Parental Abduction Perlu Jadi Atensi
KASUS penculikan anak oleh orangtua kandung (parental abducation) dinilai belum mendapatkan atensi yang serius dari para pemangku kepentingan di Indonesia. Kasus ini biasanya terjadi pada pasangan yang bercerai.
Salah satu contoh betapa abainya kejelasan hukum terhadap tindak kejahatan ini terjadi kepada Angelia Susanto. Perempuan berusia sekitar 40 tahunan tersebut bercerita dengan pilu bahwa anaknya telah dibawa oleh mantan suami sejak 2020 dan belum ada kabar sampai saat ini.
Semua berawal dari pernikahannya dengan warga negara asing (WNA) asal Filipina. Pernikahan keduanya dikatakan tidak berjalan dengan mulus karena mantan suaminya kerap melakukan KDRT kepada Angelia.
"Dari awal dia sudah lakukan KDRT psikis. Namun, saya dulu enggak tahu itu KDRT. Psikis dan fisik itu sering terjadi. Saya sering dibilang saya enggak ada apa-apanya kalau enggak ada dia dan saya percaya itu. Jadi brainwashing ada. Saya pernah didorong mobil dan itu sedang jalan. Kita tidak melaporkan juga. Itu dianggap masalah domestik dan dalam rumah tangga siapa sih yang enggak pernah berantem.", ungkapnya kepada Media Indonesia, Minggu (3./12).
Puncak kesabaran Angelia akhirnya sirna saat anaknya lahir. Menurutnya, mantan suaminya yang sudah lama tidak memiliki pekerjaan semakin lama semakin melakukan KDRT secara kronis pada dirinya. Bukan hanya kepada dia, asisten rumah tangga yang mereka pekerjakan juga sering mendapat perlakuan serupa.
"Saya cerai itu panjang prosesnya sejak 2015, baru dikabulkan pada 2020 dan hak asuh anak dikasih kepada saya. Setelah keluar keputusan di Januari 2020 setelah itu anak saya diculik oleh dia saat anak saya berangkat sekolah," kata Angelia sambil menangis.
Menurut Angelia, kasusnya tidak dianggap serius oleh penegak hukum di Indonesia. Banyak pendapat umum yang mewajarkan ini karena dia diculik juga oleh ayahnya.
"Itu masalah domestik dianggapnya. Padahal, secara hukum saya pemegang hak asuh. Di luar negeri seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris ini sangat jelas akan masuk kategori penculikan karena menarik anak dari pemegang hak asuh dan bisa dikenai hukuman. Ini pelanggaran hukum, tapi di Indonesia malah dibiarkan saja," sambung Angelia.
Selain itu, melalui Perkumpulan Pejuang Anak Indonesia telah terhimpun sekitar 30 kasus serupa yang telah mereka validasi di mana 4 kasus dari pernikahan dengan WNA dan 26 kasus lainnya dari pernikahan sesama WNI.
Saat dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan bahwa KPAI selalu mendorong adanya mediasi setiap kasus perebutan hak asuh anak KPAI juga membuka diri bagi siapa saja orangtua yang khawatir keterpisahan, kerentanan, dan anak akan terlepas keluarga agar sejak dini dapat dibendung permasalahannya.
"KPAI menyediakan fasilitas pengaduan ruang melapor yang aman dan nyaman dengan didampingi ahli, tersedianya psikolog, rumah bermain anak, ruang curhat anak, ruang curhat orangtua. Layanan ini juga bisa diakses melalui online," tandasnya. (Despian Nurhidyat/H-3),