itu, entah mengapa, aku memutuskan untuk tidak berangkat ke kantor. Padahal, aku sudah berpakaian rapih. Aku memilih menunggui Rara di RS. Pagi itu sekitar pukul 10.00, Rara kejang. Namun, dokter yang menanganinya sedang simposium. Pada dokter umum yang berjaga, saya katakan sebentar lagi Rara akan kejang lagi. Melihatnya kejang berkali-kali membuatku bisa tahu gejala ketika ia akan kejang kembali.
Namun dokter menepis ucapanku itu lantaran ia sudah memberi Rara obat anti kejang. Benar saja, sekitar pukul 13.00 Rara kembali kejang. Antara sadar dan tidak, ia sesak napas. Rara segera dibawa ke ruang isolasi dan kembali diberi obat antikejang. Tak lama, ia sesak napas. Rara segera dilarikan ke ruang ICU. Dokter memasang alat kejut. Dicoba satu kali, Rara tak bereaksi. Suamiku yang ternyata baru selesai sholat di musola rumah sakit, ikut menyaksikan Rara kembali diberi pengejut. Lagi-lagi tak ada respons. Dokter menyatakan Rara telah meninggal.
Di depan mataku, aku menyaksikan semua kejadian yang dialami Rara hari itu. Bukan hanya aku dan suamiku yang kaget, melainkan juga ibuku dan pembantuku yang lucu itu ikut menunggui Rara. Aku masih ingat betul ucapan Rara sebelum ia tak sadarkan diri. "Mama enggak boleh menangis lagi," begitu pesannya padaku. Kebetulan, setiap dia kejang, aku sedang ada di sisinya. Jadi, aku bisa melihat betapa dia tampak sangat kesakitan, tapi sekaligus tak berdaya melawan rasa sakitnya. Itulah yang membuatku sering tak tega dan menangis.
Ingin rasanya mengurangi atau memindahkan rasa sakit itu padaku, tapi tak bisa. Mungkin karena melihatku menangis itulah, dia berpesan agar aku tak menangis lagi. Untuk ukuran anak usia 2,5 tahun, ucapan seperti itu buatku terasa sangat dewasa. Ibuku juga berpesan agar aku tak menangis lagi di depannya, agar kondisinya tidak makin drop. Itulah pesan terakhir Rara sebelum akhirnya dia tak bisa berbuat apa-apa lagi, hanya bisa menatapku.
Cobaan Kedua
Meski sangat syok ditinggal Rara yang sedang lucu-lucunya, kami hanya bisa pasrah. Aku yakin Rara sudah bahagia di surga. Hanya saja, setiap masuk bulan Desember, perasaanku selalu melankolis. Bagaimanapun, aku menyaksikan semua rasa sakit dan perjuangan Rara, buah hatiku.
Tiga tahun kemudian tepatnya 2008, aku melahirkan anak kedua. Selama kehamilan, aku sempat deg-degan, khawatir dia mengidap penyakit seperti Rara. Pada dokter kandunganku, kuceritakan penyakit Rara. Dokter menyarankanku untuk berhati-hati menjalani kehamilan dan segera ke dokter bila ada keluhan. Namun, kekhawatiranku tak terbukti. Nawfal Altair Arsaputra yang sekarang berusia delapan tahun, ternyata sehat dan normal.
Dua tahun berikutnya, aku hamil anak ketiga, Nafis Farshad Arsaputra yang sekarang usianya enam tahun. Saat hamil Nafis, aku sedikit lebih rileks. Namun, aku sempat mengalami keluhan. Ketika memeriksakan diri ke dokter, dia berharap semoga anak yang kukandung ini laki-laki. Sebab dikhawatirkan bayiku akan memiliki risiko yang sama seperti kakak pertamanya, bila jenis kehamilannya perempuan.
Ternyata bayiku laki-laki dan menderita AD. Saat lahir, ia memang normal dan kulitnya putih seperti bayi lain. Kami baru mengetahui