ARV Multibulan Dorong Kepatuhan Minum Obat
Kemudahan akses terapi antiretroviral secara multibulan bisa menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS - Terapi anti retroviral atau ARV pada orang dengan HIV menjadi kunci keberhasilan memutus penularan HIV di masyarakat. Untuk itu, kemudahan akses pada pengobatan sangat penting untuk mendukung keberhasilan terapi tersebut. Salah satunya melalui pemberian obat ARV secara multibulan.
Anggota Dewan Pertimbangan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia sekaligus Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Zubairi Djoerban menuturkan, orang dengan HIV (ODHIV) yang jumlah virus (viral load) dalam tubuhnya tidak lagi terdeteksi disarankan untuk bisa berobat setidaknya sebulan sekali. Sementara pemeriksaan jumlah virus bisa diulang setahun sekali.
"Orang dengan HIV harus mendapatkan pengobatan seumur hidupnya. Jika harus sebulan sekali dalam hidupnya datang ke fasilitas kesehatan, tentu bisa menimbulkan rasa jenuh. Belum lagi masih ada stigma di masyarakat. Jika ODHIV ini hanya perlu datang tiga bulan sekali ke fasilitas kesehatan, diharapkan kepatuhan dalam pengobatan bisa lebih baik," tutur Zubairi, Kamis (30/11/2023) di Jakarta.
Saat ini, pengambilan obat ARV bagi orang dengan HIV dilakukan setiap satu bulan sekali. Sejumlah wilayah sudah mulai menerapkan pemberian ARV secara multibulan (multimonth dispensing/MMI), tetapi itu belum menjadi program yang berkelanjutan.
Zubairi menyampaikan terapi ARV terhadap orang dengan HIV amat diperlukan untuk menekan jumlah virus HIV dalam tubuh. Umumnya jumlah virus dalam tubuh akan berkurang signifikan setelah mengonsumsi ARV selama 3-6 bulan. Ketika virus tidak lagi terdeteksi, risiko penularan pun akan sangat berkurang. Risiko pasien mengalami AIDS bisa dicegah.
Akan tetapi, sekalipun virus tidak lagi terdeteksi dalam tubuh, pengobatan ARV harus tetap dilanjutkan seumur hidup. Dengan begitu, kondisi HIV pun bisa terkontrol. Selain melindungi orang dengan HIV dari perburukan, penularan pada orang lain juga bisa dicegah.
"Jika semua orang dengan HIV terdiagnosis dan minum obat, seharusnya tidak akan terjadi penularan lagi. Masalahnya, tidak semua terdiagnosis. Yang terdiagnosis pun tidak semua minum obat. Dan, yang minum obat juga tidak semua viral load-nya tersupresi, karena kepatuhan minum obat yang rendah serta putus obat yang masih banyak," tutur Zubairi.
Oleh karna itu, ia mendorong pemerintah agar memperluas layanan pemberian obat multibulan di seluruh Indonesia. Kemudahan akses pengobatan akan berdampak pada tingkat kepatuhan orang dengan HIV dalam mengonsumsi obat. Sebaliknya, akses obat yang sulit justru membuat angka putus obat menjadi tinggi sehingga harapan untuk memutus rantai penularan sulit dicapai.
Data kumulatif yang dihimpun Kementerian Kesehatan sejak 2004 sampai September 2023 menunjukkan, dari 285.381 orang dengan HIV yang pernah masuk dalam pengobatan ARV dan masih hidup sebanyak 75.860 orang atau sekitar 26 persen di antaranya tidak mendapatkan tindak lanjut (loss to follow up) dan 233 orang berhenti mendapatkan obat ARV. Jumlah orang dengan HIV yang tercatat masih mendapatkan pengobatan ARV sebanyak 209.288 orang.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi menyampaikan, pemberian obat ARV secara multibulan telah dijalankan sebagai program percontohan. Penerapan tersebut sudah dilakukan di DKI Jakarta, bahkan sudah ada yang mendapatkan akses obat untuk enam bulan sekali. Namun, terapi itu belum menjadi program yang berkelanjutan.
Tantangan
Ia mengatakan, pemerintah telah menyiapkan petunjuk teknis serta surat edaran untuk pemberian obat ARV multibulan bagi orang dengan HIV di seluruh Indonesia. Diharapkan, akses obat ARV secara multibulan bisa diperluas di wilayah lain.
"Namun masih ada tantangan dalam penerapannya, seperti persiapan layanan dalam pemberian ARV multibulan, kesiapan dari sisi audit untuk memastikan ketersediaan obat, serta pemeriksaan viral load rutin pada ODHIV," ujar Imran.
Ia menambahkan secara umum tantangan lain yang dihadapi dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia ialah infrastruktur sistem kesehatan yang belum optimal dan merata di setiap daerah serta regulasi lintas sektor yang belum mendukung percepatan pengendalian HIV. Adanya stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV juga menjadi tantangan.
Selain itu, pengetahuan masyarakat mengenai HIV/AIDS juga masih kurang sehingga penanganan di masyarakat juga menjadi terhambat.
Oleh karena itu, dukungan dari para pemangku kepentingan dibutuhkan untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut. dukungan itu diperlukan dari pemerintah, akademisi dan praktisi, masyarakat, swasta, media, serta komunitas. "Komunitas punya peran yang penting untuk mendukung penanggulangan HIV/AIDS. Kita harap pada 2030 target eliminasi HIV bisa tercapai di Indonesia," ucapnya.
Selain pemberian ARV multibulan, layanan bagi orang dengan HIV, khususnya pada ibu dan anak, juga masih timpang. Temuan kasus HIV pada ibu hamil masih rendah sehingga penularan pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV masih terjadi.
Data Kementerian Kesehatan 2022 menunjukkan, dari perkiraan 5 juta ibu hamil, hanya 58 persen yang mendapatkan deteksi HIV. Dari jumlah itu, ditemukan 0,3 persen atau sekitar 7.100 ibu hamil positif HIV. Kesenjangan berikutnya ditemukan pada jumlah ibu hamil dengan HIV yang mendapatkan pengobatan ARV. Dari sekitar 7.100 ibu hamil dengan HIV hanya 24 persen atau 1.700 ibu yang mendapatkan pengobatan ARV. (TAN)